Problematika Politik Identitas dalam Pemilu

Mengingat Pemilu serentak yang akan dilaksanakan 2024, diprediksi praktik politik identitas (identity politics) semakin marak dan kemungkinan akan terulang lagi praktik politik identitas seperti pada Pemilu 2019. Pada Pemilu 2019 tidak tanggung-tanggung dengan penyebaran hoax yang merajalela dan tak jarang menyebabkan masyarakat saling mengujarkan ujaran kebencian. Sehingga terpecahnya masyarakat menjadi dua golongan yang saling mengintimidasi antara golongan satu dan yang lain. 

Hal tersebut didukung karena sangat beragamnya  bangsa Indonesia ini, beragam ras, suku, etnis, budaya, pribumi dan imigran (pendatang) latin dan Asia, Islam, Budha, Konghucu, Hindu, Kristen Katolik dan Kristen Protestan, semua merasa kelompok atau golongan mereka diserang, dianiaya dan terintimidasi. Menurut The Guardian, “Ketika kelompok merasa terancam maka mereka menjadi kesukuan” menyebabkan suatu kelompok menjadi defensif dan memilih memihak kepada sukunya. 

Baca juga:
Urgensi Pengawasan Terhadap Pelanggaran Pemilu di Sosial Media

Banyak yang beranggapan bahwa politik identitas ini dianggap tidak penting, padahal politik identitas ini sangat mudah dimainkan oleh para pemimpin untuk dijadikan alat manipulasi, alat untuk menggalang politik sesuai keinginan dan kebutuhan politiknya, menggalang kekuatan massa dan menjatuhkan lawan politiknya dengan sedemikian cara, padahal tanpa identitas gerakan itu tidak dikenali bahkan tidak memiliki tujuan yang jelas. Undang-Undang Pemilu hanya menghimbau agar politik identitas tidak digunakan, belum adanya kepastian hukum terkait praktik politik identitas pada pemilu, baik yang dilakukan oleh calon Presiden, DPR RI, DPD, DPRD maupun Kepala Daerah.. Pada kenyataannya para elit politik saat ini lebih memilih menggunakan politik identitas dari pada melakukan kampanye sesuai dengan peraturannya. 

Undang Undang Pemilu harus segera direvisi dan harus memuat pengaturan dan sanksi yang tegas terakait praktik politik identitas yang menyebabkan perpecahan atau bahkan sampai menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 28 ayat (2). Ujaran kebencian berdasarkan SARA bahkan dapat mempersulit terwujudnya semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”. Oleh karena itu, perlu pengaturan mengenai politik identitas yang lebih baik komprehensif sehingga tidak menimbulkan efek destruktif yang dapat menyebabkan perpecahan bangsa indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, Pasal 280 ayat (1) huruf b sebenarnya telah menegaskan bahwa dilarang melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, peraturan tersebut belum dapat mencegah terjadinya praktik politik identitas yang destruktif karena faktor lainnya seperti aspek penegakan hukum dan kesadaran hukum masyarakat. 

Kemungkinan besar pada politik identitas 2024 ini masih di bidang agama mengingat bahwa negara Indonesia adalah mayoritas muslim, politik identitas selalu melabelkan pada tokoh-tokoh islam padahal semua agama juga melakukan hal yang sama, politik identitas ini sengaja ditiupkan oleh kelompok tertentu yang takut kalah dan tidak ingin islam bersatu, inilah bentuk politik adu-domba antar partai politik yang tidak produktif, dan merusak nilai-nilai demokrasi.

Namun tidak juga menutup kemungkinan bahwa politik identitas ini dipandang dari suku dan ras, karena karekteristik bangsa Indonesia yang masih fanatik terhadap suku, etnis kepercayaan dan adat istiadat. Itulah mengapa politik identitas ini dianggap penting karena cakupannya yang luas akan mengintimidasi golongan tertentu, apalagi dengan jumlah dimensi massa yang banyak, tentunya akan menjatuhkan pihak lawan politiknya. Pasal 69 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 “berisi larangan kampanye dengan menghina, menghasut, memfitnah, kekerasan dan mengadu domba partai politik”.

Tidak ada larangan dalam identitas politik, akan tetapi penyalahgunaan dari sebagian oknum-oknum partai politik seolah-olah menjadikan identitasnya sebagai alat untuk menghasut masyarakat agar memihak kepadanya, banyak para oknum-oknum politik yang menawarkan tawaran yang menggiurkan apalagi di daerah terpencil yang terisolir dengan menjanjikan pembangunan jalan, jembatan, bahkan pendidikan dan fasilitas yang sangat menjanjikan. Kekuasaan dan kekayaan para partai politik seolah-olah mendorong mudahnya untuk menghasut masyarakat. 

Faktor pendorong terjadinya politik identitas yang dapat menimbulkan perpecahan ini juga berasal dari pemilihan secara langsung, mengakibatkan adanya kesempatan bagi para partai-partai politik untuk menghasut golongannya, terlebih diera kecanggihan teknologi ini yang mudah mengakses berbagai cara atau argumen-argumen untuk menjatuhkan pihak lawan. Menurut Aryo Jati (2020) maraknya isu populisme dalam politik identitas akan mengancam persatuan dan kesatuan warga negara indonesia. Penggunaan isu agama dalam penghimpunan dukungan politik mempunyai lubang besar yang bisa saja ditumpangi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan memang menginginkan perpecahan indonesia.

Kepastian hukum terhadap politik identitas seharusnya diakomodir dalam Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Pilkada dan Undang-Undang MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD). Karena jika hal ini terus berlanjut semangat persatuan dan kesatuan yang rendah akan meningkatkan potensi polarisasi masyarakat bahkan elit politik. Sebagai negara yang multikultural serta demokratis sudah sepantasnya semua masyarakat memiliki kesetaraan hak dalam pemilu. Tidak ada lagi narasi hanya orang jawa yang bisa menjadi pemimpin negara, orang luar juga bisa. Tidak ada lagi narasi hanya orang islam saja yang bisa menjadi pemimpin negara, orang non islam juga bisa. Dalam artian bahwa hak seseorang untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat tidak didasarkan pada suku, agama, ras, atau etnis semata tapi lebih kepada kemampuan orang-orang itu untuk memimpin dan mengayomi masyarakat.

Kesimpulan

Praktik politik identitas ini perlu diperhatikan lebih lanjut lagi, mengingat tidak adanya Undang-Undang yang mengatur tentang politik identitas ini, kepastian hukum terhadap politik identitas seharusnya diakomodir dalam Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Pilkada dan Undang-Undang MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD). Sekilas terlihat tidak ada pengaruhnya akan tetapi jika dibahas lebih lanjut politik identitas ini lebih berbahaya dari pada money politics, karena melihat sudut pandang warga indonesia yang beragam-ragam suku, ras, budaya, etnis, agam yang akan saling membela golongannya masing-masing.

Keadaan partai politik yang bersaing akan memanfaatkan berbagai macam cara agar tercapai kepentingan politiknya, termasuk dengan cara menghasut masyarakat seolah-olah memberi gambaran bahwa kita adalah bersaudara, satu suku, satu keyakinan akan tetapi melupakan nilai-nilai sumpah pemuda bahwa kita harus sama-sama mencintai tanah air negara Indonesia, dengan menanamkan nilai-nilai demokrasi tanpa adanya intimidasi dan adu-domba antar golongan atau partai politik terten

Nancy Prema
Nancy Prema

Cukup Allah yang menjadi saksi.

Articles: 2