Aturan yang Melarang Adanya Upaya Hukum Terhadap Putusan PKPU Dinyatakan Inkonstitusionalitas Bersyarat Oleh MK

Pada 15 Desember 2021, aturan yang melarang adanya upaya hukum terhadap putusan PKPU dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konsititusi RI melalui Putusan Nomor 23/PUU-XIX/2021. Putusan MK tersebut didasari adanya permohonan uji materil 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU, yang dimohonkan oleh PT Sarana Yeoman Sembada (selanjutnya disebut Pemohon). Untuk memahami lebih lanjut apa yang menjadi pokok masalah dan pertimbangan MK dalam Putusan Nomor 23/PUU-XIX/2021, maka penulis uraikan sebagai berikut:

Pokok Perkara

Jauh sebelum permohonan uji materil ini oleh Pemohon, Pemohon telah dinyatakan dalam PKPU sementara dan oleh karena itu dengan sangat terpaksa Pemohon mengajukan proposal perdamaian, akan tetapi ditolak oleh pemohon PKPU dan kreditor lainnya, sehingga mengakibatkan Pemohon berstatus pailit berdasarkan Putusan Nomor 42/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.NIAGA.Medan, bertanggal 15 Februari 2021.

Menurut Pemohon mekanisme proposal perdamaian sama sekali bukan digunakan untuk mencari solusi tetapi justru legitimasi agar dipailitkan, sementara itu tidak ada upaya hukum apapun karena adanya Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1), dan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004. Pasal tersebut menyatakan sebagai beriakut:

  • Pasal 235 Ayat (1):
    “Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun”.
  • Pasal 293 Ayat (1):
    “Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”

Keberlakuan pasal-pasal tersebut mengakibatkan tidak ada upaya hukum apapun bagi Pemohon untuk memperoleh keadilan, padahal dengan adanya ketidaktelitian Majelis Hakim dalam memeriksa, mengadili serta memutus suatu perkara mengakibatkan Pemohon merasa dirugikan dan merasa hak hukumnya telah dirampas oleh ketentuan pasal tersebut. Pemohon mendapati adanya penerapan hukum yang keliru dan mencederai rasa keadilan jika tidak diberikan kesempatan upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali, karena sebelum Pemohon dinyatakan dalam PKPU melalui putusan nomor 42/Pdt.Sus PKPU/2020/PN.NIAGA.Medan, Pemohon telah dimohonkan PKPU sebanyak 3 kali dengan pemohon PKPU dan alat bukti yang sama, namun kesemuanya di tolak oleh Hakim dan anehnya permohonan PKPU yang keemat kabulkan oleh Majelis Hakim.

Ketiadaan akses keadilan untuk melakukan upaya hukum, menurut Pemohon telah menyebabkan kerugian hak konstitusionalnya, khususnya hak untuk mendapatkan kepastian, perlakuan yang sama dan rasa keadilan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi

Kemungkinan Kesalahan

Dalam pertimbangannya MK menilai bahwa sesungguhnya yang paling mengetahui secara konkret berkenaan dengan kemampuan keuangan atau finansial adalah debitor dan agar putusan pengadilan atas permohonan PKPU yang diajukan kreditor dapat dilakukan koreksi sebagai bagian dari mekanisme kontrol atas putusan pengadilan pada tingkat di bawah.

Terlebih, terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian yang diajukan oleh debitor ditolak oleh kreditor, hal demikian tidak tertutup kemungkinan terdapat adanya “sengketa” kepentingan para pihak yang bernuansa contentiosa dan bahkan terhadap putusan hakim pada tingkat di bawah dapat berpotensi adanya keberpihakan atau setidak-tidaknya terdapat kemungkinan adanya kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim, maka Mahkamah berpendapat terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian dari debitor ditolak oleh kreditor diperlukan adanya upaya hukum.

Esensi Permohonan PKPU

Menurut MK esensi permohonan PKPU adalah perkara yang berdimensi diperlukan adanya kepastian hukum yang cepat dalam lapangan usaha dan terkait dengan stabilitas perekonomian suatu negara, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU 37/2004 yang antara lain menjelaskan, “Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif, sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya.”

Oleh karena itu, berkenaan dengan upaya hukum tersebut cukup dibuka untuk satu kesempatan (satu tingkat) dan terkait dengan upaya hukum dengan alasan karena adanya kemungkinan kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim di tingkat bawah, Mahkamah berkesimpulan jenis upaya hukum yang tepat adalah kasasi (tanpa dibuka hak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali). Sementara itu, untuk permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian dari debitor diterima oleh kreditor maka hal tersebut tidak ada relevansinya lagi untuk dilakukan upaya hukum.

Perubahan Pendirian

Penting untuk diketahui, sebelum adanya putusan nomor 23/PUU-XIX/2021 ini, MK telah meriksa dan memutus uji materil yang sama, yakni pada perkara nomor 17/PUU-XVIII/2020 yang dalam amar putusannya pada pokoknya menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 adalah konstitusional.

Namun, setelah Mahkamah mencermati permohonan maupun amar putusan dalam Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 tersebut, telah ternyata isu pokok yang dijadikan alasan dalam permohonannya tidak terkait dengan “agar dapat dilakukannya upaya hukum terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor”. Dengan demikian, berkaitan dengan putusan dalam permohonan a quo Mahkamah berpendapat dimungkinkan adanya perubahan pendirian oleh Mahkamah yang disebabkan karena adanya persoalan fundamental yang berkenaan dengan upaya hukum terhadap permohonan PKPU yang diajukan kreditor sebagaimana mengemuka dalam pemeriksaan persidangan perkara a quo. Khususnya, keterangan dari Pihak Terkait baik Mahkamah Agung maupun IKAPI. Oleh karena itu, perubahan pendirian demikian adalah hal yang dapat dibenarkan dan konstitusional sepanjang mempunyai ratio legis yang dapat dipertanggungjawabkan.

Baca juga:
Kedudukan Upah Pekerja, Jika Perusahaan Pailit

Amar Putusan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi pada amar putusan nomor 23/PUU-XIX/2021:

  • Menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor”.
Admin
Admin

Smart Lawyer lebih dari sekedar blog atau situs yang menyediakan jutaan informasi hukum secara gratis. Smart Lawyer punya tujuan, harapan, dan impian, sama seperti Anda. Smart Lawyer ingin memberikan solusi yang lebih baik untuk setiap orang yang mencari informasi hukum.

Articles: 1643