Pada masa perkembangan di era modern ini, jika terjadi suatu kejahatan berupa tindak pidana, tidak sedikit orang berfikir “penyelesaian di pengadilan” dan “hukuman bagi pelaku”. Memang hal seperti ini sudah sering di implementasikan oleh penegak hukum, khususnya Instansi kejaksaan yang menyandang statusnya sebagai Dominus Litis , karena sudah jelas jika seorang telah terbukti melakukan suatu tindak pidana haruslah di berikan hukuman.
Namun sejalan dengan adanya implementasi penegakan hukum di indonesia, Kejaksaan Agung (KEJAGUNG) tidak sedikit mendengarkan keluhan dari masyarakat yang menyatakan bahwa “Hukum Tumpul Ke Atas Tajam Ke Bawah “ . Serta hasil yang di capai dari proses penyelesaian di pengadilan bersifat win lose solution “artinya akan ada pihak yang menang dan ada pula pihak yang kalah”.
Lalu yang menjadi pertanyaanya, apakah suatu tindak pidana itu bisa di hentikan penuntutannya dan di selesaikan di luar pengadilan? Jawaban nya tentu bisa, Oleh karena itu Kejaksaan Agung yang menyandang status sebagai Dominus Litis mengeluarkan kebijakan yang di sebut dengan Restorative Justice ( keadilan restorasi)
Apa itu Keadilan Restoratif? Dan bagaimana penerapan Keadilan Restoratif Jika di kaitkan dengan teori keadilan?
Merujuk pada Bab I Pasal 1 angka 1 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 (PERJA No 15 Tahun 2020) Restorative Justice adalah Penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.
Kevin I.Minor & J.T Morrison dalam buku “ A Theoritical Study and Critique of Restorative Justice, in Burt Galaway and Joe Hudson, eds, (1996) mendefinisikan Restorative Justice adalah suatu tanggapan kepada pelaku kejahatan untuk memulihkan kerugian dan memudahkan perdamaian antara para pihak.
Penerapan Restorative Justice
Penerapan prinsip Restorative Justice pada dasarnya telah dipraktikkan dalam sistem penegakan hukum perdata yang dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR), yang kemudian juga dirumuskan dalam UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Secara substansial konsep penegakan hukum pidana di Indonesia telah mengadopsi prinsip Restorative Justice, setidaknya dalam sistem peradilan anak dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dan UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Meskipun pemahaman konsepnya masih menempatkan metode di luar sistem peradilan pidana mirip dengan metode ARD. Perkembangan penerapan prinsip Restorative Justice dalam konsep penegakan hukum pidana di Indonesia, rupanya mendapat respons baik dari masyarakat, akan tetapi berbanding lurus dengan politik hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Baca juga: Korban yang Melakukan Pembelaan Diri, Apakah Dapat di Pidana Atau Tidak?
Salah satu landasan penerapan Restorative Justice oleh Mahkamah Agung (MA) dibuktikan dengan pemberlakuan kebijakan melalui Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung. Panduan Restorative Justice dalam lingkungan peradilan umum diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum yang terbit pada 22 Desember 2020.
Tujuan panduan restorative justice oleh MA adalah mendorong peningkatan penerapan konsep itu dan terpenuhinya asas-asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan dengan keadilan yang seimbang. Menurut MA, konsep Restorative Justice bisa diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga bulan dan denda Rp 2.500.000 (Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482). Selain itu, prinsip Restorative Justice juga digunakan terhadap anak atau perempuan yang berhadapan dengan hukum, anak yang menjadi korban atau saksi tindak pidana, hingga pecandu atau penyalahguna narkotika
Kejaksaan Agung juga menerbitkan kebijakan mengenai keadilan Restorative melalui Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative. Berdasarkan pada Pasal 2 Perja Nomor 15 tahun 2020, pertimbangan untuk melaksanakan konsep Restorative Justice dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Berdasarkan dengan hukum positif dan sistem peradilan yang berlaku di indonesia, penerapan Restorative Justice berkaitan dengan teori keadilan menurut Adam Smith yang mengatakan bahwasanya dalam penegakan hukum di indonesia harus berdasarkan prinsip tidak merugikan orang lain, dengan dasar prinsip ini juga tetap menjaga harkat dan martabat manusia beserta hak yang melekat padanya termasuk hak hidup. Selain itu juga penerapan Restorative Justice ini akan menimbulkan keadilan perdamaian, keadilan yang demokrasi tanpa membuat salah satu pihak merasa di rugikan (keadilan menurut Han Kelsen) .
Karena berdasarkan implementasi penegakan hukum di indonesia, Kejaksaan Agung tidak sedikit mendengarkan keluhan serta jeritan suara masyarakat yang menyatakan bahwa “Hukum Tumpul Ke Atas Tajam Ke Bawah “.
Contoh kasus yang terjadi beberapa tahun silam adalah seorang pria yang terbukti mencuri sekarung beras di warung dekat rumahnya. Kejadian ini terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Medan, Sumatera Utara, pada hari Sabtu, 18 April 2020. Seorang Pria yang berumur (40) tahun setelah di interogasi mengakui kesalahan dan memberikan alasannya mencuri sekarung beras karena lapar dan tidak punya uang, pria tersebut sebelumnya bekerja di sebuah bengkel bubut dekat rumahnya, karena Imbas dari Pandemi Covid-19 menjadikan bengkel nya sepi dan tidak ada penghasilan yang di dapatkan. Pria tersebut bersusah payah mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari namun tidak ada yang bisa ia dapatkan melainkan sekarung beras yang ia curi di sebuah warung.
Berdasarkan salah satu tujuan hukum yaitu tujuan kepastian, pria tersebut sudah pasti melakukan tindak pidana dan harus di hukum, akan tetapi dalam sisi yang berbeda ada tujuan hukum yang lain yaitu tujuan keadilan. Kalau kita berbicara kepastian hukum sudah pasti ia bersalah, namun apakah bisa adil jika seorang pria dalam keadaan yang sangat lapar yang menjadi tulang punggung keluarga, dan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tetap di hukum dan di jerat dalam kategori pencurian?
Dari situ lah Kejaksaan Agung mengeluarkan kebijakan yang di sebut dengan Restorative Justice, akhirnya dengan berdasarkan Restorative Justice, Kapolsek bersama dengan Kejaksaan Negeri Medan tidak menaikan kasus tersebut ke pengadilan dan hanya melakukan mediasi serta pemulihan yang dilakukan antara pelaku/keluarga pelaku dengan korban/keluarga korban, bahkan Pria tersebut mendapatkan bantuan berupa sembako dan perlengkapan lainya. Dengan demikian contoh kasus di atas sudah sesuai dengan penerapan Restorative Justice berdasarkan teori keadilan di indonesia.
Dari hal tersebut penulis mengambil kesimpulan bahwa penerapan Restorative Justice ini sangat membantu masyarakat kecil yang tertindas dan menjaga salah satu tujuan hukum yaitu “KEADILAN” . oleh karena itu kebijakan yang di lakukan oleh Kejaksaan dengan mengeluarkan PERJA No 15 Tahun 2020 sangat lah sesuai dengan kondisi yang di alami oleh Negara Indonesia saat ini.
Referensi:
- Kevin I.Minor & J.T Morrison “ A Theoritical Study and Critique of Restorative Justice, in Burt Galaway and Joe Hudson, eds, (1996).
- Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 (PERJA No 15 Tahun 2020)