Jerat Regulasi Kades Kohod

Kepemimpinan desa sering kali menghadirkan dilema antara pembangunan dan kepentingan hukum. Kasus yang menimpa Kepala Desa (Kades) Kohod menjadi cerminan nyata dari ironi tersebut. Upayanya dalam membangun pagar laut untuk melindungi wilayah pesisir justru membawanya pada jerat hukum. Fenomena ini patut dikaji dari aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis agar menjadi refleksi bagi kebijakan pembangunan di tingkat desa.

Dari sudut pandang filosofis, tindakan Kades Kohod menggambarkan dilema antara etika utilitarianisme dan deontologi. Dalam utilitarianisme, suatu tindakan dianggap benar jika menghasilkan manfaat terbesar bagi masyarakat. Pembangunan pagar laut bertujuan melindungi warga dari abrasi dan bencana alam, sebuah niat baik yang tampaknya sejalan dengan kepentingan publik. Namun, secara deontologis, setiap tindakan harus mengikuti norma hukum yang berlaku, meskipun memiliki niat baik. Pelanggaran hukum dalam pembangunan ini menunjukkan bahwa niat baik tidak cukup untuk membenarkan tindakan yang melanggar aturan.

Selain itu, teori kontrak sosial juga relevan dalam kasus ini. Kades Kohod, sebagai pemimpin yang dipilih oleh rakyat, memiliki tanggung jawab moral untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Namun, dalam sistem pemerintahan modern, legitimasi kepemimpinan juga harus dibangun di atas kepatuhan terhadap aturan hukum. Jika kepala desa bertindak tanpa mengikuti prosedur yang ditetapkan, maka legitimasi kepemimpinannya dapat dipertanyakan, meskipun memiliki dukungan dari warga setempat.

Dari perspektif asas hukum, kasus ini berkaitan erat dengan asas legalitas, asas proporsionalitas, asas kepastian hukum, dan asas keadilan. Asas Legalitas (nullum crimen sine lege) menegaskan bahwa seseorang tidak dapat dipidana tanpa adanya aturan hukum yang jelas. Dalam konteks ini, Kades Kohod terjerat regulasi yang mengatur penggunaan lahan pesisir tanpa izin resmi, yang menunjukkan bahwa setiap tindakan dalam pemerintahan desa harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Asas Proporsionalitas mengharuskan bahwa penegakan hukum harus mempertimbangkan keseimbangan antara pelanggaran yang terjadi dan sanksi yang diberikan. Jika sanksi yang dijatuhkan tidak sebanding dengan kesalahan administratif yang dilakukan, maka terdapat ketidakadilan dalam penerapan hukum.

Asas Kepastian Hukum menegaskan bahwa hukum harus jelas dan dapat diterapkan secara konsisten. Regulasi yang tumpang tindih atau kurang sosialisasi dapat menjebak pejabat desa dalam situasi hukum yang merugikan mereka, sebagaimana yang dialami oleh Kades Kohod. Asas Keadilan menekankan bahwa hukum harus ditegakkan secara adil, tidak hanya kepada pejabat kecil tetapi juga kepada pihak-pihak yang lebih kuat, termasuk korporasi dan pemodal besar yang turut berperan dalam kebijakan pembangunan wilayah pesisir.

Baca juga opini Rizky Rahayu F. lainnya:
Pelindungan Data Pribadi dalam Pendidikan Digital dan Penggunaan Kecerdasan Buatan di Indonesia

Secara hukum, pembangunan infrastruktur di wilayah pesisir harus mengikuti regulasi yang ketat. UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) dengan tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan ini menegaskan bahwa pengelolaan wilayah pesisir harus dilakukan dengan izin yang sah dan tidak boleh dilakukan secara sepihak tanpa regulasi yang jelas.

Selain itu, Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) mengatur bahwa semua tanah di Indonesia tunduk pada aturan hukum agraria nasional, sehingga setiap perubahan status atau penggunaan tanah, termasuk di wilayah pesisir, harus mendapatkan persetujuan dari pihak berwenang. Pembangunan pagar laut yang dilakukan tanpa konsultasi dan izin dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) maupun pemerintah daerah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administratif dan berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum bagi pejabat yang terlibat.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa juga memberikan batasan kewenangan kepala desa, yang pada dasarnya tidak mencakup penerbitan surat tanah atau keputusan yang berdampak pada perubahan tata ruang secara mandiri. Kepala desa hanya memiliki kewenangan administratif dalam lingkup pemerintahan desa, bukan dalam hal perizinan pertanahan atau perubahan fungsi wilayah pesisir. Kesalahan interpretasi kewenangan ini sering kali menjadi sumber masalah hukum bagi kepala desa yang bertindak di luar batasannya.

Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur bahwa setiap pejabat publik, termasuk kepala desa, tidak boleh menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya. Jika seorang kepala desa mengeluarkan surat yang berimplikasi pada kepemilikan tanah atau pembangunan tanpa izin yang sah, maka ia dapat dianggap melanggar asas kepastian hukum dan berpotensi dikenai sanksi administratif atau bahkan pidana jika terbukti ada unsur penyalahgunaan wewenang.

Dalam konteks tata ruang, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga mengatur bahwa setiap pembangunan yang berdampak pada lingkungan harus memperoleh izin terlebih dahulu. Ketiadaan izin ini berpotensi menimbulkan permasalahan hukum bagi pelaksana pembangunan, termasuk kepala desa yang terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut. Hal ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang mewajibkan adanya izin lingkungan dalam setiap aktivitas pembangunan di wilayah pesisir. Ketidaksadaran atau kelalaian dalam mematuhi regulasi ini berpotensi menjerat pelaku pembangunan, termasuk kepala desa, ke dalam kasus hukum.

Dari sudut pandang sosiologis, kasus ini menunjukkan ketimpangan antara otonomi desa dan dominasi regulasi pusat. Desa memiliki hak untuk membangun sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya, tetapi sering kali berbenturan dengan regulasi teknis yang kompleks. Kebijakan pembangunan yang dipaksakan dari atas tanpa mempertimbangkan kondisi lokal menyebabkan keterbatasan ruang gerak bagi kepala desa. Masyarakat setempat yang mendukung proyek pagar laut justru harus menyaksikan pemimpin mereka berakhir di balik jeruji besi karena ketidaksesuaian regulasi.

Selain itu, masyarakat desa sering kali merasa terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka. Regulasi yang datang dari tingkat pusat sering kali tidak melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat lokal, sehingga menimbulkan ketimpangan dalam implementasi kebijakan pembangunan. Kasus Kades Kohod harus menjadi pelajaran bagi semua pihak, baik pemerintah, penegak hukum, maupun masyarakat desa. Regulasi yang ketat tanpa bimbingan hanya akan menjebak kepala desa dalam dilema hukum yang tidak berkesudahan. Hukum seharusnya menjadi alat perlindungan bagi masyarakat, bukan justru menjadi alat penghukuman yang tidak adil. Jika memang ada pelanggaran, pemerintah harus lebih proaktif dalam memberikan bimbingan hukum, bukan hanya sekadar menghukum pihak yang memiliki wewenang terbatas. Keadilan harus ditegakkan secara merata, bukan hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.

Rizki Rahayu Fitri
Rizki Rahayu Fitri

Rizki Rahayu Fitri merupakan pemerhati hukum yang fokus pada isu-isu hukum kenegaraan.

Articles: 9