Stufenbau Theorie Hans Kelsen dalam Kacamata Hukum Indonesia

Muhammad Haaziq Bujang Syarif Muhammad Haaziq Bujang Syarif
| 21 September 2025


Sekilas Perdebatan Sistem Negara Hukum

Perdebatan mengenai sistem negara hukum, apakah menggunakan model rule of law atau rechtsstaat, untuk saat ini dirasa sudah tidak lagi relevan untuk dibahas. Dinamika globalisasi yang begitu pesat turut mewarnai sistem negara hukum sehingga akan terjadi amalgamasi atau perkawinan silang antara kedua sistem tersebut. Tidaklah mengherankan lagi jika ditemukan negara yang walaupun dalam konstitusinya dideklarasikan sebagai negara dengan model rule of law, ternyata juga ditemukan ciri dari model rechstaat. Antara stare decisis dengan reasoning based on rule dan antara judge made law dengan la bouche de la Loi kini menjadi kabur sekat-sekatnya karena memang tidak diperlukan lagi distingsi atau perbedaan secara rigid tersebut.

Walaupun sudah terjadi perkawinan silang antara kedua model raksasa dari sistem hukum tersebut, puing-puing konstruksi paradigma yang berbeda dalam menyorot hukum masih dapat diinderakan. Ambillah contoh undang-undang. Dalam kesejarahannya, ide penyusunan norma hukum dalam bentuk undang-undang atau yang dikenal written law (hukum tertulis) berasal dari tradisi hukum civil law system dengan model rechstaat-nya. Walaupun demikian, oleh tradisi hukum common law system dengan model rule of law-nya, undang-undang tersebut diadopsi. Pengadopsian ini tentu ada sisi di mana terjadi penyesuaian terutama pada aspek kekuatan mengikatnya.

Sekilas Pandangan Stufenbau Theorie Hans Kelsen

Berkenaan dengan undang-undang sebagai sumber hukum formil, perlu dibahas terlebih dahulu mengenai aspek fundamental yang mengonstruksi “ide” tentang undang-undang ini. Rujukan buku-buku yang membahas undang-undang dalam sistem hukum dipastikan akan merujuk pada teori yang digagas oleh Hans Kelsen. Tokoh yang terkenal sebagai positivistik hukum ini telah membangun beberapa teori yang sampai saat ini masih relevan dan digunakan terlepas dari kritik yang ditujukan pada teori-teorinya. 

Teori pertama yang mendasari terbentuknya undang-undang adalah Stufenbau Theorie der Rechtsordnung yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi Theory of The Hierarchical Structure of The Legal Order. Dipandang dari perspektif teori ini, hukum merupakan suatu sistem atau tatanan yang terstruktur dan terdiri dari tingkatan-tingkatan. Sistem norma hukum diilustrasikan sebagai suatu segitiga piramida terbalik dengan sudut mengerucutnya berada di bawah.

Makin ke bawah, maka norma hukum tersebut makin rendah. Norma hukum yang berada di tingkat terendah, bersandar pada norma hukum di atasnya untuk mendapatkan legitimasi atau pengakuan akan keabsahannya. Sebaliknya, norma hukum yang berada paling atas akan melahirkan norma hukum di bawahnya sekaligus memberikan legitimasi dari norma hukum yang di bawahnya tersebut. Norma yang paling atas atau yang menjadi sumber utama dari norma-norma hukum yang berada di bawahnya inilah yang disebut Hans Kelsen sebagai grundnorm atau norma dasar.

Untuk memudahkan, Hans Kelsen dalam bukunya The General Theory of Law and State mengilustrasikannya sebagai berikut. Dalam kehidupan bertetangga, kita seharusnya membantu tetangga ketika mereka butuh. Alasan di baliknya adalah karena kita harus berbuat baik terhadap sesama. “Berbuat baik terhadap sesama” ini menjadi norma yang memberikan legitimasi bagi norma di bawahnya yaitu “Membantu tetangga”. Norma “Berbuat baik terhadap sesama” ini pun masih dapat ditarik ke atas lagi menuju norma yang lebih tinggi dengan mempertanyakan alasan di balik keharusan “Berbuat baik terhadap sesama”. 

