Debitur Pailit Dilarang Menjadi Capres-Cawapres: Bentuk Gagal Paham  Hukum Kepailitan di Indonesia

Oleh: Muhammad Afghan Ababil*

Debitur Pailit Dilarang Menjadi Capres-Cawapres:
Debitur Pailit Dilarang Menjadi Capres-Cawapres:

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) akhir-akhir ini sedang menjadi sorotan di masyarakat di tengah persiapan kontestasi pemilu 2024 hal ini terjadi karena  ada ketentuan presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden yang harus mengantongi 20% kursi parlemen dari pemilu sebelumnya sebagaimana pasal 222 UU Pemilu.

Gugatan terhadap presidential threshold (PT) terus dilayangkan ke mahkamah konstitusi (MK)  karna pasal ini dianggap menjadi batu sandungan hak konstitusional warga negara dalam mencalonkan diri dalam pemilihan presiden,tetapi MK terus menolak gugatan terkait PT yang akhirnya menimbulkan polemic dimasyarakat antara pro dan kontra.

Baca juga:
Persandingan Suami dan Istri di Pilkades: Melanggar Norma Hukum Atau Demokrasi Semu?

Selain penerapan PT di pemilu Indonesia sebagai syarat pencapresan masih ada beberapa lagi persyaratan yang dianggap mengganjal salah satunya tercantum dalam Pasal 169 huruf I UU Pemilu yang menyatakan bahwa debitur yang sedang dinyatakan pailit oleh pengadilan tidak bisa menjadi Capres Cawapres, hal ini memang kurang menjadi sorotan di masyarakat karena pemahaman terkait hukum kepailitan di masyarakat sendiri masih sangat minim.

Larangan ini sebetulnya bukan hal baru dalam kepemiluan di Indonesia karena larangan debitur pailit menjadi capres sendiri sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang melarang calon kepala daerah sedang  dinyatakan pailit oleh pengadilan.

Hal ini dirasa gagal paham karena jabatan presiden dan wakil presiden adalah ranah hukum publik  sedangkan status kepailitan adalah status dalam hukum privat atau hukum perdata.kepailitan hanya  berkaitan dengan kekayaan si debitur dan tidak berkaitan dengan pribadinya baik dalam kepailitan perseroan terbatas (PT) ataupun kepailitan perorangan yang menjadi objek adalah kekayaan. Kekayaan yang dimaksud disini merujuk kepada pendapat Fred B.G Tumbuan bahwa kekayaan adalah semua barang dan ha katas benda yang dapat yang dapat diuangkan.

Menurut Dr. M. Hadi Subhan, seorang ahli hukum kepailitan Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya dalam bukunya Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktiknya di Pengadilan, berpendapat dengan dimasukkannya syarat tidak sedang pailit di sebagai salah satu syarat calon presiden dan wakil presiden,seakan akan pailit adalah suatu perbuatan tercela atau perbuatan tercela sehingga harus dimasukan dalam syarat jabatan public tersebut.

Kepailitan hanya berkaitan dengan tidak mampu bayar dalam utang-piutang bukan berkaitan dengan kompetensi kepemimpinan seseorang dalam hal ini debitur pailit. Secara tidak langsung syarat ini menganggap debitur pailit tidak mampu memimpin dalam jabatan public padahal yang  mempengaruhi kepailitan bukan hanya satu dua hal namun banyak kondisi kompleks dan salah satu sebab nya saat ini adalah pandemic COVID-19. Banyak perusahaan yang pailit karena  COVID-19 ini jadi aman disayangkan apabila para debitur pailit ini dirampas hak nya untuk mengisi jabatan public karna banyak dari mereka adalah orang orang berkompeten namun hanya saja kondisi ekonomi global yang tidak stabil karena pandemic memaksa mereka menutup usaha akibat tidak mampu membayar hutang dan kemudian pailit.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas widya Mataram

smartlawyer.id
Admin
Admin

Smart Lawyer lebih dari sekedar blog atau situs yang menyediakan jutaan informasi hukum secara gratis. Smart Lawyer punya tujuan, harapan, dan impian, sama seperti Anda. Smart Lawyer ingin memberikan solusi yang lebih baik untuk setiap orang yang mencari informasi hukum.

Articles: 1692