Pentingnya Pengesahan RUU Perampasan Aset dalam Upaya Pemulihan Keuangan Negara

Oleh Dhuha Al Qodri

Paralegal di Law Firm AHS & Rekan

Setiap tahunnya, kasus pencucian uang yang dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) terus meningkat. Penegak hukum mengalami kesulitan dalam melacak asal-usul kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana, karena para pelaku menggunakan berbagai cara untuk menyembunyikan atau mengaburkan sumber dari aset tersebut. Praktik pencucian uang ini tidak hanya mengancam integritas dan stabilitas ekonomi serta sistem keuangan, tetapi juga dapat merusak dasar-dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berpegang pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Fokus utama dalam upaya internasional saat ini untuk memberantas kejahatan ekonomi adalah mengembalikan aset yang hilang akibat tindakan ilegal. Gagasan ini tercantum dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi (UNCAC) tahun 2003. UNCAC mendorong negara-negara peserta untuk mengambil langkah-langkah dalam memulihkan aset yang diperoleh dari aktivitas ilegal. Indonesia saat ini tergolong sebagai negara yang rentan terhadap kejahatan keuangan, termasuk pencucian uang. Hal ini disebabkan oleh penggunaan pendekatan follow the money oleh aparat penegak hukum dalam menangani kasus pencucian uang. Strategi ini melibatkan penelusuran aliran dana yang berhubungan dengan tindak kejahatan atau pelanggaran hukum lainnya untuk membuktikan bahwa aset yang dimiliki oleh pelaku berasal dari aktivitas ilegal.

Terkait dengan pencucian uang, telah diterbitkan berbagai regulasi, dimulai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Selanjutnya, diterbitkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut Undang-Undang TPPU) adalah undang-undang pencucian uang terbaru yang telah diratifikasi di Indonesia untuk menangani kasus pencucian uang. UU ini menggantikan peraturan sebelumnya. Namun, untuk diimplementasikannya Undang-Undang ini harus terlebih dahulu mengatasi hambatan dalam proses perampsaan aset dari hasil kejahatan. Hal ini disebabkan oleh Undang-Undang terkait pencucian uang dan korupsi, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan Undang-Undang Nomor Tahun 2001, yang memerlukan pembuktian tindak pidana awal sebelum  dapat melakukan perampasan aset. Namun, pelaksanaan Undang-Undang ini menghadapi kendala dalam proses perampasan aset hasil kejahatan.

Hambatan muncul karena regulasi terkait pencucian uang dan korupsi, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, mengharuskan adanya pembuktian tindak pidana awal (core crime) sebelum aset dapat dirampas. Secara tradisonal, kejahatan yang melibatkan atau menghasilkan kekayaan telah menjadi fokus dari perampasan aset. Menurut pedoman hukuman dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), penyitaan aset merupakan salah satu hukuman tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku kejahatan. Namun, dalam menghadapi kejahatan modern, diperlukan metode perampasan aset yang berbeda, karena tidak semua kasus melibatkan strategi pemidanaan. Hal ini terutama berlaku untuk kejahatan ekonomi, yang sering dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yang mengatur tentang pencegahan dan pemberantasan pencucian uang, telah menetapkan regulasi terkait proses perampasan aset. Perampasan aset berdasarkan konvensi, atau yang dikenal sebagai perampasan aset kriminal, merupakan keputusan terhadap tersangka di mana aset hanya dapat dirampas jika terbukti memiliki keterkaitan langsung dengan individu yang telah dinyatakan bersalah melalui putusan pengadilan. Untuk melaksanakan perampasan aset melalui mekanisme perampasan kriminal, langkah awal yang penting adalah membuktikan terlebih dahulu kejahatan yang telah dilakukan oleh tersangka.

Perampasan aset secara in personam umumnya dilakukan melalui proses hukum pidana sebagai bentuk hukuman terhadap terdakwa serta penyitaan aset miliknya. Proses ini melibatkan beberapa persyaratan formal dalam penjatuhan hukuman pidana, yaitu:

  1. Dakwaan Harus spesifik dan memiliki keterkaitan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
  2. Memerlukan bukti yang memenuhi standar pembuktian yang berlaku.
  3. Dakwaan tidak boleh mengandung unsur pemaksaan terhadap terdakwa untuk mengakui kesalahannya.

Ada beberapa tahapan dan mekanisme dalam melakukan perampasan  aset secara in personam. Tahap pertama melibatkan penyelidikan dengan menelusuri aset guna mengidentifikasi keberadaannya, lokasi penyimpanan, bukti kepemilikan, serta keterkaitannya dengan tindak pidana yang dilakukan. Tahap kedua adalah pembekuan aset milik terdakwa, di mana aset tersebut untuk sementara dialihkan atau diblokir selama proses pemeriksaan oleh aparat penegak hukum. Tahap ketiga mencakup perampasan aset secara permanen dengan mencabut hak kepemilikan berdasarkan putusan pengadilan. Tahap keempat, aset yang telah dirampas kemudian dikembalikan kepada korban atau pihak yang mengalami kerugian.

