Trias politica, sudah diterapkan di negara-negara dunia dalam sistem pemerintahan. Teori yang dicetuskan oleh Montesquieu ini diterapkan di Indonesia sebagai supration of power atau pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif serta yudikatif. Teori pemisahan kekuasaan ini adalah sebagai bentuk untuk mencegah terjadinya abuse of power sehingga setiap lembaga negara tidak mencampuri kewenangan lembaga negara lainnya, bekerja sesuai dengan tupoksi lembaga negara.
Tentunya, pasca amandemen UUD NRI, DPR yang dibawah naungan MPR bukanlah lembaga yang super power seperti masa orde baru, melainkan pasca amandemen semua lembaga negara sama kedudukannya, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif setara kedudukannya. Kini, tupoksi DPR pasca amandemen UUD NRI memiliki tiga buah kewenangan diantaranya budgeting, legislasi dan anggaran. Jika dibenturkan dengan persoalan saat ini terkait dengan keamanan peradilan (contempt of court) DPR memiliki peran sebagai pembentuk RUU dengan membumbui naskah akademik melalui norma-norma hukum maupun asas-asas hukum dalam pembentukan produk hukum sejauh ini,
Baca juga:
Masih adakah Ketetapan MPR Pasca Reformasi?
Menurut Montesquieu dengan ajaran Trias Politica bahwa kekuasaan negara dipisahkan menjadi tiga yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang masing-masing kekuasaan itu dilaksanakan oleh suatu badan yang berdiri sendiri, maka hal ini akan menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan sewenang-wenang dari seorang penguasa atau penyalahgunaan kewenangan. Ketiga badan tersebut harus ada dalam suatu negara, dengan parlemen/legislatif sebagai perwakilan rakyat dan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, eksekutif sebagai pelaksana pemerintahan negara dan yudikatif sebagai pengawasan dari pelaksanaan pemerintahan dan aturan-aturan dalam negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum amandemen membagi kekuasaan-kekuasaan tersebut dalam isi dari masing-masing bab UUD 1945.
Pengaturan mengenai lembaga negara di UUD 1945 tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin Trias Politica dianut, tetapi oleh karena Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut Trias Politica dalam arti pembagian kekuasaan (distribution of power). Hal ini jelas dari pembagian bab dalam Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya pada Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat dan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Sejatinya kalau dibenturkan dengan teori trias politica, bahwa ketiga kekuasaan tersebut tidak boleh saling mengganggu. Terutama yudikatif yang merupakan Lembaga kekuasaan yang independen dan imparsial.
Gangguan-gangguan dalam sidang perkara yang sedang berlangsung di pengadilan dikhawatirkan dapat mengintervensi hakim dalam menjatuhkan putusan. Padahal seharusnya independensi hakim dijamin dalam UUD NRI maupun UU Kekuasaan Kehakiman. Regulasi perihal contempt of court pada dasarnya dapat dilihat dalam Pasal 207 KUHP. Namun batasannya terlalu luas sehingga DPR perlu membentuk UU khusus terkait contempt of court. Berbicara mengenai pengaturan terkait contempt of court, maka perlu pengaturan khusus sejauh ini DPR tidak memiliki peran yang cukup jauh. Karena DPR telah memiliki fungsi dan peran tersendiri.
Fungsi legislasi diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal 20A ayat (1) menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Pengadilan itu sendiri prinsipnya adalah cabang kekuasaan yang harus terbebas dari campur tangan kekuasaan lembaga lain. Sedangkan kekuasaan legislasi DPR (pembentukan uu) tidak berkorelasi langsung dengan keamanan persidangan yang sudah masuk ke ranah terlalu teknis. Keamanan persidangan merupakan tanggung jawab pihak berwajib. seperti contoh kepolisian, kejaksaan, ataupun petugas pengamanan yang ditugaskan untuk menjaga ketertiban dan keamanan Lembaga peradilan. Walaupun yang disinggung dari DPR adalah fungsi legislasi, namun dalam konteks contempt of court DPR tidak memiliki peran besar. Sebab sudah dijelaskan sebelumnya Pengadilan bersifat independen dan imparsial, notabenenya DPR adalah lembaga perwakilan rakyat, yang fungsinya bukan berkaitan langsung dengan teknis pengamanan persidangan.
