Apakah Justice Collaborator Bisa Bebas dari Tuntutan Hukum?

Belakangan ini banyak perbincangan-perbincangan publik terkait dengan Justice Collaborator, istilah ini ramai disebut dalam kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang melibatkan Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdi Sambo. Status Justice Collaborator di pakai oleh Richard Eliezer dalam perkara yang menjadi sorotan publik itu. Pada awal persidangan dengan agenda pembacaan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Richard Eliezer memang sudah menjadi Justice Collaborator bahkan pada saat proses penyidikan.

Baca juga:
Korban yang Melakukan Pembelaan Diri, Apakah Dapat di Pidana Atau Tidak?

Pada hari Rabu, 18 Januari 2023, Jaksa Penuntut Umum pada sidang dengan agenda pembacaan tuntutan Richard Eliezer telah membacakan tuntutan untuk Richard Eliezer dengan salah satu point dari Requisitoirnya yaitu menuntut Richard Eliezer Pudihang Lumiu dengan hukuman 12 Tahun penjara, hal inilah yang sontak membuat pengunjung sidang dan mayoritas seluruh rakyat Indonesia terkejut dengan tuntutan yang ucapkan oleh JPU. “mengapa 12 Tahun, sedangkan Richard Eliezer adalah Justice Collaborator?” sampai sekarang masih banyak perdebatan-perdebatan tentang kedudukan Justice Collaborator dalam suatu perkara pidana itu seperti apa?

Dari hal itulah, penulis tertarik untuk membahas kedudukan Justice Collaborator, apakah JC bisa bebas dari tuntutan hukum? Dan bagaimana hak-hak yang diperoleh oleh Justice Collaborator?.

Pengertian Justice Collaborator

Justice Collaborator adalah salah satu pelaku tindak pidana yang bekerja sama dengan Aparat Penegak Hukum untuk membongkar dan mengungkap kasus tindak pidana tertentu yang terorganisir dan menimbulkan ancaman serius. Justice Collaborator juga bisa disebut sebagai saksi pelaku mengakui kejahatan yang dilakukan dan bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses pidana.

Menurut Undang-Undang No 31 Tahun 2014 Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.

Syarat Menjadi Justice Collaborator

Syarat tentang Justice Collaborator terdapat di salah satu aturan, yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011. Menurut SEMA tersebut, seseorang yang dapat dikategorikan sebagai Justice Collaborator yaitu:

  • Merupakan salah satu pelaku pada tindak pidana tertentu;
  • Ia mengakui kejahatan yang dilakukannya;
  • Bukan termasuk pelaku utama dalam suatu kejahatan;
  • Memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan;
  • Dan bobot keterangan dan bukti-bukti yang diberikannya sangat penting dan dapat membantu pengungkapan kasus, mengungkap pelaku-pelaku lain yang memiliki peran lebih besar, dan mengembalikan aset dari hasil tindak pidana tersebut.

Selain itu, syarat sebagai Justice Collaborator juga terdapat dalam  Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Menurut Peraturan Bersama tersebut, seorang yang dapat dikategorikan sebagai Justice Collaborator adalah sebagai berikut:

  • Tindak pidana yang di ungkap merupakan tindak pidana yang serius;
  • Memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana yang serius;
  • Ia bukan merupakan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya;
  • Ketersediaan untuk mengembalikan aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang bersangkutan;
  • Adanya ancaman nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman, tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap yang bersangkutan atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.

Jadi dalam suatu perkara pidana, Justice Collaborator ini tidak dapat diterapkan kepada oleh orang yang tidak memenuhi syarat-syarat yang penulis sebutkan diatas, oleh karena itu, tidak semua orang dapat menjadi dan mendapatkan status sebagai Justice Collaborator.

Pengajuan Justice Collaborator dapat dilakukan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan melewati ujian-ujian yang diberikan oleh LPSK sehingga ketika seseorang mampu melewati Ujian yang diberikan LPSK maka orang tersebut dapat menjadi Justice Collaborator. Namun demikian, LPSK tidak bekerja sendiri, ada peran-peran dari pihak lain untuk menetapkan seorang layak sebagai Justice Collaborator. Nantinya Hakim yang menentukan apakah seseorang layak ditetapkan menjadi Justice Collaborator atau tidak. Jadi sifat LPSK ini hanyalah memberikan Rekomendasi, dan penetapan layak atau tidak seseorang sebagai Justice Collaborator tetap di keputusan Hakim.

Kedudukan Justice Collaborator Dalam Suatu Perkara

Dari pengertian yang penulis sampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa kedudukan Justice Collaborator ini merupakan saksin sekaligus sebagai terdakwa yang harus memberikan keterangan dalam persidangan, dan dari keterangan itulah hakim dapat mempertimbangkan apakah seseorang yang menjadi Justice Collaborator dapat diringankan atau tidak dari pidana yang dijatuhkan.

Hak-Hak Yang Diperoleh Sebagai Justice Collaborator

Nah, sebenarnya hak-hak apa saja sih yang didapatkan jika kita menjadi seorang Justice Collaborator Menurut Undang-Undang No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban secara implisit mengatur hak-hak Justice Collaborator yang dirumuskan dalam pasal 5 ayat 1 sampai 16 sebagai berikut:

  • Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;  
  • Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
  • Memberikan keterangan tanpa tekanan; 
  • Mendapat penerjemah; 
  • Bebas dari pertanyaan yang menjerat; 
  • Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; 
  • Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; 
  • Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; 
  • Dirahasiakan identitasnya;
  • Mendapat identitas baru;
  • Mendapat tempat kediaman sementara; 
  • Mendapat tempat kediaman baru;
  • Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; 
  • Mendapat nasihat hukum; 
  • Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau 
  • Mendapat pendampingan.

Selain hak istimewa yang terdapat dalam UU No 31 tahun 2014, hak Justice Collaborator menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 yaitu saksi pelaku atau Justice Collaborator yang  bekerjasama dengan Aparat Penegak Hukum, Hakim dalam menentukan Pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut:

  • Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau
  • Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang di maksud.

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Justice Collaborator adalah pelaku yang bekerjasama dengan Penegak Hukum untuk membongkar kejahatan dengan ancaman yang serius yang mana ia bukan merupakan pelaku utama dalam kejahatan tersebut. Justice Collaborator diajukan kepada LPSK yang selanjutnya Hakim yang menentukan apakah orang tersebut layak atau tidak sebagai Justice Collaborator.

Seseorang yang menjadi Justice Collaborator menurut penulis tidak dapat bebas dari kesalahan yang dilakukan, namun akan mendapat keistimewaan yaitu mendapat hukuman yang paling ringan dari terdakwa lain yang terbukti bersalah.

Referensi:
smartlawyer.id
Dedi Kurniawan
Dedi Kurniawan

Dedi Kurniawan merupakan mahasiswa pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Dedi fokus dan tertarik pada isu-isu hukum pidana dan konstitusi.

Articles: 4