Dalam Mukadimah Pernyataan Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Right) ditegaskan bahwa pengakuan terhadap harkat martabat manusia adalah menjadi milik setiap anggota masyarakat, dan setiap orang mempunyai hak-hak yang sama yang tidak dapat dipisahkan dari padanya. Mengapa demikian? Sebab hak-hak asasi manusia harus dilindungi oleh aturan hukum, agar manusia tidak terpaksa memilih jalan terakhir melakukan pemberontakan guna melepaskan diri dari kezaliman dan penindasan.
Pasal 2 Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menentukan bahwa hak-hak anak berupa: kesejahteraan, perawatan, asuhan bimbingan, pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, perlindungan dari lingkungan hidup yang dapat membahayakan pertumbuhan dan perkembangannya.
Pengakuan terhadap hak negara untuk mengatur dalam kerangka kebijakan kesejahteraan social (social policy), baik dalam bentuk kebijakan kesejahteraan social (social welfare policy) maupun kebijakan keamanan social (social defence policy). Negara berhak mengatur restriksi dan limitasi kekuasaan, untuk menjaga agar pengaturan tersebut tetap dalam keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan negara, kepentingan masyarakat dan kepentingan pribadi.
Hak Atas Identitas
Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, akta-akta yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mempunyai kekuatan pasti dan tidak dapat dibantah oleh pihak ketiga. Akta catatan sipil merupakan bukti yang kuat dan sempurna karena merupakan akta otentik. Pasal 1870 KUH Perdata, menetukan bahwa suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.
Tahukah kamu, akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat dalam arti bahwa yang tertulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan, dan ia memberikan suatu bukti yang sempurna.
Pada tanggal 20 November 1959 Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mensahkan hak-hak anak (Declaration of The Rights of The Child). Dalam Mukadimah Deklarasi ini, tersirat bahwa umat manusia berkewajiban memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989 telah menyetujui Konvensi Hak-hak anak, yang diratifikasi oleh Bangsa Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990.
Salah satu hak anak menurut Konvensi Hak-hak Anak tersebut adalah: Hak untuk mempertahankan identitas (Pasal 8); Pasal 8 menentukan bahwa (1) Negara-negara peserta berusaha untuk menghormati hak-hak anak untuk memperoleh identitasnya, termasuk kewarganegaraannya, namanya dan hubungan keluarganya sebagaimana yang diakui oleh undang-undang tanpa campur tangan yang tidak sah; (2) Apabila seorang anak secara tidak sah dirampas sebagian atau seluruh identitasnya, Negara-negara peserta akan memberikan bantuan dan perlindungan guna memulihkan kembali identitasnya. Dari ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa Negara berkewajiban untuk melindungi dan memulihkan kembali jati diri seorang (nama, kewarganegaraan dan ikatan keluarga).
Nah yang menjadi pertanyaan, lalu bagaimana dengan anak luar kawin bahkan anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya? Jika merujuk terlebih dahulu pada Pasal 2 UU Perkawinan, perkawinan sah apabila dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang yang digunakan di sini ialah Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pasal 1 angka 17 UU Administrasi Kependudukan mengkategorikan perkawinan sebagai peristiwa penting. Pasal 3 kemudian menyatakan bahwa setiap penduduk wajib melaporkan peristiwa penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pencatatan Sipil. Artinya, perkawinan di Indonesia wajib dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi pasangan muslim dan di Kantor Catatan Sipil bagi pasangan non-muslim.
Lantas, apakah dengan tidak dicatatkannya perkawinan, perkawinan tersebut menjadi tidak sah? Tentunya saja tidak bisa secara langsung disimpulkan demikian. Perkawinan yang dilakukan di tempat ibadah adalah sah secara agama. Namun, karena tidak adanya pencatatan, perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada oleh hukum Indonesia.
Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Dalam arti sempit, anak luar kawin dapat didefinisikan sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah sebagai akibat hubungan antara seorang pria dan wanita yang masih lajang (tidak terikat dalam perkawinan), demikian yang disampaikan P.N.H. Simanjuntak dalam buku Hukum Perdata Indonesia (hal. 228-229).
Terdapat beberapa keadaan yang mengakibatkan anak berstatus sebagai anak luar kawin, yaitu :
- Anak lahir dalam perkawinan yang tidak dicatatkan, tetapi perkawinan tersebut sah secara agama. Misalnya, perkawinan siri; atau
- Anak lahir dari seorang Ibu yang hamil di luar nikah dan tidak menikah dengan ayah biologis si anak, dalam arti tidak pernah ada perkawinan antara ayah biologis dan ibu kandung.
