Rehabilitasi Undang-Undang Komisi Yudisial, Open Legal Policy pada Putusan No. 005/PUU-IV/2006

Penulis

Muhammad Haaziq Bujang Syarif

(contact: haaziqbujang@gmail.com)

Selayang Pandang Paham Konstitusionalisme

Sistem ketatanegaraan modern menganut paham konstitusionalisme sebagai paham resmi negara-negara di dunia. Paham ini menitikberatkan adanya supremasi konstitusi dalam penyelenggaraan negara, memiliki beberapa kemiripan dengan paham rule of law. Selain itu, paham ini berorientasi pada pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM yang dituangkan dalam naskah konstitusi, grundgesetz atau hukum dasar suatu negara.

Di antara implikasi yuridis dianutnya paham konstitusionalisme adalah diterapkannya sistem pembagian dan pemisahan kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen. Kekuasaan negara dibagi menjadi empat kekuasaan, yaitu : (i) eksekutif, (ii) legislatif, (iii) yudikatif, dan (iv) lembaga negara independen. Keempat kekuaaan negara tersebut mendapatkan wewenang dan kedudukannya masing-masing yang diatur dalam konstitusi.

Terdapat asas check and balances yang terjadi antarlembaga negara. Asas ini berorientasi pada pencegahan terjadinya abusing of power yang sangat berpotensi lahir dari kekuasaan yang absolut. Asas ini berfungsi sebagai bentuk harmonisasi asas separation and division of power agar tidak terjadi bias kekuasaan walaupun kekuasaan itu telah disebar dan dipisah satu sama lain. Asas inilah yang menuntut adanya mekanisme pengawasan suatu lembaga yang dilakukan oleh lembaga lainnya.

Lembaga Yudikatif dan Komisi Yudisial

Lembaga yudikatif sebagaimana yang diatur dalam Bab IX UUD 1945, terbagi menjadi tiga kekuasaan kehakiman. Dua di antaranya bersifat sebagai code of law, penegak hukum, yaitu  Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan satunya lagi berstatus sebagai code of ethic, penegak etik, yaitu Komisi Yudisial (KY). Ketiga lembaga ini memiliki kedudukan dan wewenangnya masing-masing sebagaimana yang diatur oleh ayat-ayat konstitusi.

Tulisan ini akan menyorot salah satu lembaga yang termasuk ke dalam rumpun yudikatif, yaitu Komisi Yudisial. Salah satu alasannya adalah peran krusial dan sentral yang dipegang oleh lembaga ini. Lembaga ini dibentuk demi melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan etik dua lembaga kehakiman lainnya. Namun, sayang beribu sayang, wewenang lembaga ini harus rela untuk dipangkas dengan putusan MK. Putusan yang bernomor 005/PUU-IV/2006 itu menegatifkan sebagian norma UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Putusan ini melahirkan sebuah pertanyaan besar karena putusan a quo mengusik UU yang mendapatkan atribusi langsung dari konstitusi, yaitu  Pasal 24 B ayat (4) UUD 1945. Menurut doktrin ketatanegaraan, UU yang mendapatkan atribusi langsung dari konstitusi termasuk ke dalam ranah UU yang bercorak open legal policy. Konsekuensi yuridisnya adalah UU open legal policy tersebut tidak boleh dilakukan judicial review dan hanya boleh dilakukan legislative review, yaitu pengujian yang dilakukan oleh lembaga legislatif.

Legal gap yang terjadi antara das sollen dan das sein ini akan menjadi sorotan tema dalam tulisan ini. Selain itu, implikasi putusan a quo yang mencabut beberapa wewenang KY juga akan menjadi topik pembahasan. Hasil studi literatur yang digunakan akan mencari jawaban yang berorientasi pada saran mengembalikan, rehabilitasi, UU KY sebagaimana mestinya sebelum lahirnya putusan MK tersebut.

Analisis Kedudukan Komisi Yudisial (KY)                                          

“Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.”

Untaian Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 di atas menjelaskan secara general status dan wewenang Komisi Yudisial atau KY yang termasuk ke dalam rumpun kekuasaan yudikatif, dengan beberapa ciri yang membedakannya dengan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman lainnya. Postulat ini ditemukan dengan melihat pasal konstitusi yang memberikan atribusi kepada lembaga ini masuk ke dalam Bab IX, Kekuasaan Kehakiman. Dalam Bab IX itu terdapat pula pasal konstitusi yang memberikan atribusi kepada Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yudikatif, pemegang kekuasaan kehakiman.

