
Dalam perkembangan dari masa ke masa, tidak asing lagi terjadi sebuah peristwa hukum di lingkungan kita baik itu tindak pidana ringan maupun yang berat sekalipun. Hal ini tidak bisa di pungkiri lagi walaupun statistik jumlah kasus kejahatan yang terjadi di Indonesia sudah mengalami penurunan mulai dari Tahun 2018-2021, berdasarkan data yang di peroleh melalui Badan Pusat Statistik (BPS) Tercatat angka kejahatan pada periode tahun 2018-2020 dari angka 294.281 kejadian hingga 247.218, kemudian pada Tahun 2021 turun sekitar 222.543 Kasus, yang meskipun mengalami penurunan akan tetapi Indonesia sendiri masih belum di kategorikan sebagai Negara yang paling sedikit angka kejahatannya.
Oleh karena itu, masih terlalu banyak angka kejahatan yang terjadi di indonesia yang masih menjadi suatu hal yang menakutkan bagi setiap warga negara untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Berdasarkan tinjauan penulis, masih banyak masyarakat yang menjadi korban suatu tindak pidana berupa kejahatan yang dilakukan oleh orang lain. Ketika seseorang merasa terancam akan tindak kejahatan yang mungkin menimpa dirinya, maka orang tersebut tentu akan berusaha untuk membela diri.
Contoh kasus kejahatan pembelaan diri yang terjadi beberapa tahun silam adalah seorang wanita yang berdomisili di Medan belawan, Medan, Sumatera Utara. Wanita yang bernama Nita bersama Desi dan Ibunya yang pada saat itu menjadi terdakwa pada Persidangan yang di lakukan di PN Medan dengan tuduhan melakukan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP dengan ancaman lebih Pidana penjara selama 8 (delapan) bulan (sumber : putusan Mahkamah Agung Nomor 3066/Pid.B/2020/PN Mdn).
Kronologi kejadian yang terjadi Medan Belawan itu bermula pada hari Selasa tanggal 31 Desember 2019 sekira pukul 21.30 saksi korban Lia yang bertemu dengan Terdakwa Nita yang sedang mengenderai sepeda motor dijalan PLTU Titi I, lalu Nita menggoyangkan pantatnya kearah saksi korban Lia, saksi korban Lia melihat hal tersebut tidak terima langsung mendatangi rumah Terdakwa dijalan Titi I Pulau Sicanang Kel. Belawan Sicanang Kec. Medan Belawan.
Selanjutnya Nita dan bertemu dengan Terdakwa Mak Desi yang merupakan ibu dari dari Terdakwa Nita dan saksi korban Lia tidak terima dengan ulah dari Terdakwa Nita lalu saksi korban Lia bertemu dengan Terdakwa Nita lalu saksi korban Lia menegur Terdakwa lalu saksi korban Lia langsung menjambak Nita sementara Desi melihat kakaknya Nita dijambak oleh saksi korban Lia langsung membantunya sementara ibu Terdakwa mendengar ada keributan dan melihat anaknya.
Nita dan Desi Ratnasari jambak-jambakan dengan saksi korban Lia, dan berusaha melerai ketiganya sehingga Para Terdakwa bersama-sama menarik dan menjambak saksi korban Lia sehingga berdasarkan Visum Et Revertum dari Rumah Sakit TNI AL. Dr. Komang Makes No.04/I/2020 tanggal 4 januari 2020 , telah dilakukan pemeriksaan seorang perempuan atas nama Lia dengan hasil pemeriksaan, Dijumpai luka memar disudut kelopak mata kiri, Luka gores dileher sebelah kanan dan luka gores di dada sebelah kanan.
Di Kutip dari Tirto.id ada kejadian pembelaan dengan kasus yang hampir sama yang terjadi di Bekasi pada tahun 2018 silam. Pada kasus ini, Muhammad Irfan Bahri yang berumur 19 (sembilan belas) tahun juga terlibat perkelahian dengan dua pembegal, yang berupaya merebut telepon genggam miliknya dan temannya serta melukai Irfan dengan celurit.
Namun, pada akhirnya satu pembegal terluka parah dan meninggal dunia. Pada kasus ini Irfan hanya sempat ditetapkan sebagai tersangka yang kemudian diklarifikasi oleh kepolisian sebagai saksi. Ini lah yang menimbulkan beberapa pertanyaan di kalangan masyarakat apakah seseorang yang sedang melindungi diri dapat dipidana karena perbuatannya? Dan mengapa korban yang melakukan pembelaan di tetapkan menjadi Tersangka yang secara tidak langsung memengaruhi Kondisi mental si korban. Mari kita bahas satu persatu.
