Kisah Cinta Staff Kepresidenan: Simbol Toleransi Beragama Atau Pelanggaran Norma Hukum?

Kisah Cinta Staff Kepresidenan: Simbol Toleransi Beragama Atau Pelanggaran Norma Hukum?

Sejarah baru di Indonesia belum lama ini terjadi dengan dilaksanakannya perkawinan beda agama yang dilakukan oleh staff khusus Presiden Republik Indonesia yaitu Ayu Kartika Dewi dengan pasangannya Gerald Sebastian. Walaupun dikatakan sejarah baru, nyatanya konsep perkawinan beda agama ini bukanlah barang baru di Indonesia dikarenakan sudah terjadi beberapa kasus serupa.

Dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini saja sudah ada beberapa kasus diantaranya Benny dan Ayu (bukan nama sebenarnya) meraka resmi menikah di Yogyakarta pada tahun 2017 kemudian juga viral di Semarang perkawinan antara pria beragama Kristen dan wanita beragama Islam yang sudah sah dan menjadi pasangan beda agama ke 1.424 di Jawa Tengah. Jika kita ambil jauh kebelakang ada beberapa nama artis juga yang telah melakukan perkawinan beda agama, contohnya Lydia Kandou dan Jamal Mirdad, kemudian pasangan Cornelia Agatha dab Soni Lalwani dan masih banyak lagi.

Ayu Kartika Dewi merupakan staff khusus Presiden yang memiliki segudang prestasi diantaranya Presenter terbaik Student Grant seluruh Indonesia, Mahasiswa Berprestasi Peringkat Pertama Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga selama dua tahun berturut-turut, pernah berkuliah di Amerika, dan terpilih menjadi tokoh millennial yang masuk ke gugus tugas ketiga. Prestasi yang hebat bisa menjadi teman diskusi bapak Jokowi dan tentunya sudah menabung begitu banyak ilmu dari berbagai buku, pengalaman empiris dibanyak bidang begitu juga bidang agama.

Perdebatan tentang legalitas perkawinan beda agama di Indonesia terus bergulir ya walaupun dalam praktek sudah dapat disimpulkan bagaimana mengatasi peraturan yang ada untuk dapat melaksanakan perkawinan tersebut.

Hukum positif di Indonesia sudah jelas mengatur tentang perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Melangsungkan sebuah perkawinan merupakan perbuatan hukum dan begitu juga menimbulkan akibat hukum yang sangat berkaitan dengan sah tidaknya perbuatan hukum tersebut. Undang-undang Perkawinan mengatur sahnya perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi:

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Jika dimaknai bunyi Pasal di atas maka perkawinan sebagai perbuatan hukum dikunci dengan pemahaman agama yang dianut oleh pihak terkait. Kemudian dapat dipahami jika ada perbedaan agama diantara pasangan yang menikah maka perbuatan hukum tersebut akan sulit dilakukan karena adanya larangan melaksanakannya. Hal ini selaras dengan bunyi Pasal 8 huruf F, yaitu:

“Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”

Sebab karena adanya aturan tegas di atas seharusnya melangsungkan suatu perkawinan beda agama harus dipertimbangkan dengan sangat bijak. Namun, dalam praktek kenapa masih saja ada perkawinan beda agama?. Tentu saja karena masyarakat memiliki begitu banyak pandangan dan keyakinan terhadap perkawinan maka ada celah untuk melangsungkannya. Ada beberapa konsep pelaksanaan perkawinan beda agama yang sudah terjadi. Mari kita bahas satu persatu.

Pertama, perkawinan beda agama yang telah terjadi dengan melangsungkannya di luar negeri yang memiliki yuridiksinya sendiri. Ada beberapa negara yang membolehkan perkawinan beda agama antara lain, Singapura, Inggris, Belanda, dan tentunya juga memiliki prosedurnya masing-masing. Kemudian kewajiban bagi pasangan yang melakukan perkawinan di luar negeri yaitu melaporkannya di kantor catatan sipil Indonesia yang diatur dalam Pasal 56 ayat (2) Unddang-undang perkawinan. Oleh karenanya maka perkawinan tersebut dapat diakui di Indonesia dan perbuatan hukum sudah terjadi serta akibat hukumnya akan timbul.

