KUHP Baru: Pro dan Kontra Demo Tanpa Pemberitahuan Bisa Dipenjara 6 Bulan

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mengatakan pengesahan RKUHP merupakan momen bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia. Setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk Belanda, saat ini Indonesia telah memiliki KUHP sendiri.

Kita patut berbangga karena berhasil memiliki KUHP sendiri, bukan buatan negara lain. Jika dihitung dari mulai berlakunya KUHP Belanda di Indonesia tahun 1918, sudah 104 tahun sampai saat ini. Indonesia sendiri telah merumuskan pembaruan hukum pidana sejak 1963,” ujar Yasonna usai rapat paripurna DPR RI. Menurut Yasonna, produk Belanda ini dirasakan sudah tidak relevan lagi dengan kondisi dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia. Hal ini menjadi salah satu urgensi pengesahan RUU KUHP. “Produk Belanda tidak relevan lagi dengan Indonesia. Sementara RUU KUHP sudah sangat reformatif, progresif, juga responsif dengan situasi di Indonesia,” katanya.

Namun, ada beberapa pasal pro dan kontra dalam KUHP baru, salah satunya pidana demo tanpa pemberitahuan bisa dipenjara . Hal itu tertuang dalam Pasal 256. “Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan sanksi pidana dipenjara 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori ll (Rp. 10.000.000)”.

Pasal ini dikritik karena bisa dengan mudah mengkriminalisasi dan membungkam kebebasan berpendapat.  Koalisi masyarakat sipil mengatakan, pada praktiknya polisi kerap mempersulit izin demo. Bukankah dengan adanya Undang-Undang ini akan mempersempit aspirasi suara masyarakat, lalu bagaimana dengan adanya  kebebasan berpendapat dan berekspresi yang merupakan amanah dari Undang-Undang, Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. 

Baca juga:
Problematika Politik Identitas dalam Pemilu

Mahasiswa adalah suara masyarakat, lantas bagaimana keadaan negeri ini, jika tak ada lagi suara aspirasi dari mahasiswa, siapa lagi yang akan menyuarakan suara masyarakat-masyarakat kecil. Memang sekilas KUHP baru ini seolah untuk melindungi masyarakat agar tidak ada para demonstran yang terluka, ketentuan mengenai demonstrasi tanpa pemberitahuan ini dinilai rawan mengkriminalisasi peserta aksi unjuk rasa bahkan banyak yang meninggal dunia, tetapi jika di kuliti lebih dalam KUHP baru ini akan menjadi barometer untuk menakut-nakuti masyarakat dan mahasiswa.

Selain itu, diksi terganggunya kepentingan umum dalam Pasal 273 KUHP juga dipersoalkan karena bersifat multitafsir. Wajar saja seandainya diksi tersebut didefinisikan sebagai keonaran atau huru-hara. Namun, hal ini dikhawatirkan kemacetan yang biasa terjadi akibat kegiatan unjuk rasa kelak ditafsirkan sebagai terganggunya kepentingan umum. Jika demikian semua demonstrasi akan dipidana karena biasanya demonstrasi dilakukan di jalan dan orang-orang penasaran dan akhirnya membuat macet.

KUHP baru ini dipandang akan menaungi pemerintah-pemerintah yang tak ingin di kritisi. Jelas jika demonstrasi dilaksanakan harus menunggu perizinan/ pemberitahuan maka pihak pemerintah akan mempersulit proses tersebut, lalu kapan aspirasi masyarakat akan dikeluarkan, maka dimana letak Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum. Demonstrasi dalam KUHP baru mengkhianati semangat reformasi yang termaktub dalam Undang- Undang tersebut. Sebabnya, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tidak mengatur sanksi pidana bagi aksi unjuk rasa, tetapi hanya memuat ancaman pembubaran bila demonstrasi digelar tanpa pemberitahuan.

Dengan adanya KUHP baru Pasal 256 ini membuat polemik bagi kalangan masyarakat terkhususnya  mahasiswa, dikarenakan tidak adanya lagi kesempatan untuk menyuarakan pendapat melalui demonstrasi, sehingga perlu kembali dilaksanakan sosialisasi ataupun judicial review terhadap KUHP baru tersebut.

Kesimpulan

Ketentuan demostrasi tanpa pemberitahuan dapat dipenjara 6 bulan dalam KUHP baru sangat tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 karena Undang-Undang ini berisi, “bahwa demonstrasi yang digelar tanpa pemberitahuan bagi aksi unjuk rasa memuat ancaman pembubaran, tidak mengatur sanksi pidana”, KUHP baru ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang tersebut.

Selain itu, dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat“. KUHP baru itu juga seolah-olah membatasi aspirasi dari masyarakat khususnya mahasiswa. Untuk itu, perlunya kembali sosialisasi ataupun judicial review terhadap Pasal 256 KUHP baru tersebut.

Nancy Prema
Nancy Prema

Cukup Allah yang menjadi saksi.

Articles: 2