Tsk Istimewa & Ketua Pemberantas Korupsi Mengkorup Hasil Korupsi

Bila kurang konsenstrasi dengan judul diatas tampak seperti ada typo atau salah dalam pengetikan, tapi sebenarnya tidak karena pada November ini genap ada dua pejabat Negara yang ditetapkan Tsk (Tersangka), satu oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan satunya lagi oleh Kepolisian. Kedua orang itu adalah orang yang cukup terkenal pada posisinya dibidang hukum yakni Wamenkumham dan Ketua KPK. Dari penetapan kedua Tsk itu ada yang menarik perhatian masyarakat yang awam dengan hukum seperti kasus Wamenkumham.

Keistimewaan Wamenkumham

Pada saat Wamenkumham sudah berstatus sebagai Tsk, Wamenkumham masih ikut rapat dengan Anggota DPR Komisi III. Sebagian orang banyak yang bertanya-tanya kok bisa seseorang yang sudah ditetapkan secara resmi oleh lembaga KPK sebagai tersangka atas kasus suap dan gratifikasi masih bisa bebas secara terang-terangan muncul dihadapan para wakil rakyat di Senayan. Yang mengejutkannya lagi ia muncul dihadapan para wakil rakyat. Bukankah perilaku tersebut semakin menonjolkan bahwa hukum di Negara ini bisa dikangkangi? Bukankah perilaku tersebut memberikan sinyal bahwa hukum memang tidak memiliki fungsi sema sekali? Apa yang dilakukan oleh seorang Wamenkumham a quo sama sekali kontradiktif dengan jabatan dan keilmuannya apalagi ia merupakan seorang akademisi papan atas, profesor/guru besar hukum pidana. Benar memang bahwa jika seseorang telah menggapai kekuasaan, terbesit dalam otak yang pasti ada keinginan untuk berbuat kejahatan sebagai mana postulat in maxima potentia minima licentia yang berarti dimana ada kekuasaan, disitu selalu ada keinginan untuk melakukan kejahatan.

Dari sekian banyaknya anggota DPR yang hadir pada saat RDP dengan Kemenkumham hanya ada satu orang anggota DPR yang menggunakan fungsinya sebagai pengawas pemerintahan, sisanya saya rasa tidak tahu apa tupoksi fundamental DPR RI. Anggota DPR itu menegur keras hingga memerintahkan Wamenkumham a quo untuk keluar dari ruang rapat. Alih-alih memerintahkan untuk keluar tetapi sungguh anehnya pimpinan rapat Komisi III justru membelanya dan mengatakan ini tidak ada relevansinya dengan rapat pada hari itu. Apakah tupoksi DPR sebagai pengawas pemerintah berubah menjadi pengawal pemerintah?

Sebagaimana diketahui bahwa anggota DPR memiliki tiga fungsi, yang pertama menentukan anggaran, kedua membentuk peraturan perundang-undangan dan yang ketiga mengawasi jalannya pemerintahan. Namun sayangnya salah satu dari ketiga fungsi tersebut tidak semuanya dipakai oleh para anggota DPR. Padahal semangat reformasi setelah runtuhnya rezim orde baru adalah karena kekuasaan eksekutif yang sangat dominan atau biasa disebut executive heavy sehingga konstitusi dilakukan amandemen sebanyak empat kali hingga sampai tahun 2002 dengan gagasan untuk setiap lembaga Negara harus saling mengimbangi satu sama lain dengan prinsip checks and balances agar kekuasaan pemerintah tidak lagi sekuat pada zaman orde baru.

Wakil Menteri Kumham merupakan orang nomor dua dalam kementerian a quo, jika seorang yang sudah berstatus sebagai Tsk berani masuk dan tampil dihadapan para wakil rakyat maka sudah seharusnya para Anggota DPR tersebut bersikap keras mengapa bisa ada seseorang yang berstatus sebagai tsk korupsi namun bisa ikut bagian dalam rapat dan tidak segera ditangkap oleh penyidik KPK. Atas dasar inilah penulis menyebutnya sebagai Tsk Istimewa.

Pasal 17 KUHAP menegaskan perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, atau seiring dengan perkembangan waktu yang pernah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan  Nomor 21/PUU-XII/2014 bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan minimal dua alat bukti. Selaras dengan Pasal 183 KUHAP yang juga menyatakan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Itu artinya tidak ada lagi alasan untuk tidak menahan seseorang yang sudah ditetapkan Tsk oleh KPK.

Hukum sering dijadikan sebagai alat politik atau biasa disebut sebagai politisasi hukum. Politisasi hukum yang dipraktekan secara terang-terangan ini sangat merendahkan marwah dari esensi hukum itu sendiri, yang tadinya kita paham bahwa hukum tidak mengenal siapapun dan siapapun yang bersalah wajib dihukum tetapi kadangkala hukum bisa dikendalikan atau dijinakkan oleh politik. Ini perbuatan yang tidak baik, apalagi ini dilakukan oleh orang-orang yang memiliki posisi dan jabatan yang strategis dipemerintahan.

Secara garis besar hukum berfungsi untuk menjinakkan kekuasaan sekaligus alat untuk mengatur kekuasaan. Ada asas yang menyebut potentia debet sequi justitiam, non antecedere yang memiliki makna bahwa kekuasaan mengikuti hukum dan bukan sebaliknya. Setiap tindakan penyelenggara Negara harus berpijak pada asas legalitas. Ada dua pertanyaan, pertama apakah dengan tidak ditahannya seorang Wamenkumham, KPK bisa disebut sebagai lembaga yang lemah karena ketidak mampuan untuk menangkap seseorang? Yang kedua apakah benar KPK telah dipolitisasi oleh oknum mafia hukum baik secara internal atau external? Dari pertanyaan a quo saya rasa KPK bukanlah suatu lembaga yang lemah tetapi hanya saja KPK diduga telah dijadikan alat sebagai politisasi hukum. Secara legalitas KPK tentu mempunyai kewenangan dan secara formil KPK sudah mengantongi dua alat bukti.

