Kebijakan Penerapan Bahan Bakar Etanol dalam Perspektif Hukum Indonesia

Dwi Wulan Romadhon, S.H. Dwi Wulan Romadhon, S.H.
| 2 November 2025


Pendahuluan

Isu diversifikasi energi menjadi perhatian penting dalam pembangunan nasional Indonesia. Ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil, terutama minyak bumi, mendorong pemerintah untuk mencari alternatif energi terbarukan. Salah satu bentuknya adalah pengembangan dan pemanfaatan etanol (bioetanol) sebagai bahan bakar nabati yang ramah lingkungan.

Upaya ini merupakan bagian dari kebijakan nasional untuk memperkuat ketahanan energi sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang menargetkan porsi energi baru dan terbarukan mencapai 23% pada tahun 2025. Bioetanol diharapkan menjadi substitusi bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin melalui program campuran, misalnya E5, E10, hingga E20 (etanol 5–20%).

Namun, di balik kebijakan progresif tersebut, terdapat isu hukum yang perlu dianalisis secara mendalam, baik dari sisi konstitusional, peraturan pelaksana, maupun implikasi sosial-ekonomi dan lingkungan.

Dasar Hukum Kebijakan Etanol di Indonesia
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
    Prinsip ini menjadi dasar yuridis bahwa pengelolaan sumber daya energi, termasuk bioetanol, harus berorientasi pada kemakmuran rakyat, bukan semata kepentingan ekonomi korporasi.
  2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, Pasal 20 ayat (1) mengatur bahwa pengembangan energi baru dan terbarukan merupakan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 25 menegaskan perlunya penyediaan insentif untuk pengembangan energi baru dan terbarukan.
  3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, Pasal 20 ayat (1) mengatur bahwa pengembangan energi baru dan terbarukan merupakan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 25 menegaskan perlunya penyediaan insentif untuk pengembangan energi baru dan terbarukan.
  4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengembangan bioetanol harus memperhatikan prinsip keberlanjutan dan mencegah kerusakan lingkungan. Setiap proyek industri bioetanol wajib memiliki AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
  5. Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Regulasi ini mengatur mekanisme produksi, distribusi, dan pencampuran bioetanol dalam BBM. Namun, implementasinya masih terbatas karena hambatan ekonomi, infrastruktur, dan hukum.
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional
    • Mengamanatkan optimalisasi sumber energi terbarukan, termasuk bioetanol, sebagai strategi jangka panjang menuju kemandirian energi.
Analisis Hukum dan Permasalahan

Meskipun secara normatif kebijakan etanol telah memiliki dasar hukum yang cukup, terdapat beberapa permasalahan implementatif dari sudut pandang hukum:

  1. Ketidaksinkronan Antar Regulasi. Terdapat tumpang tindih kebijakan antara sektor energi, pertanian, dan industri. Misalnya, ketentuan mengenai bahan baku etanol (tebu, singkong, jagung) sering berbenturan dengan kebijakan pangan nasional. Hal ini menimbulkan konflik norma antara UU Energi (2007) dan UU Pangan (2012).
  2. Ketiadaan Payung Hukum Khusus tentang Energi Terbarukan. Indonesia belum memiliki Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan yang mengatur secara komprehensif aspek hukum, ekonomi, lingkungan, dan sosial dari energi bioetanol. Akibatnya, pelaksanaan masih bergantung pada peraturan turunan yang lemah secara hierarkis.
  3. Masalah Kepastian Hukum bagi Investor. Minimnya jaminan hukum terkait harga beli bioetanol, insentif pajak, dan perlindungan investasi membuat sektor ini kurang menarik bagi investor. Padahal, Pasal 25 UU Energi mewajibkan negara memberikan dukungan dan insentif untuk pengembangan energi terbarukan.
  4. Aspek Lingkungan dan Agraria. Produksi bioetanol berbasis tanaman pangan berpotensi menimbulkan alih fungsi lahan dan konflik agraria. Hal ini berkaitan dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), di mana hak atas tanah harus digunakan sesuai fungsi sosialnya. Eksploitasi lahan tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat lokal dapat dikategorikan sebagai pelanggaran prinsip keadilan sosial.
Kritik Menurut Dwi Wulan Romadhon, S.H.

Menurut Dwi Wulan Romadhon, S.H., kebijakan etanol di Indonesia masih berorientasi pada aspek ekonomi makro, tanpa memperkuat fondasi hukum dan perlindungan sosial. Beberapa poin kritik utama adalah:

  1. Belum Ada Kepastian Regulatif yang Komprehensif. Pemerintah terlalu banyak mengandalkan peraturan menteri dan keputusan teknis, yang secara hierarkis lemah dan mudah berubah.
  2. Minimnya Pengawasan dan Akuntabilitas Publik. Pengembangan etanol seharusnya dilaksanakan dengan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas, sesuai dengan asas good governance sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
  3. Potensi Ketimpangan Sosial dan Ekonomi Jika tidak diatur dengan hati-hati, kebijakan etanol dapat menggeser lahan pertanian rakyat menjadi lahan industri energi, yang bertentangan dengan semangat Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yaitu keadilan sosial dan efisiensi berkeadilan.
Saran

Sebagai praktisi hukum, Dwi Wulan Romadhon, S.H. memberikan beberapa rekomendasi hukum agar kebijakan etanol lebih efektif dan berkeadilan:

  1. enyusunan Undang-Undang Energi Terbarukan. Pemerintah dan DPR perlu segera membentuk UU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang secara eksplisit mengatur mekanisme hukum, perizinan, standar lingkungan, dan perlindungan masyarakat terdampak.
  2. Pemberian Kepastian Hukum dan Insentif Pemerintah perlu menetapkan dasar hukum yang jelas tentang skema harga, subsidi, serta insentif fiskal dan non-fiskal bagi investor serta petani bahan baku bioetanol.
  3. Penguatan Aspek Lingkungan dan Agraria. Setiap proyek bioetanol wajib menjalani proses AMDAL dan konsultasi publik untuk memastikan tidak terjadi konflik sosial. Pemanfaatan lahan harus tetap mematuhi prinsip fungsi sosial tanah dalam UUPA.
  4. Koordinasi Antar Kementerian dan Lembaga Dibutuhkan lembaga koordinasi lintas sektor (misalnya Badan Energi Terbarukan Nasional) yang berwenang mengintegrasikan kebijakan dari Kementerian ESDM, Pertanian, Perindustrian, dan Lingkungan Hidup.
Penutup

Kebijakan etanol di Indonesia merupakan langkah strategis menuju kemandirian energi dan pembangunan berkelanjutan. Namun, tanpa landasan hukum yang kuat, sinergi kelembagaan, serta perlindungan terhadap masyarakat dan lingkungan, kebijakan ini berisiko menjadi kebijakan elitis yang hanya menguntungkan sebagian pihak.

Sebagaimana ditegaskan oleh Dwi Wulan Romadhon, S.H., keberhasilan kebijakan energi tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari sejauh mana hukum mampu menjamin keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baca juga: Pertanggungjawaban Pidana atas Kelalaian yang Menyebabkan Kematian dalam Kecelakaan Lalu Lintas: Studi Kasus Argo Ericko Achfandi