Pendahaluan
Pengaturan mengenai kedaulatan dan yurisdiksi negara di laut telah dilakukan sejak konvensi Jenewa 1958 yang mengatur mengani laut teritorial dan zona tambahan, perikanan dan konservasi sumber daya hayati. Hingga kemudian, sering berkembang pesatnya perkembangan teknologi penambangan di dasar laut dan menurunnya persediaan sumber daya hayati di laut muncul tuntutan untuk melakukan peninjauan kembali terhadap konvensi tersebut. Faktor lainnya juga adalah berkembangnya teknologi perkapalan dan munculnya negara-negara yang baru merdeka. Yang kemudian dibentuklah dan disepakati konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada tahun 1982.[1]
Perkembangan hukum internasional, khususnya hukum laut internasional ditandai dengan munculnya Hak Berdaulat (sovereign right). Hak berdaulat ini dipengaruhi oleh adanya pengaruh dari hukum laut tradisional dalam hukum laut modern. Menurut Mochtar Kusumaatmadja terdapat tiga alasan mengapa hal tersebut terjadi pertama, yaitu makin tambah bergantungnya penduduk dunia yang makin bertambah jumlahnya pada laut dan samudera sebagai sumber kekayaan alam baik hayati maupun mineral termasuk minyak dan gas bumi. Kedua, kemajuan teknologi yang memungkinkan penggalian sumber kekayaan alam di laut yang tadinya tidak terjangkau manusia. Ketiga, perubahan peta bumi politik akibat bangunnya bangsa-bangsa merdeka yang menginginkan perubahan dalam tata hukum laut internasional yang dianggapnya terlalu menguntungkan negara-negara maritime yang maju.[2]
Dalam praktek negara-negara sejak zaman kuno hingga sekarang terhadap kepemilikan laut oleh negara dapat dan memang pernah dilakukan, walaupun seringkali kepemilikan tersebut harus pula memperhitungkan kepentingan-kepentingan masyarat dunia dalam bentuk pelayaran dan lain-lain. Berbagai perkembangan dan kemajuan laut di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini menjadi saran utama terhadap kepentingan negara karena memiliki peran yang sangat penting. Dalam prespektif politik dan keamanan, laut menjadi wilayah yang tidak terpisah dari batas-batas kedaulatan negara.[3]
Kepemilikan negara terhadap sesuatu dikenal sebagai imbas dari prinsip kedaulatan. Hal baru yang kemudian timbul dalam hukum internasional khususnya hukum laut internasional adalah adanya hak berdaulat suatu negara. Berdasarkan hal tersebut penulis merasa penting untuk dikaji mengenai apakah hak berdaulat dalam hukum laut itu. Adapun masalah yang kemudian timbul adalah
- Apakah konsep hak berdaulat ini sama dengan kedaulatan pada umumnya?
- Bagaimana pengaturan hak berdaulat antara Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen?
Hak Berdaulat dalam UNCLOS 1982
Konsep berdaulat dan konsep hak berdaulat adalah dua konsep yang berbeda. Negara memiliki kedaulatan yang kemudian melahirkan hak dan kewenangan untuk mengatur hal-hal internal dan eksternalnya, termasuk dalam menetapkan ketentuan hukum nasional terhadap suatu peristiwa. Dalam hubungan internasional, prinsip kedaulatan negara artinya memiliki kekuasaan penuh terhadap suatu teritorial serta hak yang kemudian timbul dari penggunaan kekuasaannya.[4] Jean Bodin menyatakan bahwa doktrin kedaulatan adalah hal yang mutlak. Kedaulatan negara menunjukkan adanya kekuasaan legislatif dan negara berbeda dengan komunitas lainnya dikarenakan negara mempunyai kekuasaan tertinggi (summa protestas).
Dalam putusan hakim Huber terhadap sengketa Island of Palmas, dikatakan bahwa
“sovereignty in relation to a portion of the surface of the globe is the legal condition necessary for the inclusion of such portion in the territory of any particular state”
Kedaulatan dalam kaitannya dengan suatu bagian dari permukaan bumi adalah kondisi hukum yang diperlukan untuk memasukkan bagian tersebut ke dalam wilayah suatu negara. Aspek positif wilayah terhadap kekuasaan tertinggi atau kewenangan ekslusif dari negara diwilayahnya. Kewenangan atau kekuasaan tersebut hanya dapat diterapkan di wilayahnya, dikarenakan negara tidak dapat lagi melaksanakan kewenangannya diluar wilayahnya.[5]
Kedaulatan dalam hukum laut, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 Ayat (1) UNCLOS 1982:
The sovereignty of a coastal State extends, beyond its land territory and internal waters and, in the case of an archipelagic State, its archipelagic waters, to an adjacent belt of sea, described as the territorial sea.
