Persandingan Suami dan Istri di Pilkades: Melanggar Norma Hukum Atau Demokrasi Semu?

Suami dan Istri Di Pilkades: Melanggar Norma Hukum Atau Demokrasi Semu?
Suami dan Istri di Pilkades: Melanggar Norma Hukum Atau Demokrasi Semu?

Belakangan ini kita di kejutkan dengan Fenomena unik dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa (PILKADES) serentak di beberapa desa yang tersebar di indonesia. Dimana pasangan Suami dan Istri bertarung memperebutkan jabatan atau kursi Kepala desa, dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini saja sudah banyak fenomena seperti ini terjadi, tidak hanya Suami dan Istri saja yang bertarung dalam Pilkades, bahkan Ayah dan Anak juga ikut dalam persaingan panas untuk memperebutkan kursi Kepala Desa.

Fenomena unik ini ternyata menimbulkan pertanyaan di masyarakat luas khususnya di kalangan wilayah tempat  tinggal penulis sendiri tepatnya di desa Lapangan C, Tanjung Medan Barat, Kec. Tanjung Medan, Kab Rokan Hilir, Riau.

Sebenarnya, apakah persandingan suami dan istri di Pilkades, atau bahkan Ayah dan Anak dalam perebutan kursi Kepala Desa melanggar aturan hukum atau hanya Demokrasi Semu saja? Mari kita bahas satu persatu.

Pertama, kita ambil contoh kasus pertarungan Suami Istri dalam perebutan kursi kepala desa di desa Padamulya, Kec Cihaurbeuti, Kab Ciamis, Jawa Barat (2020). Pasangan Suami Istri ( Haerudin) dan (Yuliani) sama-sama maju untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala desa (Pilkades).

Mengutip dari Kompas.com alasan pasangan Suami Istri tersebut mencalonkan diri adalah untuk menghindari adanya  Calon Tunggal atau melawan kotak kosong, sebab di daerah tersebut sangat minim Partisipasi masyarakat untuk mencalonkan diri di Pilkades tersebut, hingga pada akhir penutupan Pendaftaran hanya ada satu Cakades. Karena menurutnya sesuai dengan aturan hukum tidak di perbolehkan adanyan Calon Tunggal dalam Pilkades.

Hukum positif di indonesia sudah jelas mengatur tentang Pemilihan Kepala Desa dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri ( Permendagri) No 65 Tahun 2017 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri ( Permendagri) No 112 Tahun 2014. Melangsungkan pemilihan kepala desa merupakan perbuatan hukum dan akan menimbulkan akibat hukum. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 65 Tahun 2017 dalam pasal 47C ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut.

“Penyaringan bakal calon Kepala Desa menjadi Kepala Desa di tetapkan paling sedikit 2 (dua) orang calon dan paling banyak 3 (tiga) orang calon”

Jika di maknai bunyi pasal di atas maka pemilihan Calon Kepala Desa di maknai harus paling sedikit 2 (dua) orang calon, jika hanya terdapat 1 orang calon maka masa pendaftaran di undur selama satu minggu. Jika tidak ada calon yang mendaftarkan lagi, maka BPD menunda pelaksanaan Musyawarah Desa dalam Pemilihan Kepala Desa hingga waktu yang di tentukan oleh BPD, hal ini tercantum dalam pasal 47 C ayat (4) dan (5) Peraturan Menteri Dalam Negeri No 65 Tahun 2017 yang berbunyi sebagai berikut.

Ayat (4)

Dalam hal calon yang memenuhi persyaratan kurang dari 2 (dua) orang, panitia pemilihan memperpanjang waktu pendaftaran selama 7 (tujuh) hari”

Ayat (5)

Dalam hal calon yang memenuhi persyaratan tetap kurang dari 2 (dua) orang setelah perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), BPD menunda pelaksanaan musyawarah Desa pemilihan kepala Desa sampai dengan waktu yang ditetapkan oleh BPD”

Mengutip dari Kompas.com, bahwa Haerudin yang tidak mau menjadi Calon Tunggal serta Musyawarah Desa dalam Pemilihan Kepala Desa tetap terlaksana, maka Haerudin mendaftarkan istrinya pada 5 menit terakhir penutupan pendaftaran untuk menjadi lawanya dalam persaingan untuk merebutkan kursi Kepala Desa, karena adanya peraturan yang secara tegas termuat dalam Permendagri No 65 Tahun 2017.

Jika kita melihat dari peristiwa di atas tidak ada yang salah dan melanggar norma hukum, karena sesuai dengan Pasal 28D ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut .

Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan

Jika kita maknai Pasal tersebut, sudah jelas bahwa Konstitusi mengatur dan tidak membatasi setiap warga negaranya yang ingin mengambil kesempatan maju dalam Pemerintahan. Jadi permasalahan persandingan atau persaingan antara suami dan istri atau bahkan Ayah dan Anak dalam Pemilihan Kepala Desa secara Yuridis tidak melangar norma atau aturan hukum yang berlaku selagi syarat-syarat nya sudah terpenuhi, malah peristiwa tersebut sudah menyelamatkan kesempatan pesta Demokrasi Warga.