Dalam perampasan aset melalui criminal forfeiture, hukuman ini berfungsi sebagai hukuman tambahan yang menyertai hukuman pokok dan tidak dapat diterapkan secara mandiri. Dalam kasus pencucian uang yang melibatkan aset yang diduga berasal dari kejahatan, terdakwa diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa aset atau dana yang dimilikinya bukan hasil dari aktivitas ilegal. Proses ini dikenal sebagai shifting burden of proof (pembalikan beban pembuktian).

Baca juga:
Officium Nobile Diobral Habis di Ruang Persidangan!

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merilis data pada Januari 2024 yang mencatat sebanyak 3.234.474 laporan terkait pencucian uang. Angka ini menunjukkan peningkatan aktivitas kriminal sebesar 17,0% dibandingkan bulan sebelumnya. Kenaikan terbesar dibandingkan Desember 2023 terlihat pada lonjakan 34,4% dalam penerimaan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM). Berdasarkan informasi yang diberikan oleh PPATK, penulis menilai bahwa penegakan hukum di Indonesia serta upaya pemberantasan pencucian uang masih belum efektif. Hal ini disebabkan oleh kesulitan dalam mengidentifikasi pelaku pencucian uang, yang pada akhirnya mempersulit penyitaan aset dan pemulihan kerugian negara akibat kejahatan tersebut.

Saat ini, Indonesia masih menerapkan prosedur perampasan aset in personam, di mana penyitaan aset dilakukan melalui proses penuntutan pidana setelah adanya putusan pengadilan yang menyatakan terdakwa bersalah. Penulis mengungkapkan bahwa prosedur perampasan aset melalui mekanisme kriminal memiliki keterbatasan dalam menemukan dan menyita aset yang diperoleh oleh pelaku kejahatan. Terdapat beberapa faktor yang menghambat pelaksanaan perampasan aset secara in personam:

  1. Jika terdakwa meninggal dunia selama proses pemeriksaan, maka sesuai dengan hukum pidana Indonesia, tuntutan pidana terhadapnya harus dihentikan.
  2. Aset yang diduga berasal dari tindak pidana berhasil ditemukan, tetapi keberadaan tersangka tidak diketahui.
  3. Kurangnya atau tidak adanya alat bukti yang memadai untuk menuntut suatu tindak pidana.
  4. Pelaku melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari proses pemeriksaan.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset diharapkan menjadi alat yang efektif bagi aparat penegak hukum dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang serta kejahatan lainnya. Selain itu, RUU ini juga berperan sebagai instrumen hukum yang lebih efisien dalam menyita aset hasil kejahatan serta mengembalikan aset yang telah dirampas oleh pelaku kejahatan.

Terdapat lima poin utama yang menegaskan urgensi RUU Perampasan Aset, yaitu:

  1. Menghemat waktu dan biaya dalam proses penanganan perkara.
  2. Memperluas cakupan perampasan aset dibandingkan dengan regulasi yang sudah ada, sehingga meningkatkan peluang pemulihan aset.
  3. Memungkinkan penggantian aset yang tidak dapat disita di luar negeri dengan aset lain yang memiliki nilai setara.
  4. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pengelolaan aset sitaan dengan menempatkannya di satu lembaga khusus.
  5. Menerapkan sistem pembuktian terbalik secara penuh, di mana pihak termohon harus membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak kejahatan.

Oleh karena itu, perampasan aset melalui mekanisme in rem atau melalui gugatan perdata, sebagaimana diatur dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, diyakini lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Mekanisme ini berfungsi sebagai hambatan bagi pelaku kejahatan serta secara efektif membantu memulihkan kerugian yang dialami oleh Negara

Penulis berpendapat bahwa mekanisme perampasan aset dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan aset yang menerapkan sistem non-convention based memberikan kewenangan yang luas bagi aparat penegak hukum untuk menyita aset atau properti yang diperoleh dari kejahatan serta yang diduga digunakan atau pernah digunakan dalam melakukan tindak pidana lainnya. Perampasan aset melalui mekanisme in rem dapat dilakukan tanpa harus membuktikan adanya tindak pidana awal (core crime), sehingga mempercepat proses penyitaan dan pemulihan aset hasil kejahatan. Oleh karena itu, penulis mendorong agar pemerintah khususnya lembaga legislatif segera membahas dan mengesahkan RUU tersebut. Sehingga dinilai menjadi sangat penting untuk menjadi instrumen hukum baru dalam memberantas kejahatan ekonomi serta memulihkan kerugian Negara yang diakibatkan oleh segala bentuk kejahatan.

Admin
Admin

Smart Lawyer lebih dari sekedar blog atau situs yang menyediakan jutaan informasi hukum secara gratis. Smart Lawyer punya tujuan, harapan, dan impian, sama seperti Anda. Smart Lawyer ingin memberikan solusi yang lebih baik untuk setiap orang yang mencari informasi hukum.

Articles: 1654