Baca juga: Persandingan Suami dan Istri di Pilkades: Melanggar Norma Hukum Atau Demokrasi Semu?
Pengertian Pembelaan Diri Secara Terpaksa
pengertian hukum Pembelaan Terpaksa atau Pembelaan Darurat (noodweer) dalam KUHPidana dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu noodweer (pembelaan terpaksa) dan noodweer-exces (pembelaan darurat yang melampaui batas) terdapat dalam Pasal 49 KUHP yang berbunyi:
Ayat (1)
“Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum”
Ayat (2)
“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana”
Berdasarkan pasal tersebut, bisa kita tafsirkan jika seseorang menerima sebuah ancaman serangan, serangan atau sebuah kejahatan yang melanggar hukum dari orang lain, maka pada dasarnya orang dapat dibenarkan untuk melakukan suatu pembelaan terhadap tindakan tersebut. Hal tersebut dibenarkan walaupun dilakukan dengan cara yang merugikan kepentingan hukum dari penyerangnya, yang di dalam keadaan biasa cara tersebut merupakan suatu tindakan yang terlarang dimana pelakunya telah diancam dengan sesuatu hukuman.
Untuk lebih mengetahui tentang pembelaan diri, penulis mengutip salah satu pendapat yang paling terkenal dikemukakan oleh Van Hamel, seorang ahli hukum pidana. Menurut Van Hamel, membela diri merupakan suatu hak, sehingga orang yang menggunakan hak tersebut tidak dapat dihukum.
Pada pelaksanaannya, badan-badan peradilan dunia dan ilmu pengetahuan menganggap pembelaan diri atau noodweer sebagai suatu hak untuk memberikan perlawanan terhadap hal-hal yang bersifat melawan hukum. Perbuatan pembelaan diri seperti itu dipandang sah menurut hukum karena pembelaan diri yang dilakukan adalah merupakan hak yang dimilikinya.
Namun tidak semua tindakan pembelaan diri bisa di sama ratakan dengan pasal tersebut, sebab ada beberapa syarat yang harus di penuhi yaitu sebagai berikut :
- Serangan dan ancaman yang melawan hak yang mendadak dan harus bersifat seketika (sedang dan masih berlangsung) yang berarti tidak ada jarak waktu yang lama, begitu orang tersebut mengerti adanya serangan, seketika itu pula dia melakukan pembelaan;
- Serangan tersebut bersifat melawan hukum, dan ditujukan kepada tubuh, kehormatan, dan harta benda baik punya sendiri atau orang lain;
- Pembelaan tersebut harus bertujuan untuk menghentikan serangan, yang dianggap perlu dan patut untuk dilakukan berdasarkan asas proporsionalitas dan subsidiaritas. Pembelaan harus seimbang dengan serangan, dan tidak ada cara lain untuk melindungi diri kecuali dengan melakukan pembelaan dimana perbuatan tersebut melawan hukum.
Dalam hal menentukan sebuah kejadian merupakan lingkup perbuatan membela diri, aparat penegak hukum perlu meninjau satu persatu kronologi kejadian dengan memperhatikan unsur-unsur pembelaan diri yang telah ditentukan undang-undang pada peristiwa-peristiwa itu.
Keseimbangan antara kepentingan hukum yang dilindungi dari serangan dengan kepentingan hukum dilanggar dengan pembelaan atau keseimbangan antara cara pembelaan yang dilakukan dengan cara serangan yang diterima. Apabila terdapat cara perlindungan lain untuk menghalau serangan atau ancaman, maka pembelaan tidak boleh dilakukan dengan memilih cara paling berat dengan mengorbankan nyawa seseorang.
Korban yang Melakukan Pembelaan Diri Yang di Tetapkan Menjadi Tersangka
Mengapa masih ada korban yang melakukan pembelaan diri tetapi tetap di jadikan sebagai tersangka dan dinyatakan bersalah? Ini adalah pertanyaan yang kerap kali muncul di masyarakat karena ada korban pembelaan diri karena kejahatan malah di tetapkan sebagai Tersangka dan bersalah. Nah ini yang sebenarnya perlu pemahaman yang luas dan harus memahami konteks agar tidak terjadi kesalahan dalam berpikir, karena kalau kita menafsirkan dengan ngaco maka kita mempunyai paradigma yang salah.
