Kohabitasi di Mata Hukum: Kebebasan Individu atau Ancaman Sosial?

Oleh Dhuha Al Qodri

Paralegal di Law Firm AHS & Rekan

Di era modern, semakin banyak masyarakat yang memilih untuk hidup serumah tanpa ikatan pernikahan. Fenomena ini terjadi di berbagai lapisan sosial dengan beragam alasan, mulai dari faktor ekonomi, keinginan untuk mengenal pasangan lebih dalam sebelum menikah, hingga pergeseran nilai dan budaya yang lebih mengedepankan kebebasan individu. Bagi sebagian pasangan, tinggal bersama tanpa menikah dianggap sebagai cara praktis untuk menguji kompatibilitas sebelum berkomitmen dalam pernikahan. Sementara itu, ada juga yang merasa bahwa institusi pernikahan bukan lagi suatu keharusan dalam menjalin hubungan. Tren ini lebih banyak ditemui di daerah perkotaan, di mana gaya hidup modern dan pemikiran yang lebih terbuka memengaruhi pola hubungan.

Filsuf hukum ternama, Eugen Ehrlich, mengemukakan gagasan bahwa peraturan yang ideal harus berlandaskan hukum yang berkembang dalam masyarakat (living law). Menurutnya, persoalan hukum tidak sekadar berkaitan dengan legalitas formal atau penafsiran pasal-pasal dalam undang-undang, tetapi lebih jauh lagi harus mampu menjadi sarana dalam membentuk suatu tatanan hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Saat ini, pergeseran nilai agama dan moral dalam masyarakat semakin terlihat, terutama dalam hal kebebasan seksual. Kohabitasi sendiri merujuk pada praktik hidup bersama seperti suami istri dalam satu rumah tanpa adanya pernikahan yang sah. Istilah ini digunakan untuk menyebut perilaku yang dulunya lebih dikenal sebagai kumpul kebo. Fenomena kohabitasi pun semakin marak dan dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai bentuk penyimpangan seksual karena nilai budaya dan ajaran agama menyatakan bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan hanya dianggap sah jika didasarkan pada ikatan pernikahan.

Di Kota Medan, misalnya, fenomena kohabitasi juga semakin berkembang di kalangan masyarakat urban. Di kota-kota besar, tidak sedikit pasangan yang memilih untuk tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan, baik di apartemen maupun indekos. Gaya hidup modern, faktor ekonomi, serta perubahan pola pikir mengenai pernikahan menjadi beberapa alasan utama mengapa praktik ini semakin marak di lingkungan perkotaan.

Setelah KUHP baru disahkan, beberapa pasal dalam undang-undang ini menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Salah satu yang menjadi sorotan adalah Pasal 412 KUHP, yang mengatur tentang kohabitasi. Kohabitasi, atau dalam bahasa Belanda dikenal sebagai Samenleven, merujuk pada praktik hidup bersama sebagai pasangan tanpa adanya ikatan pernikahan. Regulasi terkait kohabitasi menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat. Banyak yang beranggapan bahwa KUHP baru justru mengalami kemunduran karena memasuki ranah private individu. Hal ini berbanding terbalik dengan tren di berbagai negara lain yang telah menghapus ketentuan serupa dari hukum pidana mereka. Pengaturan tindak pidana kohabitasi atau yang lebih dikenal dengan istilah kumpul kebo merupakan hal baru dalam KUHP yang telah diperbarui.

Pasal 412 KUHP secara eksplisit mengatur bahwa hidup bersama tanpa ikatan pernikahan kini dikategorikan sebagai tindak pidana. Berbeda dengan KUHP warisan kolonial Belanda yang tidak mengatur kohabitasi, pasangan yang tinggal bersama tanpa menikah sebelumnya tidak dapat dijerat hukum. Namun, dengan adanya KUHP baru, praktik ini dapat dikenai sanksi pidana dengan ancaman hukuman penjara maksimal 6 bulan. Seperti halnya tindak pidana kohabitasi dikategorikan sebagai delik aduan absolut. Artinya, penuntutan hanya dapat dilakukan jika ada pihak yang melapor. Dalam hal ini, pihak yang berhak mengajukan aduan adalah suami atau istri dari salah satu pelaku yang masih terikat pernikahan, serta orang tua atau anak dari pelaku yang belum menikah. Namun, pelapor masih memiliki kesempatan untuk menarik aduan tersebut, selama proses persidangan belum dimulai.

Dari perspektif nilai dan kebudayaan bangsa, kohabitasi dianggap sebagai tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Praktik ini dipandang sebagai perilaku yang bertentangan dengan norma kesusilaan yang dijunjung tinggi dalam budaya Indonesia. Selain itu, berbagai ajaran agama di Indonesia secara tegas melarang kohabitasi, menganggapnya sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan nilai moral dan etika yang dianut oleh masyarakat.

Penulis berpendapat bahwa Perbuatan ini dinilai tidak selaras dengan nilai-nilai agama dan budaya suatu bangsa, karena mayoritas agama di dunia menganggapnya bertentangan dengan ajaran serta norma yang berlaku. Khususnya dalam Islam, kohabitasi dikategorikan sebagai perbuatan yang termasuk dalam larangan perzinahan. Fenomena kohabitasi kini telah menyebar ke berbagai lapisan masyarakat, sehingga menjadi permasalahan sosial yang semakin kompleks. Selain itu, perilaku ini berpotensi memicu terjadinya tindak pidana lain (concursus idealis), seperti aborsi, pencabulan, atau bahkan pembunuhan apabila salah satu atau kedua belah pihak enggan bertanggung jawab atas konsekuensi yang ditimbulkan. Untuk mengatasi berbagai tantangan ini, diperlukan pemahaman yang menyeluruh mengenai kerangka hukum, norma sosial, serta dinamika hubungan antar individu dalam kehidupan bersama. Mayoritas ahli hukum pidana di Indonesia berpendapat bahwa kohabitasi merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum serta nilai-nilai yang dianut masyarakat, termasuk norma agama, norma sosial, dan norma kesusilaan. Oleh karena itu, praktik ini kemudian dikategorikan sebagai tindak pidana dalam KUHP yang baru.

Baca opini lainnya dari Dhuha Al Qodri:
Pentingnya Pengesahan RUU Perampasan Aset dalam Upaya Pemulihan Keuangan Negara

Sehingga Penulis berharap “kriminalisasi” kohabitasi atau kumpul kebo diharapkan dapat menjadi solusi untuk meredam keresahan masyarakat terhadap perilaku yang dianggap sebagai penyimpangan sosial. Dengan adanya ancaman sanksi pidana, baik berupa denda maupun hukuman penjara, aturan ini bertujuan untuk memberikan efek jera serta mencegah individu yang berencana melakukan kohabitasi.

Selain itu, “kriminalisasi” ini juga dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai moral, sosial, dan keagamaan yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Indonesia. Oleh Karena, hukum yang ideal adalah hukum yang mampu memberikan dan menegakkan keadilan bagi setiap subjek hukumnya. Selain itu, hukum yang baik juga harus mencerminkan nilai-nilai budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat, sehingga dapat diterima dan dihormati oleh warga negara. Dengan demikian, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat pengaturan, tetapi juga sebagai cerminan dari norma dan nilai yang dianut oleh masyarakat.

Admin
Admin

Smart Lawyer lebih dari sekedar blog atau situs yang menyediakan jutaan informasi hukum secara gratis. Smart Lawyer punya tujuan, harapan, dan impian, sama seperti Anda. Smart Lawyer ingin memberikan solusi yang lebih baik untuk setiap orang yang mencari informasi hukum.

Articles: 1654