Ketika suatu norma sudah berhenti atau dengan kata lain tidak dapat ditarik ke atas lagi untuk mencari sumber legitimasinya, maka itulah yang disebut grundnorm atau norma dasar. Dalam contoh di atas, maka norma dasarnya dapat kita tarik benang merahnya berupa norma “Persaudaraan” yang kemudian melahirkan norma “Berbuat baik terhadap sesama”. Norma “Persaudaraan” ini menjadi grundnorm karena norma ini mendapatkan konsensus atau kesepakatan secara kolektif dan tidak diingkari eksistensinya.

Kembali kepada pembahasan mengenai tata hierarkis norma hukum, ilustrasi demikian dapat diterapkan dalam menjelaskan sumber legitimasi norma hukum dalam setiap tingkatannya. Dalam hal ini, undang-undang merupakan norma hukum yang memberikan legitimasi bagi norma hukum di bawahnya berupa aspek legalitas. Di samping itu, undang-undang sendiri mendapatkan sumber legitimasinya berupa konstitusionalitas dari undang-undang dasar yang menjadi grundnorm atau sumber hukum pertama dalam hierarki sistem hukum. Undang-undang dasar yang disebut juga konstitusi mendapatkan legitimasinya dari konsensus para pendiri bangsa dalam membentuk negara karena pada dasarnya konstitusi merupakan kesepakatan tertinggi sebagai perwujudan Teori Kontrak Sosial.

Penyesuaian Stufenbau Theorie di Indonesia

Stufenbau Theorie ini memegang peran penting dalam pembangunan hukum positif di banyak negara. Teori yang mengonstruksikan hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari tingkatan hierarkis ini diejawantahkan dalam sistem hukum di berbagai negara. Dalam konteks sistem hukum di Indonesia, Stufenbau Theorie diejawantahkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (termasuk perubahannya). Dalam dinamika sistem hukum di Indonesia, Stufenbau Theorie ini dimodifikasi sedemikian rupa, seperti terjadinya beberapa penyesuaian yang dilakukan agar relevan dengan atmosfer Indonesia.

Pertama, yaitu adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) yang menempati posisi antara Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dengan Undang-Undang. Tata hierarkis peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sebagai berikut:

  1. UUD 1945
  2. TAP MPR
  3. UU/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
  4. Peraturan Pemerintah (PP)
  5. Peraturan Presiden (Perpres)
  6. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi
  7. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota

Dikatakan terjadi penyesuaian karena kekuatan hukum mengikat dari TAP MPR ini berada dalam ranah yang tidak pasti. Jika UUD 1945 menjadi sumber legitimasi seluruh norma hukum di bawahnya berupa konstitusionalitas dan UU menjadi sumber legitimasi juga berupa legalitas, maka TAP MPR berada pada posisi apa? Kewenangan menyusun TAP MPR bahkan tidak akan ditemukan jika merujuk kepada UUD 1945 sebagai sumber hukum pertama. MPR hanya diatribusikan (diberikan) kewenangan konstitusional oleh UUD 1945 untuk meninjau TAP MPR dan TAP MPR Sementara (MPRS). Ini karena sebelum terjadinya reformasi dan amandemen UUD, MPR/S telah menyusun TAP MPR/S sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan.  Akan berbeda dengan TAP MPR/S ini jika kita melihat kewenangan pembentukan undang-undang dan perpu yang secara jelas disebutkan dalam UUD 1945. 

Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit mengenai kewenangan pembentukan TAP MPR/S, TAP MPR/S telah dikeluarkan sebelum reformasi sebanyak 139. Angka tersebut dapat dikategorikan ke dalam 6 bagian sebagaimana merujuk pada TAP MPR RI Nomor I/MPR/2003. Pembagian kategori tersebut yaitu:

  1. TAP MPR/S yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
  2. TAP MPR/S yang dinyatakan berlaku dengan ketentuan
  3. TAP MPR/S yang dinyatakan berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan hasil pemilihan umum (pemilu) 2004
  4. TAP MPR/S yang dinyatakan berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang
  5. TAP MPR/S yang dinyatakan berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR hasil pemilu 2004
  6. TAP MPR/S yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final, telah dicabut, atau telah selesai dilaksanakan

Jika ingin dikelompokkan, maka keenam kategori di atas dapat dibagi lagi menjadi tiga kategori. Pertama, tidak berlaku; kedua, berlaku dengan rentang waktu dan ketentuannya; ketiga, didiamkan saja. 

