Urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset

Penulis:
Abdul Latif Panjaitan, S.H.
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Mati satu tumbuh seribu. Mungkin kalimat itulah yang pantas untuk menggambarkan bagaimana kejahatan korupsi terus meningkat di negeri ini. Hampir setiap hari pemberitaan di media massa dipenuhi oleh kasus-kasus pejabat yang korup.

Baca juga:
Pegawai Pajak dan Godaan Gratifikasi

Tentu saja, kita sepakat bahwa korupsi yang tak tertangani dengan baik akan bermetamorfosis menjadi budaya, cara hidup, dan peradaban baru. Selain itu, penyakit korupsi ini bisa menghambat jalannya pembangunan.

Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, lembaga antirasuah tersebut telah menangani 1.351 kasus tindak pidana korupsi sepanjang 2004 hingga 2022. KPK paling banyak menindak pidana korupsi pada 2018, yakni mencapai 200 kasus, sedangkan terendah pada 2004 hanya 2 kasus. Tindak pidana korupsi yang paling banyak ditangani KPK adalah gratifikasi dengan 904 kasus sepanjang 2004 hingga 2022. Tercatat, kasus penyuapan atau gratifikasi yang berhasil ditindak KPK terbanyak pada 2018 mencapai 168 kasus, diikuti tahun 2019 dan 2017 dengan masing-masing 119 kasus dan 93 kasus (Kata Data, 9/3/2023).

Melihat data peningkatan kasus korupsi tersebut, maka kebijakan penegakan hukum yang harus dibangun ke depan tidak hanya fokus pada penghukuman pelaku tindak pidana saja, tetapi juga mempertimbangkan keuntungan dan kerugian pengembalian aset dalam penegakan hukum.

Sangat Mendesak

Upaya mengurangi kerugian negara akibat korupsi salah satunya dengan melakukan perampasan aset. Karena itu, Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset perlu segera disahkan. Pasal 1 angka 3 RUU Perampasan Aset merupakan upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk merampas aset tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya.

RUU Perampasan Aset memiliki terobosan yang dibutuhkan oleh para penegak hukum untuk memperkuat sistem hukum yang dilakukan perampasan aset hasil tindak pidana. Dalam hal ini, Yenti Ganarsih (2023) menegaskan bahwa RUU Perampasan Pset tidak hanya digunakan untuk merampas aset para koruptor, tapi juga pelaku tindak pidana ekonomi lainnya, seperti pengusutan perolehan harta sampai harta-harta yang didapatkan dari perdagangan narkoba.

Pengesahan RUU Perampasan Aset ini sangat mendesak mengingat banyaknya pejabat publik yang hidup mewah dan sering memamerkan hartanya di media sosial. Jajak pendapat Kompas (12/4/2023) menyebutkan sebanyak 82,2 persen responden menyuarakan pembahasan dan pengundangan RUU Perampasan Aset. Dari 82,2 persen itu, sebanyak 35,5 persen responden menilai RUU Perampasan Aset sangat mendesak untuk diundangkan.

Presiden dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mendukung penuh keberadaan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset bagi koruptor agar segera disahkan menjadi undang-undang.

Setelah RUU Perampasan Aset ini disahkan menjadi undang-undang, maka pihak penegak hukum memiliki dasar hukum yang jelas dalam melakukan perampasan dan penyitaan aset hasil tindak pidana korupsi.

Akhirnya, kita berharap semoga pemerintah benar-benar serius dalam mengupayakan pengesahan RUU Perampasan Aset. Jika ini mampu diwujudkan dalam waktu dekat, maka undang-undang tersebut dapat memberikan efek jera bagi koruptor dan kasus-kasus serupa tidak terulang lagi di masa mendatang.

smartlawyer.id
Admin
Admin

Smart Lawyer lebih dari sekedar blog atau situs yang menyediakan jutaan informasi hukum secara gratis. Smart Lawyer punya tujuan, harapan, dan impian, sama seperti Anda. Smart Lawyer ingin memberikan solusi yang lebih baik untuk setiap orang yang mencari informasi hukum.

Articles: 1643