Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan: Ketika BUMN Bicara Tentang Tanggung Jawab, Bukan Sekadar Citra

Deswita Fitri Deswita Fitri
| 2 Juni 2025


Belakangan ini, isu lingkungan dan sosial semakin mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Banyak perusahaan termasuk PTPN berada di wilayah rawan konflik ekologi: deforestasi, degradasi lahan, dan hilangnya biodiversitas jadi isu harian kemudian mulai dari konflik lahan, pencemaran, hingga ketimpangan sosial di sekitar wilayah industri menimbulkan pertanyaan besar.

Seperti, PKS PT Prima Sauhur Lestari milik PT Prima Sauhur Lestari yang berada di Nagori Pematang Kerasaan, Kecamatan Bandar, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara membuang limbah cair (Palm Oil Mill Effluent/POME) menyebabkan ekosistem yang ada diperairan sungai terancam punah (WahanNews, 2023), selanjutnya PT RAS yang berada di Simalungun Sumatera Utara ditemukan adanya pencemaran lingkungan dari limbah yang dihasilkan dari pabrik kelapa sawit PT RAS (Wendy, 2024), dan di Sumatera Utara (Langkat) adanya alih fungsi mangrove menjadi perkebunan sawit di Desa Kwala Langkat dan Kwala Serapuh mengakibatkan kerusakan ekosistem, penurunan jumlah nelayan, dan konflik agraria yang melibatkan perampasan tanah petani. (Sri Wahyuni, 2025). Mana tanggung jawab perusahaan? Apakah cukup dengan membagikan sembako tahunan dan memasang baliho “Kami Peduli Lingkungan”?

Di tengah kebisingan itu, ada satu kata kunci yang kerap muncul yaitu Corporate Social Responsibility alias CSR. Namun, dalam kerangka hukum Indonesia, ada istilah yang jauh lebih spesifik dan memiliki kekuatan hukum yang lebih tegas, yaitu Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).

Sayangnya, banyak pihak termasuk sebagian kalangan Perusahaan masih menganggap bahwa TJSL dan CSR adalah hal yang sama. Padahal, keduanya berbeda secara prinsip maupun norma hukum.

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Bukan CSR

Jika CSR lebih sering dilihat sebagai komitmen moral atau strategi relasi publik perusahaan, maka TJSL adalah kewajiban hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang mewajibkan perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam seperti PT Perkebunan, PT Pertamina, PT Bio Farma dll, untuk melaksanakan TJSL secara terstruktur, terukur, dan berkelanjutan.

Artinya, TJSL bukan pilihan, melainkan mandat. Dan dana pelaksanaannya bukan “sedekah sukarela”, melainkan bagian dari anggaran operasional yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum.

Berikut table perbandingan: TJSL dan CSR
ASPEKTJSLCSR
Istilah Resmi HukumDigunakan dalam UU No. 40 Tahun 2007 (UU PT) dan PP No. 47 Tahun 2012 (PP TJSL)Tidak digunakan dalam hukum positif Indonesia
Sumber HukumUU PT Pasal 74, PP 47 Tahun 2012, Permen BUMN PER-1/MBU/03/2023Umumnya bersifat sukarela, berdasar pada standar Internasional atau etika
Status HukumWajib bagi perseroan yang bergerak di sektor SDA (khususnya BUMN dan PT)Bersifat sukarela (voluntary commitment)
Subjek HukumPerseroan Terbatas dibidang SDA, terutama BUMNSemua jenis perusahaan
AnggaranDianggarkan dalam biaya perusahaan secara wajib dan proporsionalDisesuaikan dengan kebijakan internal kepedulian sosial
TujuanMeningkatkan kualitas hidup & kelestarian lingkungan secara hukum dan sistematisMeningkatkan citra perusahaan dan kepedulian sosial
Sanksi HukumTidak melaksanakan bisa menimbulkan konsekuensi hukum administratif/pidana (belum tegas dipraktik)Tidak ada sanksi hukum formal
PelaporanHarus dilaporkan sebagai bagian dari tanggungjawab perusahaanBisa dilaporkan, tapi tidak wajib dalam laporan tahunan
Studi Kasus: PTPN IV Regional I

Di tengah pesatnya pembangunan dan perluasan industri, isu lingkungan dan tanggung jawab sosial semakin tak bisa diabaikan. Salah satu BUMN yang bergerak di bidang sumber daya alam PT Perkebunan Nusantara IV Regional I (PTPN IV RI) menjadi contoh penting bagaimana perusahaan seharusnya tidak hanya mengejar profit, tapi juga wajib memberi manfaat nyata bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.