Yang perlu mendapatkan perhatian itu bukan pada kategorisasi TAP MPR/S tersebut, melainkan bagaimana posisinya dalam hierarki norma hukum di Indonesia.  Kembali ke pembahasan sebelumnya bahwa UUD 1945 secara jelas dan gamblang menjadi sumber hukum pertama dengan memberikan legitimasi berupa konstitusionalitas bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya. Sedangkan undang-undang memberikan legitimasi berupa legalitas bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya. Di samping itu, Stufenbau Theorie menyatakan bahwa norma hukum yang lebih rendah itu merupakan hasil turunan dari norma yang di atasnya bukan sekadar tidak terjadi pertentangan antara keduanya. 

TAP MPR/S berada di bawah UUD 1945 yang berarti bahwa UUD 1945 mengandung norma yang menjadikan TAP MPR/S itu ada. Jika tidak ditemukan pasal di UUD 1945 yang memberikan kewenangan pembentukan TAP MPR/S bahkan di UUD asli sekalipun, maka dari mana TAP MPR/S ini menjadi norma turunan? Selanjutnya bahwa undang-undang berada di bawah TAP MPR (tanpa S) yang berimplikasi juga bahwa TAP MPR akan menurunkan norma bagi undang-undang. Realitanya adalah bahwa kewenangan membentuk undang-undang diturunkan langsung dari UUD 1945 tanpa perlu adanya TAP MPR.

Teori Pengujian Norma Hukum sebagai Turunan dari Stufenbau Theorie

Realita tersebut juga berimplikasi pada pengujian norma. Di antara teori turunan dari Stufenbau Theorie adalah bahwasanya norma yang lebih rendah akan dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku manakala bertentangan dengan norma yang berada di atasnya. Alasan logis di balik teori turunan ini adalah bagaimana mungkin norma yang dilahirkan oleh norma di atasnya justru “menentang” norma yang “melahirkan” dirinya sendiri. Adanya pertentangan di antara dua norma tersebut mengacaukan legal order atau tata hukum yang sudah diatur sedemikian rupa dan karenanya norma tersebut dibatalkan.

Kembali pada pembahasan bahwa TAP MPR yang berada di atas undang-undang dan di bawah UUD 1945, maka seharusnya TAP MPR dapat diujikan kepada UUD 1945 dan menjadi batu uji bagi undang-undang. Posisi TAP MPR yang merupakan norma turunan dari UUD 1945, seharusnya tersedia mekanisme pengujian apakah TAP MPR (termasuk TAP MPRS) sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Secara mutantis mutandis, maka mekanisme pengujian undang-undang terhadap TAP MPR juga seharusnya tersedia. Namun dalam kenyataannya kedua mekanisme tersebut tidak tersedia.

Sistem hukum Indonesia hanya mengenal dua jenis pengujian norma hukum. Pertama, yaitu pengujian konstitusionalitas undang-undang dengan batu ujinya adalah UUD 1945. Kedua, yaitu pengujian legalitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dengan batu ujinya adalah undang-undang. Dari norma turunan UUD 1945, seakan-akan mekanisme pengujian langsung melompati ke undang-undang tanpa melalui TAP MPR. TAP MPR dengan demikian seoalah dianggap “tidak ada” dalam sistem pengujian karena tidak adanya mekanisme pengujian terhadap dan dengan TAP MPR.

Baca juga: Rehabilitasi Undang-Undang Komisi Yudisial, Open Legal Policy pada Putusan No. 005/PUU-IV/2006

Dugaan dari sudut pandang penulis adalah bahwasanya sumber legitimasi bagi TAP MPR adalah konvensi ketatanegaraan. Praktik yang dilakukan oleh lembaga negara secara berkelanjutan dan menjadi kebiasaan, maka dianggap sebagai sumber hukum yaitu sumber hukum tidak tertulis. Dalam praktik di Indonesia, MPR pernah menjadi lembaga tertinggi negara sehingga ketetapan yang dikeluarkan oleh MPR juga secara otomatis mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun pasca reformasi dan terjadi perombakan besar-besaran dalam sistem hukum Indonesia, maka MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan produk hukum yang bersifat pengaturan (regeling) tetapi hanya sebatas bersifat penetapan (beschikking).

Sumber Bacaan
  • Arif Wibowo, Kedudukan TAP MPR Pasca Penetapan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
  • Hans Kelsen, The General Theory of Law and State.
  • Jimly Asshiddiqie, Teori Hierarki Norma Hukum.
  • Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang Hukum.
  • Titik Triwulan Tutik, Analisis Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPR RI Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.