Untuk membahas isu tersebut, penulis mengutip dari detiknews.com yaitu sebuah kasus yang menjadikan pemilik rumah di tetapkan sebagai tersangka usai melindungi harta bendanya dari Pencuri. Padahal di sini sang pemilik rumah mencoba melakukan pembelaan terhadap harta benda miliknya sendiri, namun malah dijadikan sebagai tersangka, kejadian ini terjadi pada Januari 2021 di Dolok Batu Nanggar, Kab. Simalungun, Sumatera Utara.
Menurut Penulis tindakan yang di lakukan oleh pemilik rumah tersebut adalah tindakan Pengadilan Jalanan atau main Hakim sendiri yang dilakukan oleh orang-perorangan, beberapa orang atau sekelompok orang (massa) terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Walaupun niat pemilik rumah adalah untuk melindungi harta benda nya sendiri, namun di atas sudah sangat jelas Penulis sampaikan bahwa ada syarat-syarat yang harus di penuhi dalam pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Ayat 1 dan 2. Berikut ini beberapa analisis penulis terhadap kasus tersebut dengan berdasarkan syarat pembelaan diri dalam pasal 49 ayat 1 dan 2.
- Pembelaan terpaksa harus dilakukan karena sangat terpaksa, dalam keadaan Pemilik rumah dan 2 anaknya mempunyai kesempatan untuk mengikat dan mencari borgol mencari telenan kayu untuk alat pukul, pada dasarnya pemilik rumah dan 2 anaknya jarak dan waktu yang lama antara dirinya dengan pencuri. Dalam hal ini tidak ada keadaan sangat terpaksa.
- Untuk mengatasi adanya serangan harus dilakukan karena sangat terpaksa seketika yang bersifat melawan hukum, Berdasarkan penyelidikan polisi Pencuri dengan Inisial YA sebagi pencuri tidak terbukti menyerang atau membaca senjata tajam sebagai alasan ancaman serangan. Bahkan terbukti Pemilik rumah beserta 2 orang anak dan 3 orang satpam lah yang melakukan penyerangan hingga menyebabkan pencuri tewas.
- Serangan atau ancaman serangan mana ditujukan pada 3 kepentingan hukum yaitu: kepentingan hukum atau badan, kehormatan kesusilaan dan harta benda sendiri atau orang lain. Dalam hal ini benar bahwa kepentingan yang dilindungi oleh pemilik rumah dan 2 anaknya adalah kepentingan harta benda dirinya namun serangan dan ancaman serangan tidak terbukti. Sebenarnya pembelaan terpaksa dapat dilakukan tidak hanya pada saat diserang, namun juga diperluas pada ancaman serangan. Artinya serangan itu secara objektif belum diwujudkan, baru adanya ancaman serangan. Misalnya seseorang baru mengeluarkan pisau memaksa meminta uang, maka yang dipaksa sudah boleh memukul orang lain. Namun dalam kasus bahkan (pencuri) tidak membawa senjata tajam.
- Pembuatan pembelaan harus seimbang dengan serangan yang mengancam. Pencuri yang tidak membawa senjata tajam menunjukkan bahwa keadaan antara pemilik rumah dengan pencuri tidak seimbang.
Menurut Penulis, ada tindakan lain yang bisa di lakukan oleh pemilik rumah dan 2 orang anaknya, yaitu bisa saja menangkap pencuri dan menyerahkan ke pihak yang berwajib tanpa harus menghakimi sendiri, yah walaupun hal ini kadang susah untuk di hindarkan karena rasa emosional yang berlebih, namun untuk mengurangi angka kejadian seperti ini harus di lakukan tindakan yang bijak.
Oleh karena itu penulis berkesimpulan, KUHP Indonesia memberikan perlindungan hukum terhadap perbuatan pembelaan diri yang dilakukan oleh seseorang yang menjadi korban tindak kejahatan. Pembelaan diri dinilai tidak dapat dihukum karena merupakan hak yang dimiliki oleh semua orang untuk melawan perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
Akan tetapi, tidak semua pembelaan diri dapat dibebaskan dari tuntutan hukum. Pembelaan diri tersebut harus memenuhi beberapa unsur seperti yang dikemukakan oleh Van Hamel, mencakup serangan dan pembelaan, agar dapat menjadi alasan pembenar.
EQUALITY BEFORE OF THE LAW
“semua orang sama di hadapan hukum”