PTPN IV RI bukan sekadar perusahaan perkebunan kelapa sawit dan teh. Operasionalnya yang luas, tersebar di sembilan kabupaten di Sumatera Utara, menyentuh langsung kehidupan masyarakat dan kawasan hutan. Maka tak heran, perusahaan ini berkewajiban melaksanakan TJSL sesuai amanat Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Dalam penelitian yang saya lakukan pada Tahun 2024, perusahaan ini memang telah menjalankan berbagai program TJSL, mulai dari pengelolaan limbah, konservasi lingkungan, hingga pemberdayaan masyarakat sekitar.

Namun, ada juga sejumlah masalah mendasar yang muncul:

  • Belum adanya sanksi tegas bila TJSL dilanggar.
  • Kurangnya pemahaman masyarakat tentang haknya atas program TJSL.
  • Dana TJSL yang bergantung pada laba tahunan perusahaan.
  • Bahkan terdapat indikasi penyalahgunaan bantuan yang semestinya diperuntukkan bagi masyarakat.

Semua ini menandakan bahwa keseriusan implementasi TJSL masih jauh dari ideal, terutama dalam konteks transparansi dan akuntabilitas.

Dalam dunia yang semakin sadar akan keadilan sosial dan krisis ekologi, TJSL seharusnya menjadi instrumen penting negara untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Sayangnya, banyak perusahaan (termasuk BUMN) yang masih melihat TJSL sebagai kewajiban administratif, bukan sebagai bagian dari misi etik dan tanggung jawab kolektif terhadap masa depan bangsa.

Hal ini diperparah dengan belum adanya aturan teknis yang memuat sanksi pidana atau administratif secara spesifik jika TJSL disalahgunakan atau diabaikan.

Baca juga: Hak Atas Pencatatan Akta Kelahiran Bagi Anak

BUMN seperti PTPN IV RI punya peran strategis dalam menciptakan keseimbangan antara keuntungan dan tanggung jawab sosial-lingkungan. Namun perlu diingat, tanggung jawab bukan sekadar branding. TJSL bukan ruang pencitraan, tapi cermin moralitas korporasi. Jika TJSL dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka kepercayaan masyarakat akan tumbuh. Jika tidak, maka ketidakadilan sosial dan kerusakan lingkungan hanya akan terus diwariskan.

Negara harus serius membenahi regulasi dan pengawasannya. Mulai dari membuat sanksi yang jelas, mendorong audit independen, hingga membentuk lembaga kontrol sosial dari masyarakat. Tanpa itu, TJSL akan terus jadi jargon manis tanpa makna.

Karena bumi, lingkungan, dan masyarakat bukan sekadar stakeholder, mereka adalah penentu keberlanjutan itu sendiri.

Regulasi Utama tentang TJSL
  1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)
  2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM)
  3. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
  4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
  5. Peraturan Menteri BUMN No. PER-1/MBU/03/2023 tentang Penugasan Khusus dan Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan BUMN
Referensi:
  1. Https://mongabay.co.id/2025/02/13/picu-bencana-dan-konflik-setop-ekspansi-sawit/
  2. Https://simalungun.wahananews.co/utama/terkait-dugaan-ptprima-sauhur-lestari-buang-limbah-cair-ke-sungai-bah-bolonblh-provinsi-sumut-diminta-turun-kelokasi-dyM3X729t0/0?utm_source=chatgpt.com
  3. Https://haksuara.co.id/dpd-lsm-bin-sumut-temukan-dugaan-pencemaran-lingkungan-p-t-r-a-s-di-sipispis/?utm_source=chatgpt.com