Di sisi lain, KY merupakan  lembaga yang berstatus sebagai auxiliary state organ yaitu lembaga independen yang menunjang penyelenggaraan negara di luar kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif . KY termasuk ke dalam auxiliary state organ karena ia tidak membawahi wewenang salah satu dari tiga kekuasaan tersebut secara terpisah. Distingsi ini dapat terlihat dengan jelas dengan statusnya sebagai quasi judicial dan berfungsi sebagai code of ethic, penegak etik, yang tidak sama dengan lembaga kehakiman lainnya yaitu MA dan MK yang berfungsi sebagai code of law, penegak hukum.

Fungsi KY sebagai code of ethic sesuai amanat konstitusi menuntut setidaknya tiga hal sebagaimana yang dijelaskan oleh Benny K. Harman (1997 : 243-244), yaitu :

  • Dibentuknya UU khusus yang menetapkan lembaga KY beserta susunan dan kedudukannya di luar atap lembaga kehakiman, baik MA maupun MK,
  • dibentuknya UU yang mengatur syarat pengangkatan dan pemberhentian hakim sebagai tindak lanjut atribusi wewenang KY, dan
  •  dilarangnya pembatasan independensi kekuasaan kehakiman oleh baik langsung maupun tidak langsung oleh law maker.[1]

KY diharapkan mampu memulihkan public trust terhadap lembaga yudikatif yang mengalami degradasi integritas dan independensi. Degradasi independensi disebabkan oleh pengaruh politik yang seharusnya tidak menjadi duri dalam daging bagi lembaga penegak hukum. Political will yang represif dapat menodai kesucian lembaga yang menjadi tumpuan akhir para pencari keadilan. Political will ini dapat merasuk ke tubuh lembaga yudikatif melalui prosedur pengangkatan hakim itu sendiri dan melalui ancaman potensial yang memengaruhi netralitas hakim.

Selain pengaruh politik yang represif, disintegritas hakim juga menjadi momok bagi tegaknya keadilan dan berbuntut judicial corruption. Dengan melihat kemungkinan terburuk yang telah, sedang, dan akan terjadi pada lembaga yudikatif inilah dapat terlihat jelas urgensi lembaga independen yang melakukan supervisi dan kontrol terhadap lembaga yudikatif ini. Tanpa adanya lembaga independen dari kekuatan politik dan/atau  kekuatan mana pun yang melakukan kontrol dan supervise, maka integritas dan independensi kekuasaan yudikatif hanya akan menjadi bualan belaka.

Untuk memberikan garansi wewenang KY sebagai code of ethic ini yang diamanatkan langsung oleh konstitusi, maka dibentuklah  UU khusus yang mengatur hal ini, yaitu UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. UU ini sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh  Pasal 24 B ayat (4) UUD 1945. Inti ayat konstitusi tersebut adalah perintah terhadap lembaga legislatif untuk mengatur lebih lanjut mengenai lembaga KY ini dalam UU khusus. Hal ini dapat dilihat pada amar konsideran pembentukan UU a quo yang mencantumkan ayat konstitusi a quo dan ayat konstitusi lainnya.

Analisis Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006

Fakta empiris menunjukkan bahwa UU KY pernah dilakukan judicial review oleh MK dalam Putusan No. 005/PUU-IV/2006. Inti petitum yang disampaikan oleh Para Pemohon, 31 Hakim Agung, adalah wewenang KY mengawasi hakim agung sebagaimana pada UU a quo bertentangan dengan Pasal 24 B UUD 1945 dan mengusik hak konstitusional hakim agung. Para Pemohon mendalilkan bahwa kedudukan KY dan MA itu setara sehingga tidak membuka pintu bagi KY untuk melakukan pengawasan terhadap MA, begitu juga MK.

MK menggunakan tafsir historis dan sistematis dengan mencari original intent perumusan pasal a quo dan menarik benang konklusi bahwa hakim MK tidak termasuk objek pengawasan KY. Hal ini dapat dilihat pada amar konklusi, MK menyatakan bahwa KY tidak berwenang melakukan pengawasan etik terhadap MK. Pengawasan etik terhadap MK dilakukan oleh Majelis Kehormatan yang tersendiri sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU MK sebagai pelaksanaan Pasal 24 C ayat (6) UUD 1945.

Pada amar putusan tersebut, MK mengabulkan sebagian petitum Para Pemohon dan membatalkan beberapa norma dalam UU KY. Norma UU a quo yang dibatalkan adalah setiap pasal dan/atau ayat sepanjang mengenai Mahkamah Konstitusi. Implikasi yuridis putusan tersebut adalah KY tidak dapat melakukan pengawasan internal para hakim di MK dan hanya terbatas pada pengawasan hakim MA dan lingkup peradilan di bawahnya.

Studi Literatur Putusan Bercorak Open Legal Policy

“Apa yang diserahkan secara terbuka oleh UUD untuk diatur oleh undang-undang tidak bisa dibatalkan oleh MK kecuali jelas-jelas melanggar UUD 1945.”

