Siapa yang Paling Berhak Mendapatkan Hak Asuh Anak Jika Terjadi Perceraian?

Munculnya topik seputar hak asuh anak umumnya disebabkan karena terjadinya perceraian antara kedua orang tua si anak. Sebagai orang tua tentu keduanya ingin memperoleh hak asuh atas buah hati mereka. 

Pihak yang akan mendapatkan hak asuh atas anak pun tak mutlak si ibunya. Ada beberapa kemungkinan atau hal yang membuat ayah bisa mendapatkan hak asuh atas anaknya yang masih dibawah umur.  Seorang ayah tak mendapatkan hak asuh atas anaknya pun, tetap memiliki kewajiban penuh untuk menafkahi buah hatinya tersebut.

Baca juga:
Hak Atas Pencatatan Akta Kelahiran Bagi Anak

Mengacu pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka berdasarkan kepentingan anak. Kewajiban ini berlaku sampai anak menikah atau dapat berdiri sendiri.

Namun tidak ada penjelasan secara rinci dalam UU Perkawinan tersebut mengenai hak asuh anak jatuh kepada siapa. Akan tetapi, aturan terkait pemegang hak asuh anak dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada Pasal 105 KHI pemeliharaan anak yang belum Mumayyiz  atau belum berumur 12 tahun merupakan hak ibunya. Jika anak tersebut sudah berusia 12 tahun, maka keputusan akan diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak asuhnya.

Begitu pula dengan Putusan Mahkamah Agung RI No. 126 K/Pdt/2001 tanggal 28 Agustus 2003 yang menyatakan bahwa “Bila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah umur pemeliharaannya seyogyanya diserahkan kepada orang terdekat dan akrab dengan si anak, yaitu ibu.”

Selain itu, terdapat pula yurisprudensi terkait hak asuh anak di bawah umur yang jatuh kepada ibunya. Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975 menyatakan, “Berdasarkan yurisprudensi mengenai perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandung yang diutamakan, khususnya bagi anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang menjadi kriterium, kecuali kalau terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anaknya.

Selanjutnya dalam Pasal 156 huruf (c) KHI, ayah atau ibu yang bercerai dapat kehilangan hak asuh anaknya atau yang dalam peraturan ini disebut hadhanah. Hadhanah dapat berpindah jika ibu atau ayah yang menjadi pemegang hak asuh dianggap tidak layak melakukan pengasuhan. Dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menjelaskan adapun alasan mengapa hak asuh orang tua atas anak bisa hilang:

  1. ia memiliki perilaku yang buruk;
  2. ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;

Pasal 156 huruf (c) KHI berbunyi, “apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.” 

Merujuk pada pasal ini, artinya, untuk mendapatkan hak asuh anak, maka pihak tersebut harus bisa menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak. Keselamatan jasmani yang dimaksud seperti: 

  1. tidak memukul, melukai, atau melakukan kekerasan fisik lain kepada anak;
  2. menyediakan lingkungan yang aman bagi anak. 

Sementara keselamatan rohani di antaranya: 

  1. memberikan kasih sayang;
  2. pengajaran agama, serta pendidikan yang baik untuk anak; 
  3. berperilaku dan menjadi teladan yang baik bagi anak; 
  4. menyediakan lingkungan yang baik untuk anak.
Demikian ulasan saya tentang Siapa yang Paling Berhak Mendapatkan Hak Asuh Anak Jika Terjadi Perceraian. Semoga bermanfaat 🙂
Raihan Dhia Primayana
Raihan Dhia Primayana

Raihan Dhia Primayana merupakan konsultan hukum yang memiliki yang memiliki keahlian dalam bidang hukum keluarga di Indonesia. Raihan memperoleh gelar Sarjana Hukum-nya dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dengan predikat Cumblaude.

Articles: 1