Oleh Ricky Marpaung, SH*
Jika kita melihat perbedaan dari dua sisi maka kita melihat terlebih dahulu UU ITE No 11/2008 dan UU 19/2016 terkait pasal 27 ayat 3 dimana diatur frasa “muatan penghinaan dan atau/ pencemaran nama baik”. Jelas diatur bahwa memang masih ada kekosongan terkait ambiguitas dimana adakah delik aduan seperti RKUHP yang menjelaskan terkait pasal 353 ayat 3 yang memuat frasa “berdasarkan aduan pihak yang dihina” dan memang tidak dijelaskan lebih lanjut di penjelasan UU ITE dan letak perbedaan terlihat jelas dari delik pidana karena ada perbuatan pidana.
Baca juga:
Tanda Tangan Elektronik, Apakah Sah?
Menilik lebih dalam lagi pada pasal 439-443 mengenai tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik. Bila kita membedah pasal per pasal kita dapat melihat muatan pasal memang punya beban pidana yang berbeda-beda. Misal, pasal 439 yang memuat pencemaran tertulis, pasal 440 yang menjelaskan tentang fitnah juga memerlukan intrepretasi hakim atas dasar kepentingan umum, lalu pasal 441 juga membahas tuduhan yang disangkakan oleh orang tersebut bila telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Pasal 442 mengenai penghinaan ringan dan terpenting pasal 443 yang dimana menyerang harkat-martabat seseorang secara pribadi.
Produk kedua undang-undang baik UU ITE maupun RKUHP punya muatan yang sedikit berbeda dari segi muatan undang-undang. Namun, pada praktiknya memang dilakukan secara veroordeling atau pemidanaan terhadap kasus ITE secara dunia maya maupun RKHUP yang cakupannya lebih luas.
Ada pro-kontra terkait RKUHP dimana memang bilamana tertuduh melakukan laporan atau pengaduan maka akan terjadi muatan tindak pidana, namun masyarakat dalam hal ini menjadikan ruang berekspresi semakin sempit. Mengapa?. Karena tidak dijelaskan secara konstruktif bagaimana kritik berisi penghinaan dan pencemaran. Mungkin hanya frasa fitnah saja yang jelas tertuang didalam RKUHP isi dari substansi pidana. Kontekstualitas lainnya, pejabat jadi merasa mempunyai hak impunitas ketika dirasa ada penyerangan secara pribadi dalam bentuk pencemaran, penghinaan, ataupun fitnah. Dari segi hukum, hal ini memang sangat ketat, tetapi bila dalam muatan politis bisa terjadi perbedaan pandangan dan ini memerlukan kajian pidana yang lebih dalam bagi aparat berwenang baik itu polisi yang menerima laporan atau pengaduan, jaksa yang memeriksa tuntutan, dan hakim yang menjadikan interpretasi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara berdasarkan undang-undang yang berlaku apakah memang secara pribadi layak divonis secara hukum oleh beleid tersebut.
Secara konklusi, RKUHP memang belum final menjadi sebuah UU di DPR namun naskah akademik sudah pasti tidak ada perubahan atau bersifat final. Tentu, banyak sekali gelombang protes dari masyarakat. Namun, saya menunggu apakah memang RKUHP akan lebih memberatkan jerat pelaku pidana terhadap UU yang berhubungan dengan UU ITE dan masyarakat semakin berhati-hati dalam bermedia sosial. Kita patut tunggu!
*Penulis merupakan alumnus Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan Pemerhati Hukum Tata Negara