Klasifikasi Bunga Dalam Hukum Perdata

Hukum Indonesia memungkinkan permintaan penggantian kerugian menurut undang-undang yang dapat berupa ‘kosten, schaden, en interessen’, sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata. Pasal ini menyebutkan: Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila si berhutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya”. 

Menurut Subekti (1996: 148), yang dimaksud kerugian yang dapat dimintakan tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda si berpiutang (schaden), tetapi juga kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang akan diperoleh seandainya si berhutang/debitur tidak lalai menjalankan kewajibannya (winsderving).

Pada prinsipnya, ganti rugi yang diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata secara logis besarnya adalah sebesar kerugian yang diderita atau kerugian yang nyata (feitelijke schade). Namun Pasal 1249 KUHPerdata memberikan pengecualian, berupa kesepakatan kedua belah pihak yang telah membuat perjanjian. Jika sudah diperjanjikan sebelumnya, maka Pasal 1249 KUHPerdata menegaskan tidak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih tinggi atau yang lebih rendah dari apa yang diperjanjikan. Klausula perjanjian semacam itu disebut janji ganti rugi/denda atau ‘schadevergoeding/boete beding’. (J. Satrio, 1999: 145). 

Jika sudah diperjanjikan sebelumnya, maka Pasal 1249 KUHPerdata menegaskan tidak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih tinggi atau yang lebih rendah dari apa yang diperjanjikan

Perihal dengan bunga, ada beberapa pertanyaan mendasar: apakah ada batasan jumlah bunga yang boleh diajukan? Dalam hal-hal apa tuntutan bunga dapat diajukan kepada tergugat? Apa konsekuensinya jika para pihak sebelumnya tidak memperjanjikan bunga dalam perjanjian mereka? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut telah berkembang dalam praktek pengadilan. (David Nainggolan, 2022)

Mengenai bunga, dalam hal besarnya bunga tidak diatur dalam suatu perjanjian, maka undang-undang yang dimuat Lembaran Negara No. 22 Tahun 1948 telah menetapkan bunga dari suatu kelalaian/kealpaan (bunga moratoir) yang dapat dituntut oleh kreditur dari debitur adalah sebesar 6 (enam) % per tahun. Jika kita mengacu pada ketentuan Pasal 1250 KUHPerdata, bunga yang dituntut oleh kreditur tersebut tidak boleh melebihi batas maksimal bunga sebesar 6 (enam) % per tahun, sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut. (Albert Aris, 2013)

Dalam hukum perdata dikenal tiga macam prestasi yaitu, memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Apabila si Debitur tidak melaksanakan prestasi, maka si Debitur dapat dinyatakan wanprestasi oleh Kreditur. Debitur yang wanprestasi wajib memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 dan Pasal 1239 KUHPerdata.

Penggantian biaya, kerugian, atau bunga oleh debitur harus dibuktikan dengan adanya kelalaian seorang debitur dalam hal ini mengenai keterlambatan pembayaran, seorang debitur barulah menjadi wajib untuk membayarkan sebuah ganti biaya, rugi, dan bunga apabila dirinya telah dinyatakan lalai. Demikian sebagaimana diatur Pasal 1243 KUHPerdata yang lengkapnya berbunyi:

Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya.”

Pernyataan lalainya seorang Debitur harus dibuktikan dengan surat perintah seperti surat peringatan pembayaran atau surat sejenis lainnya, sebagaimana Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan bahwa:

Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Untuk mengetahui lebih khusus mengenai pemenuhan Bunga oleh Debitur, mari kita telaah tiga jenis bunga dalam hukum Indonesia. Sebagaimana dikutip dari buku Hukum Perikatan yang ditulis oleh J.Satrio, ada tiga jenis / klasifikasi bunga yaitu:
  1. Bunga Moratoir, yaitu bunga yang terutang karena Debitur terlambat memenuhi kewajiban membayar sejumlah uang;
  2. Bunga Konventional, yaitu bunga yang disepakati para pihak; dan
  3. Bunga Kompensatoir, yaitu semua bunga, di luar bunga yang diperjanjikan.