Kedua, meminta penetapan pengadilan dan biasanya pelaksanaan dari perkawinan ini dicatat di kantor Catatan Sipil karena Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1400 K/PDT/1986 menyatakan bahwa pengajuan pencatatan perkawinan di kantor Catatan Sipil menegaskan untuk tidak dilakukan menurut agama Islam oleh karenanya jika salah satu mempelai adalah beragama Islam secara otomatis dia mengenyampingkan status agamanya dan kantor Catatan Sipil dapat melangsungkan Perkawinan tersebut.

Ketiga, konsep terakhir melakukan perkawinan dengan satu keyakinan tetapi satu pihak hanya tunduk untuk waktu tertentu. Berbicara konsep terakhir ini secara kasat mata bisa diduga penyeludupan hukum karena ada pihak yang sementara berpindah keyakinan kemudian setelah perkawinan tersebut sah dan dicatat, pihak tersebut kembali dengan keyakinan sebelumnya. Akan tetapi perkawinan ini sudah menjadi perbuatan hukum yang sah di Indonesia dan juga menimbulkan akibat hukum.

Baca juga:
Apakah Istri Ke-2 Medapatkan Hak Waris Dari Suami?

Setelah membaca dan memahami beberapa konsep di atas maka tersirat dalam pemikiran kita bagaimana kedudukan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 Huruf F Undang-undang Perkawinan. Jelas secara tidak langsung peraturan tersebut terkesampingkan. Memang terdengar aneh namun ini bukti bahwa ada kekosongan hukum atau ketidaktegasan hukum atau tidak selarasnya hukum yang ada. Bisa jadi diperlukan politik hukum untuk menetapkan serta aturan yang lebih jelas dan tunggal dalam mengatur perkawinan di Indonesia serta adanya persamaan pandangan atau bisa saja dengan aturan yang ada sekarang sudah cukup.

Problematika dari perkawinan beda agama juga masih banyak dan tentunya paling terdepan yaitu pandangan agama. Sejauh ini pemahaman para ulama agama Islam mengenal perkawinan beda agama dengan ketentuan-ketentuan yang diharuskan untuk pihak lainnya masih memiliki pemahaman yang selaras dengan ajaran Islam atau biasa dikenal dengan ahli Kitab. Dalam hal ini berkaitan dengan pemahaman agama, kita harus benar benar memahami dengan sangat baik konsep yang diwajibkan untuk pihak ahli kitab itu yang bagaimana, dengan mencari literatur sebanyak mungkin tentang pandangan para ulama dan saya tidak membahas hal tersebut secara rinci dalam tulisan ini.

Akibat hukum lainnya yaitu hak waris terhadap anak yang terlahir dari perkawinan beda agama. Menurut beberapa agama terutama agama Islam, anak yang lahir dalam perkawinan beda agama merupakan anak yang tidak sah serta secara otomatis anak yang tidak seagama dengan bapaknya akan kehilangan hak mewaris karena halangan terjadinya pewarisan. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 5/MUNAS VII/9/2005 tentang kewarisan beda agama:

“(1) Hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewaris antar orang-orang yang beda agama (antara muslim dengan non-muslim).”

Pertanggung jawaban terhadap akibat hukum yang timbul dari perkawinan beda agama ini sangat penting diperhatikan oleh semua pihak yang mau melakukan perkawinan beda agama serta yang sudah melakukannya. Harus benar-benar mencari literasi dari buku-buku yang otentik serta belajar dari orang-orang yang berkompeten. Oleh karena itu dengan akibat hukum tersebut pelaku-pelaku perkawinan beda agama dianggap sudah mengerti dengan akibat hukumya apa lagi mereka yang memiliki background pendidikan, prestasi, dan pekerjaan yang mencenangkan serta cemerlang pasti tidak sembarangan untuk mengambil keputusan.

Penulis:
Tomy Aulya Tarigan, S.H. | Legal Consultant

SmartLawyer
Tomy Aulya Tarigan, SH
Tomy Aulya Tarigan, SH
Articles: 1