Penggalan untaian kalimat di atas yang disampaikan oleh Moh. Mahfud MD dalam makalah “Rambu Pembatas Kewenangan Mahkamah Konstitusi”[2] menyoroti lampu merah batasan MK sebagai guardian of constitution, yaitu putusan yang menjamah ranah UU berstatus “Open Legal Policy” atau Kebijakan Hukum Terbuka (KHT). MK tidak boleh menegatifkan UU yang didelegasikan pembuatannya oleh UUD kepada lembaga legislatif. Hal ini disebabkan adanya mekanisme division of power yang dianut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai konsekuensi negara hukum.

Lebih lanjut lagi, ia menegaskan dalam bukunya, Perdebatan Hukum Tata Negara (2007 : 99) sebagaimana yang dikutip oleh Wibowo[3] bahwa MK tidak boleh melakukan judicial review terhadap UU yang mendapatkan atribusi konstitusi dalam pembentukan dan/atau pengaturan substansi materinya. Jika pengujian tersebut dilakukan, maka MK telah memasuki ranah legislatif. Salah satu definisi UU yang bercorak open legal policy adalah UU tersebut menetapkan regulasi tambahan ataupun muatan materi baru yang tidak diatur dalam konstitusi sebagai konsekuensi normatif atribusi konstitusi itu sendiri. [4]

Di sisi lain, KHT dapat didefinisikan sebagai UU yang dibentuk sebagai pelaksana perintah UUD dan UU yang dibuat sebagai bentuk political will yang tidak diperintahkan oleh UUD untuk membentuknya (Wibowo, 2019). Jika diperhatikan, akan tampak jelas bahwa UU No. 22 Tahun 2004 merupakan UU yang melaksanakan perintah konstitusi. UU  a quo dibentuk berdasarkan perintah pada Pasal 24 B ayat (4), terlihat pada frasa “diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian, dapat ditarik benang konklusi bahwa  UU a quo termasuk ke dalam bentuk KHT.

Konklusi

Dengan keluarnya putusan MK No. 005/PUU-IV/2006, maka MK telah melewati garis wewenangnya dan memasuki ranah wewenang legislatif. Faktor utamanya adalah yang berwenang mengubah norma UU yang termasuk dalam ranah KHT hanyalah lembaga legislatif. UU tipe ini tidak membuka peluang bagi MK untuk mengintervensi kecuali secara nyata bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan pada pemaparan di atas. Di sisi lain, putusan ini ternyata melahirkan permasalahan kontroversial. Terpangkasnya beberapa wewenang KY menjadi faktor hilangnya mekanisme pengawasan terhadap MK. Pasca putusan a quo, pengawasan terhadap MK hanya dapat dilakukan oleh Majelis Kehormatan sehingga perlindungan ganda terhadap guardian of constitution ini tidak terlaksana. Suhartoyo, Ketua MK periode 2023-2028, mengatakan bahwa pengawasan KY terhadap MK dirasa perlu karena makin banyak yang mengawasi makin bagus.[5] Pernyataan ini diperkuat dengan terjadinya beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh hakim MK itu sendiri sehingga rehabilitasi UU KY sebagaimana mana mestinya sebelum putusan a quo dirasa perlu.


[1] Zainal Arifin Mochtar, Lembaga Negara Independen : Dinamika Perkembangan dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi (Jakarta Pers : Jakarta, 2016), halaman 104

[2] Mardian Wibowo, Kebijakan Hukum Terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi : Konsep dan Kajian dalam Pembatasan Kebebasan Pembentuk Undang-Undang. (Rajawali Pers : Depok, 2019), halaman 103

[3] Mardian Wibowo, Kebijakan Hukum Terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi : Konsep dan Kajian dalam Pembatasan Kebebasan Pembentuk Undang-Undang. (Rajawali Pers : Depok, 2019), halaman 3

[4] Mardian Wibowo, Kebijakan Hukum Terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi : Konsep dan Kajian dalam Pembatasan Kebebasan Pembentuk Undang-Undang. (Rajawali Pers : Depok, 2019), halaman 130

[5] Abdul Manan, Ketua Mahkamah Konstitusi : Makin Banyak yang Mengawasi Hakim Akan Makin Baik, (Majalah Tempo : 2024)

Admin
Admin

Smart Lawyer lebih dari sekedar blog atau situs yang menyediakan jutaan informasi hukum secara gratis. Smart Lawyer punya tujuan, harapan, dan impian, sama seperti Anda. Smart Lawyer ingin memberikan solusi yang lebih baik untuk setiap orang yang mencari informasi hukum.

Articles: 1643