
Sebelumnya, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan presidential threshold. Menurut Prof. Saldi Isra dalam bukunya Pemilu dan Pemulihan Daulat Rakyat (hal. 197), secara sederhana, ambang batas atau threshold adalah batas minimal dukungan atau suara yang harus dimiliki untuk memperoleh hak tertentu dalam pemilu. Dari segi fungsi dan kegunaannya, penerapan threshold bertujuan untuk mengurangi jumlah peserta pemilu, jumlah partai politik yang duduk di lembaga perwakilan, dan jumlah partai politik/kelompok partai politik dalam pencalonan presiden dan wakil presiden.
Pasangan calon sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang- kurangnya 15% (lima belas persen) jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.” Kemudian, berdasarkan sejarah bahwa pada pemilu tahun 2004, 2009, dan 2014, presidential threshold dirumuskan berdasarkan perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada hasil legislatif sebelumnya. Hal ini karena pemilu legislatif diselenggarakan lebih dulu sebelum pemilu presiden. Berbeda dengan ketentuan UU pemilu, karena pelaksanaan pemilu presiden dan legislatif dilaksanakan serentak pada April 2019, sehingga ambang batas yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Ketentuan tentang besaran perolehan jumlah kursi maupun suara sah nasional yang menjadi ambang batas pemilu presiden selalu berubah setiap kali pelaksanaan pemilu sehingga fenomena seperti itu sarat dimopoli oleh elit politik untuk mengatur peta politik. Pada tahun 2019, ketentuan presidential threshold diatur dalam Pasal 222 pemilu sebagai berikut: “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Tentu, berikut adalah kalimat yang telah diperbaiki:
“Ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden pertama kali dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (4) UU 23/2003 sebagai berikut:
‘Pasangan calon sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.’
Kemudian, berdasarkan sejarah, pada pemilu tahun 2004, 2009, dan 2014, presidential threshold dirumuskan berdasarkan perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada hasil legislatif sebelumnya. Hal ini karena pemilu legislatif diselenggarakan lebih dulu sebelum pemilu presiden. Berbeda dengan ketentuan UU pemilu, karena pelaksanaan pemilu presiden dan legislatif dilaksanakan serentak pada April 2019, sehingga ambang batas yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Ketentuan tentang besaran perolehan jumlah kursi maupun suara sah nasional yang menjadi ambang batas pemilu presiden selalu berubah setiap kali pelaksanaan pemilu sehingga fenomena seperti itu sarat dimonopoli oleh elit politik untuk mengatur peta politik. Pada tahun 2019, ketentuan presidential threshold diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu sebagai berikut:
‘Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.’
Baca juga:
Melihat Perbedaan Pasal Penghinaan Lembaga Negara dalam KUHP Lama dan Baru
Pada dasarnya, presidential threshold merupakan ketentuan tambahan yang diamanatkan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Meskipun demikian, presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang perumusannya merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang untuk mengambil kebijakan tersebut. Lex superior derogat legi inferiori (peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi). Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 62/PUU-XXII/2024, ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun tetap disayangkan aturan oligarki ini sudah berjalan selama 7 tahun. Dengan demikian, setiap partai politik/gabungan partai politik memiliki hak untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden dalam pemilu. Adapun implikasi yang akan terjadi menurut penulis dapat dijabarkan melalui beberapa poin berikut:
1. Memulihkan Hak-Hak Konstitutional Warga Negara
“Sebagaimana diketahui bersama, secara tekstual UUD 1945 tidak mengatur secara khusus tentang presidential threshold (PT). Pengaturan tentang hal ini murni lahir dari proses politik hukum yang berlangsung di parlemen, di mana dominasi partai politik pemenang pemilu sangat diuntungkan dengan presidential threshold. Oleh karena itu, dengan keluarnya putusan MK ini memberikan peluang bagi partai politik baik besar maupun kecil untuk berpartisipasi dalam pemilu.