Kedaulatan suatu negara pantai mencakup pada wilayah daratannya dan perairan pedalaman. Sedangkan, kedaulatan negara kepulauan meliputi perairan kepulauan yang berbatasan dengan laut teritorial. Dalam Pasal 3 UNCLOS 1982 juga dijelaskan bahwa terhadap hal ini negara berhak untuk menetapkan lebar laut teritorial yang tidak melibihi 12 mil laut diukur dari garis pangkal yang ditentukan oleh UNCLOS 1982 dan terhadap lebar laut teritorial 12 mil laut ini merupakan kedaulatan setiap negara.
Sedangkan hak berdaulat adalah hak yang diberikan oleh hukum internasional kepada suatu negara hanya dan terbatas dalam hal pemanfaatan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya. Hal ini sebaimana diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 77 UNCLOS 1982. Pemberian hak berdaulat dalam hukum laut internasional inipun hanya terhadap Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen.
Hak Berdaulat Negara di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
Dalam UNCLOS 1982, kedaulatan suatu negara di laut hanya terdapat dalam batas laut teritorial, sedangkan untuk pengaturan di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) terdapat hak berdaulat. Pelaksanaan hak berdaulat di laut ini dilakukan diluar batas 12 mil laut. Hak berdaulat adalah hak yang diberikan oleh hukum internasional kepada suatu negara untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya hayati dan non-hayati dari perairan diatas laut hingga di dasar laut termasuk tanah dibawahnya.[6]
Masing-masing negara pantai memiliki hak berdaulat pada zona ekonomi eksklusif. Dalam hal pelaksanaan hak berdaulat ini, negara juga dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap lebar laut tersebut. Menurut Shaw, yurisdiksi adalah kompetensi atau kekuasaan negara terhadap orang, benda, dan peristiwa hukum. Yurisdiksi adalah refleksi dari kedaulatan sebuah negara, persamaan derajat dan prinsip non intervensi.[7] Pelaksanaan yurisdiksi suatu negara ini dapat juga dilakukan pada wilayah zona ekonomi ekslusif sebagai implikasi dari adanya hak berdaulat suatu negara. Hal ini berkenaan dengan kegiatan untuk kepentingan ekonomi. Pelaksanaan hak berdaulat suatu negara di laut ini pada lebar yang tidak melebihi 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur. Terhadap hal ini sebutkan bahwa negara mempunyai hak ekslusif dalam zona ekonomi ekslusif.[8]
Pasal 56 Ayat 1 huruf a UNCLOS 1982 menyatakan:
In the exclusive economic zone, the coastal State has:
(a) sovereign rights for the purpose of exploring and exploiting, conserving and managing the natural resources, whether living or non-living, of the waters superjacent to the seabed and of the seabed and its subsoil, and with regard to other activities for the economic exploitation and exploration of the zone, such as the production of energy from the water, currents and winds;
Negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah dibahwanya dan berkenaan juga dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin. Dalam Pasal 56 ini negara memiliki kewenangan penegakan hukum yang terbatas hanya pada pemanfaatan sumber daya kelautan, baik hayati maupun non hayati.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 73 UNCLOS 1982 bahwa negara pantai dalam melaksanakan hak berdaulatnya dapat melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi ekslusif. Dapat pula menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan sebagaimana diperlukan untuk menjamin adanya penaatan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara pantai tersebut yang sesuai dengan ketentuan dalam UNCLOS 1982.
Terhadap yurisdiksi negara yang dapat diterapkan dalam zona ekonomi ekslusif sebagai implikasi dari adanya hak berdaulat ini adalah berkenaan dengan pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan; riset ilmiah kelautan; perlindungan dan pelestarian terhadap lingkungan laut. Pelaksanaan hak berdaulat ini juga disertai dengan adanya kewajiban negara untuk memperhatikan hak dan kewajiban dari negara lain.
Adanya hak berdaulat di zona ekonomi eksklusif ini mengakibatkan negara lain tidak berhak memanfaatkan kekayaan alam ataupun sumber daya hayati dari wilayah tersebut tanpa adanya izin dari negara pantai. Namun, terhadap negara lain sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 58 UNCLOS 1982 memiliki hak kebebasan untuk melakukan pelayaran dan penerbangan serta kebebasan untuk meletakkan kabel pipa bawah laut dan penggunaan laut lainnya yang sah menurut hukum internasional. Pelaksanaan hak ini dilakukan dengan memperhatikan dan mentaati peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh negara pantai juga hukum internasional lainnya.
Hal yang juga perlu menjadi perhatian adalah apabila negara pantai kemudian tidak menetapkan zona ekonomi eksklusifnya maka wilayah laut setelah zona tambahan adalah bagian dari laut lepas. Dimana dalam pengaturannya laut lepas tidak berada dalam kedaulatan negara ataupun hak berdaulat ataupun yurisdiksi suatu negara manapun.[9] Hal ini dikarenakan regulasi yang sebenarnya berlaku di atas permukaan zona ekonomi eksklusif adalah rezim laut babs dimana terdapat kebebasan bagi kapal asing. Sehingga wilayah permukaan air di atas zona ekonomi eksklusif sering kali disebut dengan laut bebas yang khusus (sui generis) dikarenakan masih terdapat hak berdaulat negara pantai didalamnya.