Berdasarkan pengertian di atas Bunga Moratoir merupakan Bunga Kompensatoir, sehingga dalam pengertiannya terdapat Bunga Moratoir Kompensatoir, Bunga Konventional dan Bunga Kompensatoir bukan Moratoir, berikut penjelasan dan perbedaan dari 3 hal tersebut.

Bunga Moratoir Kompensatoir

Bunga Moratoir merupakan ganti rugi dalam wujud sejumlah uang, sebagai akibat dari tidak atau terlambat dipenuhinya perikatan yang berisi kewajiban pembayaran sejumlah uang oleh debitur. Hal ini diatur khusus pada Pasal 1250 paragraf (1) KUHPerdata yang menyatakan:

Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar disebabkan terlambatnya pelaksanaan, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus.” 

Bunga yang ditentukan berdasarkan undang-undang adalah bunga sebesar 6% (enam) persen setahun, hal ini dilihat dari S.1848: No. 22.

Pada prinsipnya, Bunga Moratoir ini tidak perlu dibuktikan adanya suatu kerugian oleh Kreditur, namun untuk pengenaan Bunga Moratoir hanya harus dibayar terhitung mulai dari diminta di muka Pengadilan, kecuali dalam hal-hal yang mana undang-undang menetapkan bahwa ia berlaku demi hukum. Demikian ketentuan Pasal 1250 paragraf (3) KUHPerdata.

Kesimpulan dari Bunga Moratoir adalah bunga yang diharapkan menjadi keuntungan atas akibat kelalaian pelaksanaan suatu prestasi Debitur, menjadi Kompensatoir apabila bunga tersebut menjadi pengganti kerugian sehingga menjadi bersifat kompensatoir.

Bunga Konventional

Bunga Konventional adalah bunga yang diperjanjikan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1767 KUHPerdata, dan karenanya tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ganti rugi. Bunga ini diberikan bukan sebagai ganti rugi, tetapi karena disepakati oleh para pihak dan karenanya mengikat para pihak. Hal ini didasari pada asas kebebasan berkontrak yang tercantum pada Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan:

Bunga Konventional adalah bunga yang diperjanjikan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1767 KUHPerdata, dan karenanya tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ganti rugi. Bunga ini diberikan bukan sebagai ganti rugi, tetapi karena disepakati oleh para pihak dan karenanya mengikat para pihak. Hal ini didasari pada asas kebebasan berkontrak yang tercantum pada Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya

Mengenai besaran Bunga Konventional ini, karena bunga ini timbul berdasarkan kesepakatan para pihak, maka besarannya dapat ditentukan bersama oleh para pihak dengan mengenyampingkan besaran bunga menurut undang-undang.

Perlu diperhatikan bahwa dalam menyepakati Bunga Konventional ini para pihak yang menyepakati wajib membuat membuat perjanjian dalam bentuk tertulis. Hal ini sebagaimana dinyatakan pada kutipan Pasal 1767 KUHPerdata:

“…Bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian boleh melampaui bunga menurut undang-undang dalam segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang. Besarnya bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian harus ditetapkan secara tertulis.”   

Bunga Kompensatoir Bukan Moratoir

Bunga Kompensatoir adalah semua bunga yang bukan Bunga Konvensional dan bukan Bunga Moratoir. Yang membedakan antara Bunga Kompensatoir dengan Bunga Moratoir adalah kepentingan perlunya pembuktian atas kerugian. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bagian A, Bunga Moratoir tidak perlu dibuktikan adanya kerugian oleh Kreditur. Sedangkan, untuk Bunga Kompensatoir bukan Moratoir harus ada kerugian riil atau dianggap ada. Bunga Kompensatoir ini pada dasarnya diberikan untuk mengganti kerugian atau pembayaran bunga-bunga yang telah dikeluarkan oleh Kreditur sebagai akibat dari wanprestasinya debitur. (Permatasari, 2012).

Referensi:

*Penulis adalah Advokat pada Kantor Hukum Saleh & Partners

smartlawyer.id
Bambang Handoko
Bambang Handoko

Bambang Handoko adalah lulusan dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Bambang telah menangani sejumlah kasus berkelas, membuatnya dikenal sebagai Advokat yang bekerja secara mandiri dan kreatif dalam menangani perkara yang dihadapi kliennya.

Articles: 5