Konstruksi Green Constitution dalam Undang-Undang Dasar: Menafsir Hak atas Lingkungan sebagai Mandat Konstitusional

Uray Andre Baharudin Uray Andre Baharudin
| 30 Juni 2025


Di tengah eskalasi krisis lingkungan global dan lokal, diskursus mengenai keberlanjutan tak lagi cukup berhenti pada tataran kebijakan administratif. Ia perlu ditempatkan dalam kerangka hukum tertinggi sebuah negara: konstitusi. Gagasan tentang Green Constitution muncul sebagai respons terhadap kebutuhan untuk meneguhkan perlindungan lingkungan hidup sebagai hak fundamental warga negara sekaligus sebagai tanggung jawab negara. Dalam konteks Indonesia, perumusan ulang relasi antara negara, warga negara, dan alam menemukan momentumnya dalam tafsir atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Istilah Green Constitution merujuk pada konstitusi yang memuat norma-norma ekologis secara eksplisit atau implisit, baik dalam bentuk hak-hak lingkungan, kewajiban negara, maupun asas keberlanjutan. Konsep ini menempatkan lingkungan tidak hanya sebagai isu sektoral, tetapi sebagai elemen hakikat kehidupan berbangsa. Menurut Klaus Bosselmann, Green Constitution adalah “a constitutional commitment to ecological sustainability,” yakni komitmen konstitusional terhadap keberlanjutan ekologi.

Dalam kerangka ini, konstitusi tidak lagi semata mengatur relasi antar-lembaga negara, tetapi juga antara manusia dan alam. UUD 1945 dengan sendirinya menyediakan fondasi awal bagi konstruksi tersebut, meskipun belum secara rinci mengatur struktur perlindungan ekologis.

Pilar Konstitusional: Pasal 28H dan Pasal 33

Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Kalimat ini bukan sekadar norma deklaratif, melainkan afirmasi atas hak konstitusional warga negara terhadap kualitas hidup yang layak dalam konteks ekologis.

Sementara itu, Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tafsir progresif atas pasal ini membuka jalan bagi pemahaman bahwa penguasaan negara atas sumber daya alam bukanlah bentuk kepemilikan mutlak, melainkan bentuk tanggung jawab konstitusional untuk menjamin keberlanjutan dan keadilan ekologis.

Dua pasal ini memberi titik tumpu argumentatif bahwa perlindungan lingkungan telah menjadi bagian inheren dari bangunan konstitusi Indonesia. Namun, substansi normatif tersebut memerlukan elaborasi lebih lanjut dalam praktik hukum dan kebijakan.

Legislasi Turunan dan Kesenjangan Implementasi

Sebagai tindak lanjut dari amanat konstitusional, negara telah mengesahkan berbagai undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup, di antaranya:

  • UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
  • UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
  • UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air

Namun, muncul kesenjangan antara semangat konstitusional dengan realitas implementatif. Instrumen hukum tersebut kerap kali menjadi alat legitimasi eksploitasi sumber daya alam ketimbang sebagai penjaga keberlanjutan ekologis. Salah satu contohnya adalah polemik tentang proyek-proyek strategis nasional yang menyingkirkan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hutan.

Alih-alih menghidupi semangat Green Constitution, kebijakan semacam ini memperlihatkan konflik antara orientasi pembangunan dan perlindungan lingkungan. Di sinilah pentingnya menyelaraskan legislasi turunan dengan prinsip-prinsip konstitusional agar tidak terjadi deviasi norma.

Peran Mahkamah Konstitusi dalam Merawat Ekologi Konstitusional

Mahkamah Konstitusi memiliki posisi strategis dalam mempertegas keberlakuan Green Constitution melalui putusan-putusan yang memperluas cakupan perlindungan lingkungan. Salah satu putusan penting adalah Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 yang membatalkan UU Sumber Daya Air karena dinilai mengurangi peran negara dalam penguasaan sumber daya strategis.

Putusan lain yang berimplikasi ekologis adalah pengakuan hak masyarakat hukum adat atas wilayahnya dalam Putusan MK No. 35/PUU-X/2012. Dalam perkara tersebut, MK menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi termasuk hutan negara. Hal ini membuka ruang pengakuan terhadap hak kolektif komunitas atas lingkungan hidup.

Kedua putusan tersebut menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak hanya berperan sebagai penjaga teks konstitusi, tetapi juga sebagai aktor pembentuk doktrin Green Constitution melalui interpretasi yang progresif.

Baca juga: Cryptocurrency Sebagai Alat Baru Money Laundering

Konstruksi Green Constitution dalam UUD 1945 bukan sekadar wacana normatif, melainkan fondasi yang memberi ruang bagi terbentuknya sistem hukum yang berkeadilan ekologis. Tafsir konstitusi yang menempatkan lingkungan sebagai bagian dari hak dasar manusia menjadi penting dalam membentuk orientasi hukum ke depan.

Dalam konteks ini, hukum tidak berdiri di luar ekosistem, melainkan menjadi bagian dari upaya kolektif menjaga keberlanjutan hidup. Mengingatkan kembali kata-kataChristopher Stone, bahwa “to speak for the trees is to speak for ourselves,” maka menjaga konstitusi hijau adalah bagian dari menjaga kemanusiaan itu sendiri.

Referensi:
  • Bosselmann, Klaus. (2016). Earth Governance: Trusteeship of the Global Commons. Edward Elgar Publishing.
  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013.
  • Putusan MK No. 35/PUU-X/2012.
  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  • Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.