Karena anak lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum, anak tersebut berstatus sebagai anak luar kawin. Menurut Pasal 43 UU Perkawinan, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibunya. Akibat yang timbul dari status anak luar kawin adalah sebagai berikut:
- Akta Kelahiran dari anak luar kawin hanya akan mencatat nama ibu saja sebagai orang tua sah tanpa nama ayah.
- Karena Akta Kelahiran anak luar kawin hanya mencatat nama ibu saja, anak luar kawin tidak berhak mewaris dari ayahnya dan hanya akan mewaris dari ibunya sesuai dengan bagian waris anak luar kawin yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Pada dasarnya, setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat penduduk berdomisili maksimal 60 hari sejak kelahiran. Dengan catatan, tempat lahir di dalam akta kelahiran tetap menunjuk pada tempat terjadinya kelahiran, hal ini dimuat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Hal serupa juga dimuat pada Pasal 27 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menentukan bahwa (1) Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya, (2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran, (3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran, (4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ini, dapat diketahui bahwa identitas seorang anak harus diberikan sejak kelahirannya dan dituangkan dalam akta kelahiran. Berdasarkan Pasal ini, dapat juga diketahui bahwa pencatatan kelahiran anak tidak saja dapat dilakukan terhadap anak sah, tetapi juga anak luar kawin bahkan anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya. Hal ini mengindikasikan bahwa anak jalanan atau gepeng (gelandangan pengemis) dapat dicatatkan kelahirannya.
Pasal 28 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa pembuatan akta kelahiran merupakan tanggung jawab pemerintah. Pelaksananya sampai ke tingkat kelurahan/desa. Waktu pembuatan akta kelahiran, paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diajukan permohonan.
Untuk memperoleh akta kelahiran bagi WNI pencatatan kelahiran harus memenuhi persyaratan:
- Surat keterangan kelahiran;
- Buku nikah/kutipan akta perkawinan atau bukti lain yang sah;
- Kartu Keluarga (KK); dan
- KTP-el.
Lalu, bagaimana dengan anak yang lahir di luar kawin, bisakah mendapatkan akta kelahiran jika tidak melampirkan buku nikah/kutipan akta perkawinan? Akta kelahiran merupakan hak anak, bukan orang tua. Sehingga anak tetap berhak mendapatkan akta kelahiran meskipun merupakan anak di luar kawin atau bahkan tidak diketahui keberadaan orang tuanya. Namun, dalam akta kelahiran tersebut hanya ada nama Ibu saja. Maka, anak luar kawin tetap bisa memperoleh akta kelahiran meskipun tidak melampirkan persyaratan buku nikah/kutipan akta perkawinan.
Arti Penting Akta Kelahiran?
Secara etimologi, akta berasal dari kata “acta/acte” yang berarti “sesuatu yang tertulis atau yang berguna sebagai alat bukti/dokumen resmi dari pejabat Negara, “misalnya actes de naissance (akta kelahiran). Actes ge meriage (akta perkawinan (I.P.M. Ranuhandoko, 2000: 14).
Pencatatan kelahiran menurut perspektif hukum, dapat dilihat dari 3 (tiga) nilai dasar hukum, yaitu: kepastian hukum, kegunaan/kemanfaatan dan keadilan. Perlindungan hukum merupakan perlindungan Yustitiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat menghendaki kepastian hukum, karena dengan kepastian hukum, masyarakat akan lebih tertib. Dikaitkan dengan pencatatan kelahiran anak, memberikan perlindungan yustitiabel/kepastian hukum terhadap hak-hak seorang anak atas tindakan sewenang-wenang yang mungkin terjadi, sekaligus pencatatan kelahiran anak tersebut dimaksudkan untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat.
Hak anak atas akta kelahiran merupakan identitas anak hak pertama anak, yaitu hak yang harus diperoleh anak segera sejak saat kelahirannya. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa Pasal 55 (1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. Artinya, bahwa salah satu arti penting adanya akta kelahiran adalah untuk membuktikan asal-usul anak. Anak yang tidak dicatat kelahirannya, kehilangan hak yang paling mendasar, yakni hak untuk diakui sebagai subjek hukum, sebab pencatatan kelahiran merupakan “karcis” untuk menjadi Warga Negara. Jadi, tanpa adanya akta kelahiran, seseorang tidak “ada” secara hukum, dengan demikian tidak memiliki akses legal yang memberikannya hak perlindungan sebagai bagian dari suatu bangsa.
Refrensi:
- Maidin Gultom. 2018. Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan. Bandung: PT. Refika Aditama.
- Musfianawati. (2014). Perlindungan Hukum Pada Pemenuhan Hak Anak atas Akta Kelahiran. Jurnal Rechtens,3.
- Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak Anak, Jakarta.
- Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta.
- Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara