Keberlanjutan Menunggangi Badan Peradilan?

Akhir bulan mei kemarin sampai sekarang banyak orang di sosial media mengomentari isu tentang majunya anak bungsu Presiden untuk Pilgub Jakarta karena Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan merubah syarat batas usia. Mereka baru menganggap ini kejadian yang tak biasa, mereka mulai banyak bicara, protes, kritik, berkeluh kesah, khawatir akan masa depan bangsa. Saya dalam hati tersenyum dan sedikit tertawa melihatnya, apalagi mayoritas anak muda. Padahal sebelum ada isu Kaesang, ada Gibran yang tampak lebih nyata. Tapi apa daya mereka justru lebih memilih keberlanjutan dengan semboyannya oke gas–oke gas. Rocky Gerung mengatakan “sebentar lagi foto yang dipajang diruang kelas akan berganti, memang fotonya berganti tetapi fosilnya tetap”.

Jujur sebenarnya penulis sedikt apatis dan kurang sedikit tertarik untuk menulis dan mengkritisi terkait putusan MA ini, kenapa? Karena ini salah satu bentuk turunan nepotis kontuinitas dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan Gibran kemarin. Karena ini salah satu bentuk turunan keberlanjutan merusak bentuk negara hukum (rule of law), merusak kepastian hukum dan bahkan merusak kepercayaan umum terhadap badan peradilan. Karena ini juga salah satu bentuk merusak konsep sistem negara demokrasi. Masyarakat banyak yang tidak paham perbedaan negara bersistem demokrasi dengan monarki. Juga banyak yang tidak paham bahwa negara yang bersistem demokrasi (kedaulatan rakyat) wajib dibarengi dengan nomokrasi (kedaulatan hukum).

Melihat, menonton, mendengarkan acara di Televisi (TV) tentang diskusi yang memperdebatkan putusan MA ini rasanya seperti mengulang kembali diwaktu-waktu MK memutus tentang batas usia syarat calon Presiden. Feri Amsari mengatakan “Putusan 23 P/HUM/2024 (unduh) ini hanyalah remake dari sebuah film yang sudah pernah terjadi, jalan ceritanya sama aktornya saja yang berbeda”. Apakah dengan keluarnya putusan MA yang sama sekali tidak ada legal reasoning-nya ini membuat saya terkejut? Tentu tidak dan bahkan cenderung menganggap hal ini biasa karena watak pemerintahaan saat ini memang begitu parah dari aspek moral, etik, integritas dan kredibilitasnya. Inilah yang disebut sebagai keberlanjutan, iya diduga keberlanjutan menunggangi badan peradilan, diduga tunggangan pertama MK dan tunggangan kedua mungkin di MA.

Baca juga:
Ada yang Lebih Penting dari Sebuah Dissenting Opinion

Pertimbangan Yuridis

Pertama yang perlu dipahami berdasarkan teori Stufenbau yang menyatakan bahwa sistem hukum itu merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan hukum yang tertinggi harus berpegangan pada norma hukum yang mendasar (grundnorm). Mahkamah Agung memiliki wewenang untuk menguji peraturan dibawah UU terhadap UU. Kalau di MK ada judicial review dan kalau di MA ada hak uji materi, sebenarnya kedua maknanya sama hanya beda kewenangan tingkat peraturan yang akan diuji dengan batu ujinya.

Secara filosofis dasar adanya mekanisme konsep menguji peraturan perundang-undangan karena sebagai bentuk check and balances antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Bagi orang yang merasa hak dan kewajibannya dirugikan oleh suatu norma peraturan maka disediakan jalur untuk menguji peraturan tersebut agar orang yang merasa terbebani dengan adanya peraturan tersebut dapat dibatalkan.

Ketika kita membaca alasan atau dalil pemohon di putusan MK yang meloloskan Gibran kemarin persis sama halnya dengan putusan MA yang sepertinya menguntungkan Kaesang, sama-sama kosong legal reasoning-nya. Kosong dalil yang diajukan pemohon, kosong juga pertimbangan hukum para hakimnya (terkecuali hakim yang diposisi dissenting).

Membaca pasal yang diuji Pasal 4 ayat (1) PKPU 9/2020 dengan batu ujinya Pasal 7 Ayat (2) UU 10/2016 sama sekali tidak bertentangan, bahkan diksinya cukup menggunakan penafsiran gramatikal juga sangat jelas, tidak ada norma yang kabur dalam Pasal PKPU a quo. Tidak ada pertentangan dengan UU dan PKPU a quo. Di Pasal 7 Ayat (2) eksplisit tertulis bahwa syarat calon, maka sebagai mempertegas PKPU menuliskan frasa Sejak Penetapan Paslon. Sama sekali tidak bertentangan. Tapi putusan MA justru malah membengkokkan pasal tersebut dengan mengubah menjadi terhitung sejak pelantikan paslon terpilih. Kalau terhitung sejak pelantikan, bukankah itu sama saja dengan meniadakan persyaratan umur sebelum kompetisi dimulai? Semua calon peserta bebas mau umur berapa saja.

MA dengan penuh kesadaran atau tidak putusannya ini bersifat berlaku untuk umum (erga omnes) yang artinya bukan hanya berlaku pada Kaesang semata. Masalah akan bertubi-tubi terjadi jika ada kontestan yang mendaftar sebagai calon gubernur yang usianya jauh dibawah 30 tahun. Meskipun kita tau bahwa putusan ini sepertinya tertuju hanya pada Kaesang semata tapi karena kesalahan dari putusan ini maka bisa masuk pada pintu pelanggaran konstitusi.