Bagaimana caranya untuk meyakinkan masyarakat untuk tetap taat pada hukum sedangkan Wakil Menteri dibidang hukumnya saja diduga tidak mentaati hukum, dan bagaimana pula caranya untuk meyakinkan para pegawai ASN atau para pekerja yang dipekerjakan oleh pemerintah untuk tidak berbuat korupsi sedangkan ketua lembaga anti korupsinya diduga melakukan pemerasan, suap hingga gratifikasi kepada tersangka korupsi. Kondisi negara yang terjadi pada saat ini sangat mengkhawatirkan, Negara bisa saja bubar dan sulit berkembang untuk menjadi Negara yang maju bila korupsi terus terjadi. Bagaimana investor asing yang ingin menanamkan modalnya untuk dikelola di Negara ini tetapi penegakan hukumnya saja tidak memiliki kepastian dan keadilan. Apakah sebuah Negara bisa dipercaya baik dari dalam masyarakatnya sendiri ataupun dari luar yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian. Keadaan ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi dimana politisasi hukum sering terjadi, dipertontonkan secara telanjang didepan para wakil rakyat sendiri.

Ini juga sekaligus menegaskan bahwa lemahnya fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR dan secara kuantitatif memang dukungan partai politik pada pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi saat ini yang komposisi opsisinya hampir tidak ada sehingga berimplikasi terhadap lemahnya ketajaman pengawasan seorang anggota DPR terhadap mengawasi pemerintahan yang sedang berjalan.

Ketua Pemberantas Korupsi, Mengkorup Hasil Korupsi Koruptor Yang Lainnya

Perkara yang lebih memalukan terjadi pada ketua lembaga anti rasuah, menjadi Tsk dalam kasus pemerasan yang dilakukannya terhadap Menteri Pertanian. Saling pasang perangkap terjadi ditahun politik seperti yang sempat hangat beberapa bulan lalu pembicaraan soal hukum dijadikan alat untuk merangkul teman koalisi dan memukul yang coba-coba beroposisi. Menteri Pertanian tampaknya sedikit lebih cerdas, negosiasi transaksi haram dilakukan dengan orang yang bertugas sebagai pemberantas korupsi, negosiasi itu dilakukan oleh ketuanya pula sehingga saling sandra dan keduanya mempunyai senjata untuk saling serang. Belum lagi soal komisioner yang menyatakan secara terang-terangan merasa tidak malu dengan apa yang terjadi pada pimpinan ketuanya.

Apakah hukuman yang dijatuhkan oleh seorang ketua lembaga anti rasuah ini nantinya akan sepadan dengan jabatan dan tindak pidana kejahatan yang dilakukannya? Esensinya orang yang melakukan tindak pidana padahal dia merupakan orang yang berada didalam untuk membertantas tindak pidana tersebut maka seharusnya alasan pemberatan hukuman layak dijatuhkan. Berdasarkan Pasal 52 KUHP menyatakan bahwa bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga. Terlebih lagi bilamana yang korupsi adalah ketua lembaga anti rasuah maka sudah seharusnya dan layak untuk mendapatkan pemberatan pidana yang dijatuhkan kepadanya.

Kemungkinan untuk dipidana dengan penjara seumur hidup semakin terbuka karena pada Pasal 12 UU 20/2001 dipidana dengan pidana penjara seumur hidup, paling lama dua puluh tahun, khususnya huruf e menyatakan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Menurut pernyataan Profesor Anti Korupsi di Malaysia yang bernama Al-Attas kira-kira pada tahun 1970an mengatakan bahwa Indonesia itu tingkat korupsinya sudah sampai pada stadium ke-tiga. Apa indikasi jikalau suatu Negara dianggap sudah memasuki level korup pada stadium tiga? Indikasinya adalah jika seorang tersangka korupsi, hasil dari korupsi tersebut dikorup lagi oleh koruptor yang lainnya, saling korupsi. Dalam sebuah penyakit, kalau suatu penyakit sudah memasuki pada tahap stadium empat maka akan menyebabkan kematian atau amputasi. Kemudian jika dianalogikan pada sebuah Negara, kalau sampai tingkat korupsi berada pada level stadium ke-empat maka kemungkinan prediksi Negara bisa bubar.

Persis terjadi seperti yang  diduga dilakukan oleh Ketua KPK terhadap Menteri Pertanian yang diduga memeras dari hasil yang diduga hasil korupsi Menteri Pertanian, ketika hasil korupsi dikorup lagi oleh koruptor yang lain bahkan lembaga anti rasuah sendiri yang ikut mengkorup hasil korupsian tersebut, lalu apalagi yang bisa masyarakat harapkan soal masa depan Negara ini. Kadangkala memang bukan kekuasaan yang mengkorup manusia tapi manusia-lah yang mengkorup kekuasaan. Atas hal tersebutlah penulis memberi sub judul dengan diksi ketua KPK mengkorup hasil korupsi koruptor yang lainnya.

Baca juga:
Cara Mencari Kerja Bidang Hukum di Medan

M. Kholis M.A Harahap, SH
M. Kholis M.A Harahap, SH

M. Kholis M.A Harahap, SH merupakan pemerhati hukum tata negara.

Articles: 5