Jika Ijazah Jokowi Terbukti Palsu: Produk Hukum Tetap Sah?

Rizki Rahayu Fitri, S.H., M.H Rizki Rahayu Fitri, S.H., M.H.
| 12 Mei 2025


Bayangkan, seluruh kebijakan negara dari pengangkatan menteri, penetapan APBN, hingga perjanjian internasional dianggap tidak sah. Semua pejabat, dari gubernur hingga menteri, diklaim tidak memiliki legitimasi. Inilah kekacauan total yang akan terjadi jika fitnah “ijazah palsu Jokowi” dianggap benar tanpa dasar hukum yang sahih. Narasi ijazah palsu Presiden Joko Widodo kembali dihidupkan oleh sebagian kalangan. Tuduhan ini sebenarnya bukan sekadar serangan terhadap sosok Jokowi. Ini adalah serangan terhadap pilar konstitusi, terhadap kredibilitas lembaga negara, dan terhadap akal sehat bangsa.

Oleh rena itu, sebelum kita membiarkan perihal ini merusak tatanan negara, mari kita kupas dengan telanjang: bagaimana fakta hukumnya? Apakah tuduhan ini berdampak? Dan siapa sebenarnya yang paling berisiko jika dusta ini terus dipelihara? Secara konstitusional, Joko Widodo telah terpilih dan dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia dua kali, Wali Kota dan Gubernur melalui pemilu yang sah dan dilantik sebagai Presiden sesuai Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. Proses pencalonan beliau, termasuk verifikasi dokumen administratif seperti ijazah, telah dilakukan oleh KPU dan diawasi oleh Bawaslu.

Baca juga: Jerat Regulasi Kades Kohod

Sesuai Pasal 229 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, syarat dokumen pencalonan, termasuk ijazah, wajib diverifikasi. KPU, setelah memverifikasi ijazah Jokowi, menyatakan semua dokumen lengkap dan sah. Jika benar ada ijazah palsu, maka saat itu juga KPU harus membatalkan pencalonannya. Tetapi itu tidak terjadi. Empat kali pencalonan, Empat kali verifikasi, dan dua kali pula beliau dilantik secara sah oleh MPR. Itu fakta yuridis yang tidak bisa dibantah.

Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai lembaga akademik yang mengeluarkan ijazah Jokowi juga sudah memberikan pernyataan resmi. Pada 2022, Wakil Rektor UGM, Djagal Wiseso Marseno, menegaskan: “Joko Widodo adalah lulusan sah Fakultas Kehutanan UGM tahun 1985.” UGM tidak hanya bicara, mereka juga menunjukkan data administratif: arsip wisuda, daftar lulusan, bahkan nomor pokok mahasiswa Jokowi tercatat resmi.

Hari ini publik masih di buat bingumg, karena terdapat berbagai Pihak menampilkan fakta data Skripsi Jokowi di TV, mulai lembar pengesahan tidak bertanda tangan, dosen pembimbing yang namanya salah di klaim benar oleh anak pembimbing skripsi Jokowi tersebut, juga tulisan skripsi menjadi typo ke diksi tesis, dan banyak hal lainnya yang diragukan fisiknya.

Seandainya tuduhan ini benar dan diputuskan oleh pengadilan apa yang akan terjadi? Pertama, batal demi hukum status Jokowi sebagai presiden. Kedua, batal pula semua produk hukum yang ditandatangani atau dilantik oleh Jokowi: Pengangkatan menteri, Pengesahan RUU, Penetapan APBN, Penunjukan duta besar, dan Pengangkatan hakim Mahkamah Konstitusi. Semua keputusan dan kebijakan yang di ambil Jokowi ketika menjadi Wali Kota Solo dan Gubenur DKI Jkarta maka tidak sah secara hukum, dan efek nya nya sangat panjang ke belakang.

Oleh sebab itu, dalam sistem hukum positif, ada prinsip yang disebut “presumption of validity” sepanjang tidak dibatalkan pengadilan, semua keputusan pejabat negara adalah sah dan berlaku. Itulah kenapa, dalam konteks administrasi negara, isu ijazah palsu tidak berdampak hukum apa pun terhadap sahnya keputusan-keputusan Jokowi. Negara tetap berjalan berdasarkan prinsip validitas administratif. Perlu disadari, dalam hukum administrasi pemilu, jika ada kesalahan verifikasi dokumen calon presiden, yang pertama bertanggung jawab adalah KPU, dan disusul Bawaslu.

Tuduhan ijazah palsu yang dialamatkan kepada Presiden Jokowi, jika terbukti tidak benar, akan berdampak pertama kali pada KPU dan Bawaslu sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam memverifikasi kelengkapan dokumen calon presiden. KPU, sebagai penyelenggara pemilu, harus memastikan bahwa setiap dokumen yang diserahkan oleh calon presiden sah dan valid. Jika kesalahan terjadi dalam proses verifikasi, dampaknya akan terbatas pada kredibilitas lembaga, bukan pada keputusan-keputusan yang diambil oleh Jokowi selama menjabat. Secara hukum administrasi negara, keputusan yang dibuat oleh Jokowi tetap sah, karena telah dipilih melalui proses pemilu yang diatur dalam konstitusi, yang tidak terpengaruh oleh isu terkait ijazah.

Selain itu, dalam konteks administrasi negara, keputusan-keputusan yang telah diambil oleh Jokowi sebagai presiden tetap sah meskipun ada isu tentang ijazah palsu. Prinsip hukum administrasi negara mengakui sahnya keputusan yang diambil oleh pejabat negara yang terpilih secara sah, selama tidak ada keputusan pengadilan yang membatalkannya. Dengan demikian, tuduhan ini tidak mempengaruhi sahnya berbagai kebijakan atau keputusan pemerintahan yang telah dibuat oleh Presiden Jokowi. Keabsahan tersebut tidak dapat dibatalkan hanya berdasarkan klaim yang belum terbukti.

Maka pertanyaannya, apa yang terjadi jika tuduhan ini benar-benar terbukti? Secara teori, status Jokowi sebagai presiden akan batal demi hukum. Semua produk hukum yang ditandatangani atau disahkan oleh beliau juga menjadi tidak sah: mulai dari pengangkatan menteri, pengesahan undang-undang, penunjukan hakim Mahkamah Konstitusi, hingga penetapan APBN. Efeknya akan seperti gempa hukum besar yang menghancurkan fondasi negara dari bawah sampai atas. walau pun batal demi hukum, posisi nya saat ini ia tidak menjabat lagi, yang tersisa hanya mengolok-olokan seorang Jokowi dimata Nasional dan Internasional, karena efeknya secara tata negara dan administrasi negara tidak ada. Beda halnya dalam konteks pidana, maka Jokowi bisa diberi efek jera.

UGM, sebagai lembaga yang mengeluarkan ijazah Presiden Jokowi, sebaiknya segera memberikan klarifikasi resmi terkait status ijazah tersebut untuk menghindari keraguan yang berlarut-larut di publik. Jika tuduhan itu terbukti tidak berdasar, UGM perlu meminta maaf dan memperjelas bahwa Jokowi adalah lulusan sah. Sementara itu, Pihak yang menyebarkan isu ijazah palsu Presiden Jokowi dapat dikenakan sanksi hukum jika terbukti melakukan penyebaran informasi bohong berdasarkan Undang-Undang ITE. Klarifikasi oleh UGM akanmenghindarkan lembaga tersebut dari kerusakan reputasi lebih lanjut dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap proses pendidikan dan pemerintahan.