2. Memberikan Banyak Pilihan Bagi Warga Negara Untuk Memilih Pemimpinnya
Dengan penghapusan presidential threshold (PT) telah memberikan peluang bagi setiap warga negara untuk mencalonkan diri menjadi presiden melalui partai-partai tertentu. Dengan kata lain, setiap partai politik boleh mencalonkan presidennya. Hal ini sangat menguntungkan rakyat karena nantinya akan muncul calon presiden (capres) baru yang tidak didominasi oleh orang-orang lama. Semakin banyaknya calon akan membuat rakyat semakin selektif dalam memilih pemimpinnya. Dengan demikian, rekam jejak dan kapabilitas capres akan sangat berpengaruh. Salah satu faktor rendahnya partisipasi masyarakat dalam memilih adalah karena kurangnya pilihan calon presiden yang menarik di mata masyarakat. Oleh karena itu, dengan penghapusan ambang batas pencalonan presidential threshold ini, partisipasi politik masyarakat akan meningkat dalam demokrasi yang lebih efektif, bermoral, dan sarat akan nilai keadilan.
3. Memperendah Potensi Konflik Dalam Pemilu
“Sebagaimana layaknya pemilu di negara-negara berkembang, intensitas konflik selama berlangsungnya pemilu tidak dapat dihindari. Hal yang sering terjadi adalah terpolarisasinya beberapa kelompok besar masyarakat. Penghapusan presidential threshold (PT) telah memberikan saluran aspirasi politik kepada partai-partai kecil untuk independen dalam mewujudkan tujuan bangsa dan negara dengan tetap memegang teguh ideologi partainya dan tidak mudah diintervensi oleh partai-partai besar demi memperoleh keuntungan kursi kekuasaan.
4. Terwujudnya Demokrasi yang Jujur, Adil, dan Transparan
“Sebagaimana diketahui, selama masih adanya presidential threshold, partai yang tidak memperoleh kursi 20% di DPR atau 25% suara sah nasional tidak dapat mencalonkan kader terbaiknya sebagai calon presiden dan wakil presiden. Namun, setiap partai politik tetap harus berlomba masuk ke dalam lingkup kekuasaan guna mewujudkan tujuan partai sekaligus menghidupi partainya. Dengan terpaksa atau secara sukarela, mereka mencari partai lain untuk berkoalisi. Tentunya, koalisi tersebut dibangun atas dasar keuntungan bersama yang sarat akan politik transaksional yang sangat merugikan rakyat. Sebab, ketika koalisi menang, kebijakan-kebijakan yang dibuat acap kali tidak mencerminkan kemaslahatan rakyat, melainkan kepentingan elit politik baik untuk melanggengkan kekuasaan maupun meraup keuntungan pribadi.
5. Mempersempit Gerak Oligarki dalam Memonopoli Pemilu
Salus populi suprema lex esto (kesejahteraan/keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi). Dengan penghapusan presidential threshold (PT), setiap partai politik mendapatkan kembali hak konstitusionalnya untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden dengan tetap memegang prinsip-prinsip etik dan moral. Dengan demikian, fungsi partai politik sebagai penyalur aspirasi rakyat dapat terjalankan dengan baik dan tidak mudah diintervensi oleh oligarki dan elit politik yang hanya mementingkan kepentingan pribadi. Sebagaimana PT dibuat oleh elit politik agar memudahkan presiden menjalankan tugas pemerintahan karena memiliki koleganya di parlemen yang berasal dari partai yang sama, tetapi fakta empiris yang terjadi adalah PT dimanfaatkan untuk membatasi calon presiden dan wakil presiden saat pemilu. Akibatnya, tokoh-tokoh yang memiliki kapabilitas dan kepemimpinan yang baik tidak akan bisa ikut kompetisi pemilu jika elit politik yang menguasai parlemen tidak memberikan restu.
6. Mengembalikan Indonesia Sebagai Negara Hukum (Rechstaat) Bukan Negara Kekuasaan (Machstaat)
“Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 jelas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Putusan MK yang menghapus presidential threshold berimplikasi pada kembalinya sistem demokrasi sesuai UUD NRI 1945, di mana partai politik memiliki hak untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden sendiri tanpa harus memiliki 20% kursi di DPR. Sebagaimana pada hakikatnya, presidential threshold dimanfaatkan oleh elit partai politik besar untuk tetap berkuasa dan tidak membiarkan partai kecil memasuki arena politik pemilu.
Terakhir, dengan penghapusan presidential threshold 20%, Indonesia akan memasuki fase baru demokrasi yang lebih konstitusional, terbuka, adil, dan bermoral. Sebab, setiap partai politik berpeluang memasuki arena pertarungan pemilihan presiden dan wakil presiden dengan tetap berpegang teguh pada ideologi partainya masing-masing.