Hak Berdaulat Negara di Landas Kontinen
Landas Kontinen sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 76 Ayat (1) UNCLOS 1982:
The continental shelf of a coastal State comprises the seabed and subsoil of the submarine areas that extend beyond its territorial sea throughout the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin, or to a distance of 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured where the outer edge of the continental margin does not extend up to that distance.
Meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur dalam hal penggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Tepi kontinen yang dimaksud meliputi kelanjutan dari bagian daratan negara pantai yang berada di bawah permukaan air, dan terdiri dari dasar laut dan tanah dibawahnya dari dataran kontinen, lereng (slope) dan tanjakan (rise). Tepi kontinen ini tidak mencakup pada dasar samudera dalam.
Perolehan hak berdaulat di landas kontinen dijelaskan dalam Pasal 77 UNCLOS 1982 dimana negara pantai menjalankan hak berdaulat ini untuk tujuan mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber kekayaan alamnya. Hak berdaulat ini bersifat eksklusif, sama seperti zona ekonomi eksklusif dimana apabila negara pantai tidak melakukan kegiatan eksplorasi terhadap landas kontinen atau eksploitasi sumber kekayaan alam yang terdapat di landas kontinen, maka tidak seorangpun atau negara manapun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan dari negara pantai.
Eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam dalam hal ini terdiri dari sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan non hayati lainnya pada dasar laut dan tanah di bawahnya, bersamaan dengan organisme hidup yang tergolong dalam jenis sedenter yaitu organisme yang pada tingkat sudah dapat dipanen dengan tidak bergerak berada pada atau di bawah dasar laut atau tidak dapat bergerak kecuali jika berada dalam kontak pisik tetap dengan dasar laut atau tanah dibawahnya.
Negara lain juga dapat melaksanakan proyek riset ilmiah kelautan dengan berdasarkan pada izin dari negara pantai. Untuk tujuan damai dan dengan tujuan untuk menambah pengetahuan ilmiah tentang lingkungan laut demi kepentingan umat manusia, negara pantai harus dengan secepatnya menentukan ketentuan dan prosedur guna menjamin agar persetujuan tersebut tidak akan diundur atau ditolak tanpa alasan yang cukup dan jelas. Terhadap proyek riset ilmiah kelautan yang dilakukan oleh negara lain juga dilakukan dengan tidak mengganggu secara tidak wajar kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh negara pantai sesuai dengan hak berdaulat serta yurisdiksi negara pantai sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 246 UNCLOS 1982.
Terhadap hal ini dapat dikatakan bahwa persamaan dari konsep kedaulatan negara dan hak berdaulat negara dalam hukum laut adalah adanya pelaksanaan yurisdiksi negara terhadap wilayah lautnya yang telah diukur dan ditetapkan berdasarkan UNCLOS 1982. Hanya saja dalam hal ini terdapat perbatasan dalam hak berdaulat yakni hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan secara ekonomis (economic utilization) dari bagian laut dengan rincian jenis kegiatan yang telah disebutkan dalam UNCLOS 1982 dan terbatas pada pemanfaatan sumber daya alam yang ada di dalamnya. Terhadap hak berdaulat juga dalam penerapannya memperhatikan hak dan kewajiban negara lain.
Baca juga:
Sistematika Buku III KUHPerdata Tentang Perikatan
[1] Mochtar Kusumaatmadja and Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional (PT Alumni 2019).
[2] Wendy Andrean, ‘Pengaturan Hak Berdaulat Menurut Konvensi Hukum Laut 1982 Dan Implementasinya Di Indonesia’ (Universitas Jambi 2021).
[3] Raden Florentinus Bagus Adhi Pradana, ‘Akibat Hukum Klaim Nine Dash Line Cina Terhadap Hak Berdaulat Indonesia Di Perairan Kepulauan Natuna (Khususnya Kabupaten Natuna) Menurut UNCLOS 1982’ (Universitas Atma Jaya Yogyakarta 2017).
[4] M Iman Santoso, ‘Kedaulatan Dan Yurisdiksi Negara Dalam Sudut Pandang Keimigrasian’ (2018) 7 Binamulia Hukum 1.
[5] Kusumaatmadja and Agoes (n 1).
[6] Chika Laksita Dewi and I Made Andi Arsana, ‘Kedaulatan Pulau Dan Delimitasi Batas Maritim Di Laut Cina Selatan: Kajian Atas Kepemilikan Kepulauan Paracel Dan Dampaknya Terhadap Delimitasi Batas Maritim Antara Cina Dan Vietnam’ (2023) 37 Majalah Geografi Indonesia 124.
[7] Sefriani, Hukum Internasional : Suatu Pengantar (Rajawali Pers 2014).
[8] Santoso (n 4).
[9] Kusumaatmadja and Agoes (n 1).