Lalu yang kedua, apakah hal tersebut termasuk Demokrasi Semu? Menurut penulis di sini patut di duga bahwa terdapat dua sisi yang ditampilkan oleh Calon Kepala Desa Padamulya, Haerudin dan Yuliani. Tampilan di depan dan di belakang publik. Dalam pemanfaatan situasi tersebut, Haerudin di duga memiliki tujuan–tujuan tertentu yang tidak tampak di luar secara jelas.  

Baca juga: Penerapan Restorative Justice di Indonesia

Melangkah kebelakang, Menurut M. Durverger didalam bukunya “Les Regimes Politiques” artian demokrasi itu termasuk cara pemerintahan dimana golongan yang memerintah dan yang diperintah itu adalah sama dan tidak dapat terpisah-pisah. Artinya satu sistem pemerintahan negara dimana dalam pokoknya semua orang (rakyat) adalah berhak sama untuk memerintah dan juga untuk diperintah (Ni’matul, 2014:200).

Demokrasi adalah suatu system pemerintahan di suatu negara untuk mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara dijalankan oleh pemerintah tersebut. Joseph A. Schumpeter memandang bahwa Setiap individu memiliki hak membuat keputusan melalui perjuangan yang kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat (Lauth, 1996:86).

Demokrasi berarti bahwa setiap tahapan pemilihan umum yang diselenggarakan dan diatur oleh pemerintah harus berjalan dengan adil, nyata, dan jujur, termasuk kontestasinya. Tanpa adanya itu, demokrasi yang terjadi hanyalah semu atau palsu.

Permendagri No. 65 Tahun 2017 pada pasal 47C ayat 2 mengharuskan di suatu desa memiliki dua cakades. Peraturan tersebut menginginkan adanya suatu kontestasi atau persaingan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pilkades dan tidak menghendaki adanya calon tunggal. Sesuai dengan pendapat Robert A. Dahl, adanya kontestasi atau tidak akan menjadi salah satu aspek untuk menilai kualitas demokrasi, dalam konteks yang diselenggarakan di Desa.

Warga desa Padamulya yang lain tidak berpartisipasi dalam hal mencalonkan diri sebagai cakades, sehingga atas dorongan Permendagri No. 65 Tahun 2017 pada pasal 47C ayat 2 yang  membuat Haerudin memunculkan atau menciptakan cakades baru yang memiliki hubungan dekat dengannya. Haerudin memilih Yuliana yang merupakan Istrinya sendiri. Maka terjadilah kontestasi semu yang diciptakan oleh Haerudin untuk memenuhi kepentingannya maju sebagai cakades petahana tahun 2020. Di kutip dari Kompas.com, Haerudin menggunakan strategi dengan Mendaftarkan Istrinya maju sebagai cakades bersama-sama dengan dirinya agar Pilkades di Desa Padamulya tidak mundur pelaksanaannya.

Dalam demokrasi yang sehat akan terjadi rotasi kekuasaan dari seseorang atau kelompok ke orang atau kelompok lain. Dengan terjadinya kontestasi semu dalam Pilkades di Desa Padamulya tahun 2020 antara Haerudin dan Yuliana maka akan menutup ruang adanya kemungkinan kekuasaan terotasi ke individu atau kelompok lain. Sudah pasti kekuasaan akan jatuh ke tangan keluarga Haerudin.

Peristiwa Pilkades di Desa Padamulya Tahun 2020 dikatakan sebagai demokrasi semu karena didalamnya tidak ada aspek kompetisi dan partisipasi. Untuk membangun demokrasi yang berkualitas, maka harus memenuhi semua aspek atau prinsip demokrasi yang telah dikemukakan para ahli.

Pelaksanaan demokrasi akan menentukan kualitas pemerintahan yang nantinya terbentuk (Philip, 2011:22). Oleh karena itu menurut Penulis menghapus model calon tunggal yang menghilangkan sifat kontestasi dalam Pilkades melalui revisi peraturan menjadi sekurang-kurangnya dua calon tidak menghapus substansinya. Hal ini tidak menemukan penantang disiasati melalui penantang pendamping/boneka dari keluarganya, sehingga secara normatif dalam Pilkades ada kontestasi antar calon dalam semua tahapan namun bersifat semu.

Oleh sebab itu penulis berkesimpulan bahwa Fenomena unik yang terjadi beberapa tahun belakangan ini jika di lihat melalui aturan yang berlaku maka tidak ada kesalahan yang terjadi dan tidak ada aturan hukum yang di langgar dan secara konstitusional hal tersebut tidak melanggar peraturan mengenai Pilkades, namun perlu kita ingat dengan adanya Tuntutan dari Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 65 Tahun 2017 yang mengharuskan Calon Kepala Desa harus terdiri minimal 2 (dua) calon, akan mengakibatkan Demokrasi Semu yang berpotensi menciptakan Pemerintahan yang buruk, karena tidak adanya persaingan yang ketat dan pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan prinsip dan aspek Demokrasi yang sesungguhnya.

Referensi:

  • Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945
  • Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri ) No 65 Tahun 2017
  • Kompas.com
SmartLawyer
Dedi Kurniawan
Dedi Kurniawan

Dedi Kurniawan merupakan mahasiswa pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Dedi fokus dan tertarik pada isu-isu hukum pidana dan konstitusi.

Articles: 5