Penyelesaian Sengketa Pilkada Serentak

Bambang Handoko Bambang Handoko, S.H.
| 4 Oktober 2024


Pelaksanaan Pemilu pada 14 Februari 2024 telah usai, mencakup Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilihan Legislatif untuk DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Hasilnya, Prabowo dan Gibran menang berdasarkan Keputusan KPU No. 360 Tahun 2024, dengan meraih suara terbanyak sebanyak 96.214.691. Selanjutnya, masyarakat akan melaksanakan Pilkada serentak pada 27 November 2024, sesuai dengan tahapan yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024.

Pilkada atau Pemilu di Indonesia merupakan salah satu perwujudan demokrasi yang sering kali menghadirkan konflik dan sengketa. Sebaik apa pun sistem penyelenggaraan Pemilu yang dirancang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), selalu ada kemungkinan terjadinya pelanggaran yang memicu konflik dan sengketa.

Sengketa dapat terjadi antara peserta Pemilu dan antara peserta dengan penyelenggara Pemilu, karena adanya hak peserta Pemilu yang merasa dirugikan. Objek yang disengketakan dapat berupa surat keputusan KPU maupun berita acara yang dibuat oleh KPU. (Wahyuni, 2023)

Ketika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ditempatkan sebagai bagian dari rezim pemilihan umum (Pemilu) yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), implikasinya adalah sengketa Pilkada menjadi bagian dari perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, terminologi pemilihan kepala daerah diubah menjadi pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada).

Ketentuan dalam UU No. 22 Tahun 2007 kemudian diperkuat dalam Pasal 263C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 236C menyatakan bahwa penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan. Dengan demikian, kewenangan MK yang semula hanya memutus perselisihan hasil pemilihan umum Presiden, DPR, DPRD, dan DPD menjadi bertambah dengan memutus perselisihan hasil Pemilukada.

Melalui Putusan No. 97/PUU-XI/2013, MK membatalkan kewenangannya dalam memeriksa dan memutus sengketa Pemilukada. Permohonan pengujian diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), BEM Universitas Esa Unggul, dan Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ).

Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah berpendapat bahwa dalam memahami kewenangan MK yang ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, harus kembali melihat makna teks, original intent, dan makna gramatika yang komprehensif terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, pemilihan umum menurut Pasal 22E UUD 1945 harus dimaknai secara limitatif, yaitu pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD, dan dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Berdasarkan putusan tersebut, yang dimaksud dengan pemilihan umum setiap lima tahun sekali pada Pasal 22E UUD 1945 adalah pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan setiap lima tahun sekali atau pemilihan lima kotak suara.

MK berpendapat bahwa jika Pemilukada dimasukkan sebagai bagian dari pemilihan umum sehingga menjadi kewenangan MK untuk menyelesaikan perselisihan hasilnya, hal ini tidak hanya tidak sesuai dengan makna original intent dari pemilihan umum sebagaimana telah diuraikan di atas, tetapi juga akan menjadikan Pemilu tidak hanya setiap lima tahun sekali, tetapi berkali-kali, karena pemilihan kepala daerah dilakukan sangat banyak dalam setiap lima tahun dengan waktu yang berbeda-beda (Samsul, 2014). Pelanggaran hukum yang terjadi dalam proses Pemilukada bukan hanya mempengaruhi terpilihnya pasangan calon, tetapi juga mencederai sendi-sendi demokrasi. Dari berbagai putusan MK dalam menangani hasil Pemilukada, MK memperluas objek perselisihan hasil Pemilukada yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:

  1. hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota yang mempengaruhi:
    • penentuan pasangan calon yang dapat mengikuti putaran kedua pemilukada; atau
    • terpilihnya pasangan calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
  2. proses pemilukada yang mempengaruhi perolehan suara pasangan calon karena terjadinya pelanggaran pemilukada yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif yang dilakukan sebelum, selama, dan sesudah pemungutan suara. Pelanggaran-pelanggaran pemilukada tersebut bukan hanya terjadi selama pemungutan suara, sehingga permasalahan yang terjadi harus dirunut dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum pemungutan suara.
  3. pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dalam proses pemilukada yang berpengaruh terhadap perolehan suara dan hasil penghitungan suara juga dapat dipandang sebagai bagian sengketa pemilukada, termasuk syarat calon kepala daerah atau wakil kepala daerah.

Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, dalam Pasal 157 ayat 2, 3, dan 4 (UU Nomor 10 Tahun 2016) yang berbunyi:

2) Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.

3) Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.

4) Peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi.

Badan Peradilan Khusus Pilkada yang diamanatkan oleh UU Nomor 10 Tahun 2016 belum juga dibentuk. Padahal, persiapan ini harus segera diputuskan untuk menyambut Pilkada Tahun 2024.

Jadwal  Pemilihan  Kepala Daerah  Serentak  dinormalisasi berdasarkan Undang-Undang Nomor  10  Tahun  2016  tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun  2015  tentang  Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor  1  Tahun  2014  tentang Pemilihan   Gubernur,   Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Atas dasar tersebut, Pasal 157 ayat (2) UU 10/2016 mengamanatkan bahwa badan peradilan khusus harus dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan Serentak Nasional. Artinya, badan peradilan ini harus dibentuk sebelum perhelatan Pilkada Serentak Tahun 2024. Namun demikian, saat ini, Pemerintah dan DPR telah memiliki sikap untuk tidak melakukan pembahasan dan perubahan UU Pemilu (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) dan UU 10/2016), sebab pembentuk undang-undang menganggap aturan yang sudah baik tetap dijalankan dan tidak ingin sedikit-sedikit undang-undang diubah.

Baca juga:
Memahami Kontrak Karya dan Perjanjian Karya dalam Bidang Pertambangan

Penyelesaian sengketa hasil Pilkada merupakan salah satu bagian dari sistem keadilan elektoral di Indonesia yang beberapa kali mengalami perubahan konstruksi. Di era reformasi, Mahkamah Agung (MA) merupakan lembaga pertama yang berwenang menangani sengketa hasil Pilkada. Melalui Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004), keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diajukan oleh pasangan calon kepada MA paling lambat tiga hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pengajuan keberatan kepada MA disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk Pilkada tingkat provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk Pilkada tingkat kabupaten/kota, sebagaimana diatur dalam Pasal 106 ayat (3) UU 32/2004 (Violla Reininda, 2021).