Terbitnya Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menuai banyak perdebatan dalam masyarakat. Khususnya para pekerja, dimana dalam Perpu tersebut mengubah beberapa Pasal yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Adapun beberapa isu yang dibicarakan dalam Perpu tersebut, salah satunya yang mengatur pemberian waktu libur atau istirahat kepada para pekerja yang diatur dalam Perpu tersebut. Sebelumnya dalam UU Ketenagakejaan pada Pasal 79 ayat (2) yang berbunyi:
“….(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi : …b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.”
Dalam UU Ketenagakerjaan tersebut memberikan waktu istirahat mingguan kepada para pekerja 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja.
Namun Pasal tersebut telah diubah oleh Perpu Cipta Kerja yang berbunyi:
“…(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada Pekerja/Buruh paling sedikit meliputi:….b. istirahat mingguan I (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.”
Sehingga berdasarkan Perppu Cipta Kerja tersebut, waktu istirahat mingguan para pekerja 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja. Hal ini akan menghilangkan hak istirahat para pekerja yang bekerja selama 5 (lima) hari kerja sebagaimana diatur pada UU Ketenagakerjaan.
Namun jika dilihat pada Perpu Cipta Kerja Pasal 77 ayat (2) yang berbunyi:
“…(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: …b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.”
Berdasarkan ketentuan pada Pasal ini sebenarnya diatur mengenai hari kerja untuk 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu. Namun jika dihubungkan dengan Pasal 79 ayat (2) pada Perppu Cipta Kerja, maka Pekerja tetap mendapatkan hak untuk istirahat selama 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Sehingga melihat isu permasalahan waktu istirahat mingguan secara sistematis seharusnya dicantumkan dalam Pasal 79 ayat (2) tersebut agar para masyarakat tidak memiliki interpretasi yang berbeda-beda.