Walaupun ingin dibentuk undang-undang khusus mengenai keamanan pengadilan, perlu mendapatkan aspirasi dari berbagai pihak, seperti kelompok profesi hakim, jaksa, advokat yang bersentuhan langsung dengan lembaga peradilan. Mengingat contempt of court sangat dibutuhkan secara lex specialis barulah peran DPR dari segi fungsi legislasi di hadirkan dalam membentuk dan merumuskan norma dan asas dalam RUU. RUU contempt of court merupakan langkah baik dari DPR dalam rangka melindungi marwah dan keamanan lembaga peradilan. Norma-norma yang dimaktubkan dalam sebuah produk hukum tersebut yang nantinya dirancang oleh DPR pasal-pasal dari regulasi tersebut tidak bias sehingga tercipta batasan2 pada kinerja penegak hukum (advokat) dalam menyampaikan kepentingan klien.
Kekurangan anggaran menyebabkan terhambatnya segala urusan terkait keamanan dalam bersidang akibatnya lembaga yudikatif tidak bisa memfasilitasi ketertiban dan keamanan di dalam ruang lingkup ranah pengadilan karena terbatas dalam pembiayaan petugas, sebagai contoh Pengadilan Balikpapan salah satu pengadilan yang paling safety soal pengamanan. Namun sarana dan prasarana gedung pengadilan masih belum memadai, karena lokasi dan anggaran kurang sehingga seluruh pegawai yang di lingkup peradilan memiliki tempat kerja yang ruang lingkupnya kecil dan gabung antara ruang hakim dan pegawai yang berada dalam lingkup peradilan. Padahal perlu sebuah keterbukaan antara nuansa keadilan dan yang mencari keadilan, namun di inisiasi tetap dengan sisi keamanan.
Harus ada sisi akuntabilitas dalam pengadilan untuk menahan seseorang yang juga mencari keadilan. Bagunan pengekan hukum itu berbeda dengan bangunan lainnya, karena Indonesia adalah negara hukum. Terkait anggaran yang direalisasikan hampir baik relokasinya. Namun menjadi masalah kenapa hanya pengadilan yang berada di ibukota negara yang menjadi tolak ukur baik tidaknya pengadilan dalam keamanan. Anggaran senilai lima juta setahun di alokasikan untuk keamanan sidang pengadilan, tetapi menjadi miris padahal dalam RDP ke DPR hal-hal seperti ini tidak disampaikan ke DPR persoalan yang seperti ini, karena ini “pr” berat bagi wakil Tuhan di muka bumi.
Sistem keaman persidangan juga dilihat dari budaya hukum, semakin tinggi budaya hukum semakin baik persidangan semakin rendah budaya hukum semakin bahaya keamanan ruangan persidangan. Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, maka sangat dibutuhkan peran DPR dalam mencampuri sisi keamanan peradilan (contempt of court). Namun karena Indonesia menganut sistem trias politica seperti yang telah dijelaskan diatas maka DPR tidak bisa mencampuri kepada ranah yang begitu teknis, melainkan DPR hanya bisa menerima aspirasi dalam pembentukan RUU mengenai contempt of court, dengan cara tersebutlah persoalan-persoalan hukum di Indonesia dapat diselesaikan serta tentu harus melibatkan banyak pihak dalam mengamankan proses persidangan.
Tidak hanya sebatas proses persidangan melainkan keamanan hakim di seluruh Indonesia juga harus dijaga, karena banyak tragedi yang nyaris meregangkan nyawa ketika hakim memutuskan sebuah perkara dalam pengadilan perlindungan hakim juga harus diperketat sebab hakim akan memberi keadilan kepada si pencari keadilan dan kebenaran di muka bumi.