Apakah Kontrak Berbahasa Asing Itu Sah dan Dapat Diterima Secara Hukum?

Dalam praktik sering kita jumpai kontrak-kontrak berbahasa asing, terutama dalam kontrak bisnis internasional yang menuntut penggunaan bahasa yang dipahami baik oleh oihak asing sebagai lawan kontrak. Sementara kontrak tersebut tunduk pada kekentuan hukum di Republik Indonesia.

Terhadap penggunaan bahasa asing dalam kontrak, baik bahasa asal negara lawan kontrak maupun bahasa Inggris, banyak yang masih meragukan, apakah kontrak berbahasa asing itu sah dan dapat diterima secara hukum?

Sebagai antisipasi, banyak orang memilih untuk membuatnya dalam dua bahasa (bilingual), yaitu bahasa Indonesia dan bahasa asing. Hal ini terutama mengingat berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Langu Kebangsaan. Undang-Undang tersebut mewajibkan penggunaan bahasa dalam setiap pembuatan kontrak. Pasal 31 UU Nomor 24 Tahun 2009 menentukan:

Bahsa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.

Pasal 31 ayat (1)

Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing juga dalam bahasa nasional pihak asing dan/atau Bahasa Inggris.

Pasal 31 ayat (3)

Kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam setiap kontrak juga diatur pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2019 Tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Pasal 26 Perpres Nomor 63 Tahun 2019 menentukan:

Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia.

Pasal 26 ayat (1)

Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

Pasal 26 ayat (2)

Bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai padanan atau terjemahan Bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman nota kesepahaman atau perjanjian dengan pihak asing.

Pasal 26 ayat (3)

Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap padanan atau terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bahasa yang digunakan ialah bahasa yang disepakati dalam nota kesepahaman atau perjanjian.

Pasal 26 ayat (4)

Berdasarkan hal-hal di atas, maka setiap kontrak yang melibatkan baik lembaga negara, instansi pemerintah, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia, wajib menggunakan bahasa Indonesia. Apabila kontrak tersebut melibatkan pihak asing, maka bahasa asing atau bahasa Inggris juga digunakan dalam kontrak tersebut. Namun baik Undang Nomor 24 Tahun 2009 maupun Perpres Nomor 63 Tahun 2019, keduanya sama-sama tidak memberikan sanksi apabila kontrak tersebut dibuat hanya dalam bahasa asing atau bahasa Inggris saja atau tidak dibuat dalam versi bahasa Indonesianya.

Jika mengacu pada ketentuan Pasal 31 Undang-Udang Nomor 24 Tahun 2009 dan Perprees Nomor 63 Tahun 2019, maka kontrak yang tidak menggunakan bahasa Indonesia merupakan kontrak yang tidak sah, yaitu kontrak yang batal demi hukum. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa salah satu syarat objektif kontrak adalah suatu sebab yang halal, yaitu kontrak tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Kontrak yang hanya menggunakan bahasa asing atau bahasa Inggris saja dan tanpa bahasa Indonesia merupakan kontrak yang bertentangan dengan undang-undang, yaitu bertentangan dengan Pasal 31 Undang-Udang Nomor 24 Tahun 2009 dan Perprees Nomor 63 Tahun 2019. Dikarenakan bertentangan dengan undang-undang maka kontrak tersebut tidak memenuhi syarat objektif, sehingga batal demi hukum. Dalam hal hakim menyatakan bahwa kontrak tersebut batal demi hukum, para pihak dianggap tidak pernah membuat kontrak tersebut. Segala hak dan kewajiban yang telah dilaksanakan berdasarkan kebatalan demi hukum tersebut, harus dikembalikan.

Terhadap pandangan di atas yang mengatakan bahwa kontrak tersebut batal demi hukum, banyk ahli dan praktisi hukum yang masih berbeda pendapat. Beberapa di antaranya mengatakan bahwa hal tesebut tidak batal demi hukum melainkan dapat dibatalkan, tetapi pendapat yang lain mengatakan tidak begitu saja dapat dibatalkan atau bahkan tidak sendiri-sendiri, tetapi dalam praktinya telah ada kaus dalam putusannya (yurisprudensi), bahwa kontrak yang telah menggunakan bahasa asing atau bahasa Inggris dan tanpa bahasa Indonesia adalah batal demi hukum. Dalam yurisprudensi tersebut, pinjaman uang yang telah diterima oleh debitur harus dikembalikan karena di antara para pihak dianggap tidak pernah terjadi perjanjian pinjam meminjam uang (loan agreement).

Dari perbedaan-perbedaan pendapat di atas, nampak bahwa masih ada kemungkinan kontrak yang dibuat hanya dalam bahasa asing saja tetap sah, meskipun telah ada putusan pengadilan yang menyatakan batal demi hukum. Sebab itu, untuk lebih memberi kepastian hukum, sebaiknya kontrak dibuat dalam bahasa Indonesia. Jika kontrak tersebut melibatkan pihak asing yang menuntut penggunaan bahasa negaranya (atau bahasa Inggris), kontrak tersebut sebaiknya dibuat dalam dua bahasa (bilingual), yaitu bahasa Indonesia dan bahasa asing. Hal ini terutama untuk menghindari adanya gugatan mengenai penggunaan bahasa kontrak.

Admin
Admin

Smart Lawyer lebih dari sekedar blog atau situs yang menyediakan jutaan informasi hukum secara gratis. Smart Lawyer punya tujuan, harapan, dan impian, sama seperti Anda. Smart Lawyer ingin memberikan solusi yang lebih baik untuk setiap orang yang mencari informasi hukum.

Articles: 1643