Penafsiran yang dilakukan oleh MA sangat membuat hukum pemilu menjadi kacau berantakan. Sirkulasi kepemiluan terjadi 5 tahun sekali, jika suatu waktu ada calon gubernur yg berusia 21 tahun mencalonkan diri, lalu kemudian ia menang apakah mungkin untuk menunggunya selama 9 tahun agar bisa dilantik? Syarat usia sebelum memulai kompetisi tidak ditetapkan, yang ada ialah syarat setelah memenangkan kompetisi atau terhitung sejak terpilih sebagai pemenang. Apakah kejadian contoh tersebut dapat diterima secara penalaran hukum dan bisa saja terjadi? Jawabannya tentu sangat diluar nalar tetapi masalahnya itu bisa saja terjadi. Tidak mungkin seseorang yang dinyatakan menang dalam pemilihan Gubernur tetapi menunggu 9 tahun untuk dilantik. Inilah yang disebut putusan hakim yang paling aneh, kacau, minim penalaran hukum dan bahkan berpotensi masuk pada pelanggaran konstitusi.

Dampak Demokrasi

Menurut Plato dalam bukunya yang berjudul Republik, pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang dipimpin oleh aristokrat. Aristokrat adalah kelas sosial yang dipandang tinggi di kehidupan masyarakat seperti orang-orang ningrat atau bangsawan. Dalam sistem pemerintahan aristokrasi tak hanya seorang aristokrat yang dapat memimpin negara, seseorang yang memiliki kecerdasan dan kepemilikan harta yang kaya raya juga bisa diangkat menjadi seorang aristokrat. Tetapi sistem yang didambakan oleh Plato ini memiliki kelemahan seperti perilaku para aristokrat yang sering merendahkan rakyat biasa karena kesenjangan sosial yang tinggi. Salah satu perilaku merendahkan ialah memperlakukan rakyat dengan sewenang-wenang. Itulah kelemahan yang tampaknya tidak bisa diterima oleh sistem pemerintahan yang sudah modern saat ini.

Sebelum Plato memilih aristokrasi sebagai sistem pemerintahan yang ideal, ia telah mengalami sejarah yang pahit tentang sistem pemerintahan demokrasi. Masa pahit itu ia alami ketika ia melihat seorang yang ia anggap guru yakni Socrates harus rela mati karena dituduh oleh mayoritas masyarakat yang tak memiliki pemahaman. Socrates dituduh menyebarkan gagasan keliru terhadap kaum muda karena tidak percaya dewa-dewa yang diakui di kota Athena dan menyebarkan agama baru. Dalam sidang yang berlangsung 280 orang menyatakan salah dan 220 menyatakan Socrates benar. Karna sistem dalam penjatuhan penghukuman melalui voting maka suara mayoritaslah yang dijadikan putusan dan akhirnya hakim memutus Socrates bersalah dan dihukum mati dengan cara meminum racun.

Plato melihat situasi ini ada sebuah kelemahan dalam sistem demokrasi, menggunakan suara mayoritas melalui voting untuk menentukan sebuah kebenaran yang multlak. Bagi Plato suara mayoritas tidak menentukan sebuah kebenaran. Jalan satu-satunya menurut Plato untuk memiliki sistem yang baik dalam suatu negara adalah dengan melakukan pendidikan kepada setiap orang atau calon pemimpin.

Berdasarkan pengalaman Plato yang terjadi pada tahun 400an SM tentang dampak minusnya dari demokrasi nyatanya itu benar-benar terjadi di Indonesia. Masyarakat yang secara pendidikan belum merata tidak siap dengan sistem demokrasi, mereka memberikan suara atau putusan tidak dilandaskan dengan pemahaman-pemahaman yang tidak mendasar atau bahkan memberikan putusan hanya berdasarkan kesenangan hati tampa mempertimbangkan aspek penalaran. Harus diakui bahwa inilah kelemahan dari sistem demokrasi yang kita miliki, yang sudah diprediksi jauh oleh Plato. Bangsa yang kurang terdidik justru akan memilih calon pemimpin yang tak memiliki integritas, biasanya mereka lebih memilih calon pemimpin yang populis walaupun memiliki rekam jejak yang buruk.

Jangankan bangsa yang kurang terdidik, yang sudah berpendidikan sekalipun masih sering salah mengartikan apa makna dari sistem demokrasi. Kebanyakan mereka terlalu condong pada ilmu politiknya tetapi kurang pada ilmu hukumnya. Sebagaimana yang kita pelajari esensinya teori demokrasi tetap harus diiringi oleh nomokrasi seperti layaknya sebuah sepatu yang dipakai bersamaan untuk mencapai tujuan yang hendak dituju.

Implikasi dari negara yang menerapkan sistem demokrasi tetapi sebagian besar masyarakatnya belum terdidik ialah orang orang yang terdidik harus rela dan mengalah kepada mereka yang memegang suara mayoritas padahal suara mayoritas tersebut sama sekali tidak menentukan sebuah kebenaran yang hakiki. Lebih ekstrimnya lagi ketika mereka calon pemimpin yang terpilih disebuah negara yang bersistem demokrasi pelan-pelan mematikan pilar-pilar lembaga pelindung demokrasi seperti menggunakan pengadilan untuk keperluan politiknya. Apalagi setiap kali pemerintah membuat kebijakan yang seakan-akan demokratis padahal ilegal sering muncul para demagog untuk membela keputusan pemerintah meskipun banyak orang tau bahwa ia membela karena hanya demi kepentingannya dan bukan karena rakyat. Mudah-mudahan kedepan tidak ada lagi yang namanya keberlanjutan menunggangi badan peradilan untuk kepentingan politik yang tidak memiliki nilai moral.

M. Kholis M.A Harahap, SH
M. Kholis M.A Harahap, SH

M. Kholis M.A Harahap, SH merupakan pemerhati hukum tata negara.

Articles: 5