Undang-Undang No 12 Tahun 2011 mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, meletakkan posisi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. TAP MPR yang sebelumnya masuk dalam tata urutan kedua pada TAP MPR NoMOR III/MPR/2000 yang kemudian pasca amandemen Undang-Undang Dasar dibakukan kedalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, namun akibat dari banyaknya kekurangan terhadap Undang-undang ini maka di ubah ke Undang-Undang No 12 tahun 2011 atas perubahan Undang-undang No.15 tahun 2019 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sebelum lebih dalam membahas mengenai TAP MPR, perlu kita ketahui yang berwenang dalam mengeluarkan TAP MPR ialah lembaga MPR itu sendiri, MPR yang merupakan Lembaga Negara Tertinggi yang memegang sepenuhnya kedaulatan rakyat terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen, yang dimana kegiatan untuk mengeluarkan TAP MPR adalah salah satu dari konvensi ketatanegaraan, Pasal 3 UUD 1945 sebelum amandemen dalam Pasal 3 ayat (3) menyebutkan bahwa “MPR menetapkan Garis-garis Besar dari Pada Haluan Negara”, pasal inilah yang menjadi penafsiran MPR sejak orde lama masa Presiden Soekarno hingga Orde Baru masa Presiden Soeharto. Pasca amandemen UUD NRI 1945 bahwa perubahan besar terjadi pada lembaga ini, yang dimana kedaulatan rakyat dijalankan menurut UUD bukan lagi menurut MPR, kewenangannya dalam menetapkan GBHN juga dihapus sehingga MPR tidak bisa mengeluarkan ketetapan untuk membuat kebijakan resmi Negara.
Ada 139 jumlah TAP MPR yang pernah berlaku di Indonesia yang dikelompokkan kedalam 6 kategori pasal, sesuai dengan materi dan status hukumnya. Dari 139 TAP tersebut saat ini, pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945 hanya 5 TAP yang belum di cabut. Kelima TAP MPR tersebut, diantaranya:
- Ketetapan MPRS No. XXV/ MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/ Marxisme-Leninisme.
- Ketetapan MPR RI No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
- Ketetapan MPR RI No. V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.
- Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/ 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
- Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/ 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
Selain kelima TAP MPR di atas, yang diakui dan masih berlaku adalah TAP MPR No. I/2003 yang menjadi wadah dari kelima TAP MPR di atas. Dasar hukum keberlakuan TAP MPR tersebut adalah Pasal I Aturan Tambahan dan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945.
Sejauh kita membaca artikel ini, tentu yang dibenak kita terpikir bahwa tidak ada lagi TAP yang dikeluarkan oleh MPR akibat kewenangannya sudah di cabut dan dirubah, sehingga ini mengecohkan kita dalam berpikir. Kita lihat bersama-sama dalam Pasal 3 ayat (1),(2) dan (3) UUD NRI 1945 bahwa kewenangan MPR terdiri dari:
- MPR dapat mengubah dan menetapkan UUD NRI 1945
- MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden
- MPR memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal diatas tidak mengamanahkan MPR untuk bisa mengeluarkan TAP MPR, sebab masing-masing dari pasal tersebut sudah ada lembaga yang menetapkannya, MPR hanya melaksanakan perintah konstitusi. Sebagai contoh, Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Dasar sudah jelas menyatakan bahwa MPR bertugas untuk melantik Presiden dan atau Wakil Presiden, sedangkan yang mengeluarkan Ketetapan tersebut ialah Komisi Pemilihan Umum (KPU) tertuang dalam Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, yang berbunyi: “KPU menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara dan mengumumkan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam siding Pleno terbuka yang dihadiri oleh Pasangan calon dan Bawaslu”. Selanjutnya terdapat dalam Pasal 160 ayat (1) yang berbunyi: “Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ditetapkan dalam siding Pleno KPU dan dituangkan dalam berita acara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”
Jelas sudah Pasal 3 ayat (2) sudah terjawab dengan hadirnya UU No 42 Tahun 2008, setelah melihat jawaban atas penetapan presiden siapa yang berhak mengeluarkan apakh MPR, tentu jawabannya bukan. Sebab MPR hanya bertugas untuk melantik Presiden, tidak ada kata lain untuk prihal menetapkan sebab kata menetapkan tersebut sudah dihapus pasca amandemen UUD NRI 1945. Akibat dari kesalahan masalalu yang terlalu menggebu-gebu terhadap perubahan UUD NRI 1945 sehingga tidak memikirkan dampak-dampak yang ditinggalkan yang menjadi buah simalakama dalam praktik ketatanegaraan.
Maka dari itu sudah sewajarnya TAP MPR yang masih berlaku saat ini haruslah di hapuskan agar tidak menjadi symbol saja di hierarki peraturan perundang-undangan, ataupun jikalau tetap mempertahankan bukti sejarah tentang keberadaan TAP MPR maka ke lima TAP MPR yang masih berlaku tersebut dibakukan dalam sebuah bentuk Undang-Undang, sehingga bisa dilihat jelas keberadaan substansi ranah hukum nya.