Politisasi Yudisial: Hakim MK Tidak Menjalankan Asas Keberpihakan Dalam Menjalankan Tugas

Dalam lembaga peradilan di Indonesia, terdapat asas penting yakni “Nemo Judex Idoneus In Propria Causa“. Asas ini bertujuan menghindarkan Hakim dari keberpihakan dalam menjalankan tugasnya.

Begitu banyak perkara yg di uji di MK dan hakim MK juga banyak memutuskan perkara yang berpihak namun putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) kali ini sangat offside, perkara yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi yg berkaitan dengan penetapan umur presiden dan wakil presiden dan tambahan opsi nya pernah menjabat sebagai kepala daerah telah mencederai asas-asas yang selama ini dijunjung tinggi oleh hakim seluruh indonesia, yg bila mana setiap hakim bila bersidang dan memutuskan perkara jikalau ada salah satu kerabat, saudara, keluarga yang dikenal oleh hakim, maka hakim tidak boleh menerima perkara tersebut untuk di eksekusi. Yang terjadi hari ni condong keberpihakan hakim ketua MK yg notabenenya ipar dari presiden jokowi memang sama sekali tidak menolak judisial review yang di layangkan oleh salah seorang mahasiswa yang ingin viral dan tidak paham konteks (didikte) untuk mengajukan judicial review.

Dari sembilan hakim MK, tiga orang menyetujui, tiga orang memberi disenting opinion serta tiga orang menolak. Hakim Mahkamah Konstitusi telah mengesampingkan asas “Nemo Judex Idoneus In Propria Causa“, pengesampingan asas “Nemo Judex Idoneus In Propria Causa” didasarkan pada prinsip konstitusionalisme, sumpah jabatan Hakim, dan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sehingga, hal ini menimbulkan perbenturan antara asas “Nemo Judex Idoneus In Propria Causa” dengan Kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Saldi Isra merupakan satu dari 4 hakim konstitusi yang mengeluarkan dissenting opinion terkait putusan kepala daerah belum 40 tahun bisa maju Pilpres. Ia menilai MK seharusnya menolak permohonan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru itu. Salah satu pendapat hukum Saldi menyasar soal perubahan sikap hakim MK dalam permohonan tersebut.

Sebab dalam tiga permohonan sebelumnya, yakni nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023, mayoritas hakim MK menyatakan urusan usia dalam norma pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang, bukan mahkamah. Ketiga putusan itu berdasarkan Rapat Permusyawaratan Hakim pada 19 September 2023. Dalam RPH yang tak dihadiri oleh Anwar Usman selaku ketua MK, selebihnya mayoritas hakim menolak gugatan. Saldi Isra juga mengatakan, putusan tiga gugatan itu sejatinya telah menutup ruangan adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Namun, dua hari berselang, MK kembali menggelar RPH untuk perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Pada saat itu, Anwar Usman kemudian ikut dalam rapat. Hasilnya, MK mengabulkan gugatan tersebut secara sebagian.

Baca juga:
Masih adakah Ketetapan MPR Pasca Reformasi?

Perlu kita ketahui Fungsi dan peran utama MK adalah adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan MK dalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi. 

Fungsi dan peran MK di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa MK mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan MK adalah: Menguji undang-undang terhadap UUD 1945, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, Memutus pembubaran partai politik, Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Dari empat kewenangan MK tidak ada perintah terhadap MK untuk membuat undang-undang sendiri. Seharusnya MK itu melihat kebawah rakyat dengan hati nurani bukan dengan oligarki melalui politisasi yudisial dengan mengesahkan keputusan berpihak kepada cawapres yang digadang gadang akan bersanding dengan kementerian pertahanan RI tersebut.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang diajukan oleh mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023.

Gugatan terkait syarat capres-cawapres dipandang untuk memuluskan jalan Gibran ikut kontestasi Pilpres. Dikabulkannya gugatan Nomor 90 kini membuka jalan Gibran untuk bisa mendaftar. hal ini menyebabkan kedudukan Hakim Terlapor dalam konflik kepentingan, dalam benturan kepentingan atau oleh UU Kekuasaan Kehakiman disebut dengan “berkepentingan”, yang oleh ketentuan pasal 17 ayat (3), ayat (4), ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman, Saudara Hakim Terlapor harus mengundurkan diri, berpijak dengan asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa.

Sejatinya dalam persoalan putusan MK yg di keluarkan mahkamah harusnya dibahas jauh jauh hari jangan mendekati tahun politik yang mendadak untuk di kabulkan, karena terlihat lebih memihak terhadap anasir politik segelintir orang. Kemudian hakim Anwar Usman seharusnya mengundurkan diri jika berpijak dengan asas nemo judex ideneus in propria causa, namun hakim Anwar Usman masih saja terlibat secara gamblang mengabulkan putusan yg berkaitan dengan kepentingan keponakan nya untuk nyapres, sehingga putusan ini membuat gaduh rakyat indonesia. Serta, sudah seharusnya hakim anwar usman untuk di sidang dalam kode etik kehakiman karena telah memutuskan perkara dari saudara, kerabat atau orang yang ia kenal dekat dalam uji materil di Mahkamah Konstitusi lalu.

Rizki Rahayu Fitri
Rizki Rahayu Fitri

Rizki Rahayu Fitri merupakan pemerhati hukum yang fokus pada isu-isu hukum kenegaraan.

Articles: 7