Desain Ulang Kewenangan Lembaga Negara dalam Perspektif Checks and Balances

Uray Andre Baharudin Uray Andre Baharudin
| 3 Juli 2025


Pasca-amandemen UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan fundamental. Lahirnya lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan penguatan peran DPD menandai upaya menuju sistem demokrasi yang lebih terbuka. Namun, perubahan tersebut belum sepenuhnya berhasil menciptakan keseimbangan kekuasaan antarlembaga negara. Ketimpangan, tumpang tindih kewenangan, hingga tarik-menarik kepentingan menjadi gejala yang muncul di balik desain konstitusional yang telah diperbarui. Dalam konteks ini, penting untuk meninjau ulang distribusi kewenangan lembaga negara dalam kerangka checks and balances yang sehat dan berkeadilan.

Konsep checks and balances lahir dari pemikiran klasik Montesquieu yang menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan demi mencegah tirani. Dalam kerangka ini, tiga cabang kekuasaan negara eksekutif, legislatif, dan yudikatif mesti memiliki mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi. Sistem ini bukan hanya teori normatif, melainkan fondasi praktis dari negara demokrasi modern. Dalam konteks Indonesia, prinsip ini diadopsi dalam bentuk pembagian tugas lembaga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Namun dalam praktik, pelaksanaannya kerap menunjukkan ketidakseimbangan dan dominasi tertentu.

Struktur Lembaga Negara Pasca-Amandemen UUD 1945

Amandemen UUD 1945 membuka ruang demokrasi konstitusional melalui reposisi kekuasaan lembaga negara. Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, tetapi langsung oleh rakyat. Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menguji undang-undang terhadap UUD. Komisi Yudisial hadir untuk menjaga integritas hakim. Di saat yang sama, DPD diberi ruang untuk menyuarakan kepentingan daerah. Namun, banyak pengamat menilai bahwa desain ini belum menjamin efektivitas dan keseimbangan. Masih terlihat dominasi lembaga eksekutif, terutama dalam proses legislasi yang pada praktiknya dikendalikan oleh pemerintah bersama DPR. Fungsi pengawasan DPD pun terbatas, bahkan nyaris simbolik.

Kekuasaan yang tidak seimbang menciptakan celah bagi pelanggaran prinsip negara hukum. Presiden, misalnya, memiliki pengaruh besar dalam pengangkatan pejabat negara, termasuk jaksa agung dan kepala kepolisian, yang idealnya tunduk pada prinsip independensi. Dalam proses legislasi, pemerintah kerap mendominasi pembahasan RUU bersama DPR. Mahkamah Konstitusi, sebagai pengawal konstitusi, kadang menghadapi tekanan politik saat memutus perkara strategis. Di sisi lain, Komisi Yudisial tidak memiliki kewenangan mengikat dalam penindakan etik terhadap hakim. KPK pun mengalami pelemahan regulatif melalui revisi UU yang mempersempit ruang geraknya. Fenomena ini menunjukkan bahwa sistem pengimbangan belum berjalan secara fungsional.

Gagasan Desain Ulang Kewenangan

Mengingat dinamika tersebut, perlu dipikirkan ulang relasi kewenangan antarlembaga negara. Pendekatan yang berangkat dari evaluasi konstitusional dapat membantu mengurai benang kusut antara teks konstitusi dan praktik kelembagaan. Salah satu pendekatan yang relevan adalah penguatan fungsi parlemen, bukan hanya sebagai pembuat undang-undang, tetapi juga sebagai pengawas aktif terhadap pelaksanaan kekuasaan eksekutif. Selain itu, pemisahan yang lebih tegas antara fungsi yudisial dan administratif di lembaga peradilan dapat memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Konsep “konstitusionalisme substantif” seperti dikemukakan Jimly Asshiddiqie mengajak melihat konstitusi bukan sebagai teks semata, melainkan sebagai nilai yang hidup dan dinamis dalam praktik bernegara.

Desain ulang ini juga menyentuh aspek keberfungsian lembaga seperti DPD agar tidak sekadar menjadi pelengkap prosedur legislasi. Reposisi KPK, MA, dan KY dalam konteks integritas lembaga peradilan perlu diarahkan agar terjadi sinergi tanpa tumpang tindih. Keseimbangan bukan berarti kekuasaan dibagi sama rata, melainkan bagaimana setiap lembaga menjalankan fungsi secara saling mengontrol dan saling melengkapi.

Baca juga: Konstruksi Green Constitution dalam Undang-Undang Dasar: Menafsir Hak atas Lingkungan sebagai Mandat Konstitusional

Desain ulang kewenangan lembaga negara dalam perspektif checks and balances bukan sekadar soal efisiensi birokrasi, tetapi tentang bagaimana menciptakan tata kelola kekuasaan yang adil, akuntabel, dan demokratis. Ketika satu lembaga terlalu dominan, maka prinsip negara hukum terancam oleh konsentrasi kekuasaan. Sebaliknya, keseimbangan yang dinamis dapat mendorong terbangunnya sistem ketatanegaraan yang matang. Seperti dikatakan oleh Mahfud MD, “Konstitusi bukan hanya aturan, tapi juga penunjuk arah dan nilai dalam kehidupan bernegara.” Dengan semangat ini, pemikiran tentang desain ulang lembaga negara menjadi bagian dari upaya menyempurnakan perjalanan demokrasi konstitusional Indonesia.