Mengurai Vicarious Liability Pemberi Kerja dalam Kasus Tindakan Karyawan

Vicarious liability sering kali diartikan sebagai tanggung jawab atas tindakan orang lain (Coderch, 2002:2). Secara umum, seseorang biasanya hanya bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Namun, karena adanya hubungan hukum tertentu, seseorang yang berada dalam posisi pengawasan atau bertindak sebagai atasan kini dapat dianggap bertanggung jawab atas tindakan pihak ketiga yang berada dalam pengawasannya. Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata merupakan dasar hukum vicarious liability yang menyatakan bahwa seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga yang berada di bawah pengawasannya atau oleh barang atau produk yang berada di bawah pengawasannya.

Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata

Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah penguasaannya.

Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata merupakan rumusan pertanggungjawaban yang bersifat umum yang mengatur bahwa seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan-perbuatan pihak lain. Sehubungan dengan siapa saja yang memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab secara limitatif diatur dalam ayat-ayat berikutnya yaitu diantaranya tanggung jawab orang tua dan wali terhadap anak yang belum dewasa (vide Pasal 1367 ayat (2) KUHPerdata, tanggung jawab majikan dan mereka yang mengangkat orang lain untuk mewakili suatu urusan (vide Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata), dan tanggung jawab guru sekolah dan kepala tukang terhadap murid dan tukang-tukangnya (vide Pasal 1367 ayat (4) KUHPerdata). Hubungan antara pemberi kerja dan karyawan mengacu pada Pasal 1610a KUHPerdata yang menyebutkan bahwa persetujuan dengan mana pihak yang satu, si bawahan, mengikatkan dirinya untuk dibawah perintahnya pihak yang lain, si pemberi kerja untuk sesuatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Selain itu, mengacu pada Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa suatu hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

Salah satu penerapan asas vicarious liability dapat dilihat dalam kasus antara Dono Indarto dan Emirates Airlines dalam Putusan No. 2094 K/Pdt/2010. Perkara ini bermula dari Dono Indarto membeli tiket penerbangan dengan menggunakan jasa Emirates Airlines. Saat akan memasuki pesawat Emirates Airlines di Istanbul, tongkat yang dipakainya untuk berjalan telah diminta secara paksa oleh staf dari Emirates Airlines. Namun sesampai di Jakarta, tongkat milik Dono Indarto tidak ditemukan. Majelis Hakim memutuskan bahwa Emirates Airlines telah melakukan perbuatan melawan hukum dan bertanggung jawab atas hilangnya tongkat tersebut. Dalam putusan ini, Majelis Hakim menegaskan bahwa tindakan staf Emirates Airlines yang meminta secara paksa tongkat Dono Indarto, serta hilangnya tongkat tersebut selama dalam pengawasan Emirates Airlines, merupakan kelalaian yang harus dipertanggungjawabkan oleh perusahaan. Asas vicarious liability diterapkan dalam kasus ini, di mana perusahaan (Emirates Airlines) bertanggung jawab atas tindakan dan kelalaian karyawannya yang terjadi dalam lingkup pekerjaannya. Majelis Hakim memutuskan bahwa Emirates Airlines wajib memberikan ganti rugi kepada Dono Indarto atas kerugian yang dideritanya akibat kehilangan tongkat tersebut.

Prinsip vicarious liability dalam Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa pemberi kerja bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh karyawannya selama bekerja. Namun, tanggung jawab ini tidak otomatis dan bergantung pada konsep atribusi. Pendelegasian pekerjaan oleh pemberi kerja menjadi faktor penting dalam proses atribusi dimana pemberi kerja memberikan tugas atau tanggung jawab kepada karyawan. Namun, penting untuk dicatat bahwa pendelegasian ini tidak berarti bahwa pemberi kerja membebaskan diri dari tanggung jawab. Sebaliknya, pemberi kerja masih dapat bertanggung jawab atas tindakan karyawan selama tindakan tersebut terjadi dalam lingkup tugas yang telah didelegasikan kepada karyawan. Oleh karena itu, penerapan Pasal 1367 KUHPerdata cukup dibuktikan dengan adanya hubungan atasan dan bawahan antara pemberi kerja dengan bawahan yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut.

Namun, apabila karyawan tersebut bertindak di luar kewenangan yang diberikan dan tindakan tersebut menimbulkan perbuatan melawan hukum, maka tanggung jawab pemberi kerja dapat terlepas sehubungan dengan perbuatan tersebut. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pemberi kerja tidak bersifat mutlak dan bergantung pada apakah tindakan karyawan dilakukan dalam konteks pekerjaannya atau tidak. Misalnya, jika seorang karyawan melakukan tindakan melawan hukum yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaannya atau berada di luar batasan kewenangan yang diberikan oleh pemberi kerja, maka pemberi kerja tidak dapat dianggap bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Penentuan sejauh mana pemberi kerja dapat dimintai tanggung jawab pengganti atas kerugian yang ditimbulkan oleh karyawan kepada pihak ketiga didasarkan pada hubungan kontraktual yang sah antara pemberi kerja dan karyawan.

Baca juga:
Apakah Boleh Menggunakan Logo Pihak Lain Tanpa Izin?

Oleh karena itu, pemberi kerja harus memahami bahwa pemberi kerja dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh karyawan selama menjalankan tugasnya, pemberi kerja diharapkan lebih berhati-hati dalam merekrut pekerja. Hal ini termasuk melakukan pemeriksaan latar belakang yang komprehensif dan pengujian kompetensi yang ketat terhadap calon karyawan. Dengan demikian, pemberi kerja dapat memastikan bahwa karyawan yang berada di bawah pengawasannya merupakan individu yang tidak hanya memiliki keterampilan yang diperlukan tetapi juga memiliki integritas dan etika kerja yang tinggi. Langkah-langkah ini bertujuan untuk memitigasi risiko kerugian yang mungkin ditimbulkan oleh karyawan, serta memastikan bahwa karyawan bertindak sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang telah diberikan.

Muhammad Zahiir Al Faraby
Muhammad Zahiir Al Faraby

Muhammad Zahiir Al Faraby merupakan konsultan hukum dari firma AZP Legal Consultants. Ia memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Universitas Padjadjaran pada tahun 2023.

Articles: 1