
Demokrasi dan negara hukum merupakan dua konsep yang saling berkaitan dalam mengatur mekanisme penyelenggaraan pemerintahan. Keduanya berlandaskan pada prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Dalam konteks negara hukum, pemerintah memiliki hak dan kewajiban untuk menjalankan fungsi peradilan berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Hal ini juga merupakan amanat konstitusi yang menempatkan kedaulatan rakyat di posisi tertinggi dalam sistem ketatanegaraan. Untuk menjamin kedaulatan yang berkeadilan, sistem pemerintahan di Indonesia dibangun dengan pemisahan kekuasaan ke dalam beberapa entitas yang merdeka satu sama lain.
Baca juga:
Kekacauan Tata Tertib DPR
Konsep ini dikenal sebagai Trias Politica, yang pertama kali diperkenalkan oleh John Locke dan kemudian dikembangkan oleh Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois. Dalam sistem ini, kekuasaan negara dibagi ke dalam tiga lembaga utama: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Masing-masing lembaga memiliki fungsi dan kewenangan yang berbeda, dengan tujuan untuk menciptakan keseimbangan serta mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Pembagian kekuasaan tersebut dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa setiap lembaga negara memiliki kewenangan yang sejajar dan tidak terkonsentrasi pada satu pihak saja. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Maka, prinsip negara hukum menuntut adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak. Hal ini menjadi bagian dari ranah kekuasaan kehakiman, yang merupakan elemen penting dalam menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Kekuasaan kehakiman harus dijalankan secara merdeka, bebas dari campur tangan kekuasaan lain, serta berdasarkan prinsip-prinsip ideologi Pancasila. Dalam sistem ini, independensi lembaga peradilan menjadi fondasi utama agar proses peradilan berjalan objektif dan berkeadilan.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 [Unduh], khususnya BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman, dijelaskan bahwa kekuasaan kehakiman harus dijalankan dengan makna yang tegas, cermat, bijaksana, menjunjung tinggi etika dan moral, serta bebas dari intervensi. Kekuasaan ini dijalankan atas nama Tuhan, bukan atas nama negara, sebagai wujud tanggung jawab moral yang tinggi. Dalam sistem peradilan yang ideal, hakim berperan sebagai penjaga utama keadilan yang harus bekerja dengan integritas, tanpa tekanan atau pengaruh dari pihak manapun. Mereka dituntut untuk menegakkan hukum berdasarkan hati nurani dan bukti yang ada, tanpa rasa takut atau kepentingan pribadi.
Namun, dalam realitasnya, kemandirian hakim sering kali dihadapkan pada berbagai tantangan, salah satunya adalah rasa takut baik yang datang dari luar maupun yang lahir dari dalam dirinya sendiri. Ketakutan ini dapat muncul dalam berbagai bentuk. Tekanan politik, intervensi kekuasaan, ancaman dari pihak-pihak yang berkepentingan, hingga ekspektasi publik yang sangat besar terhadap suatu putusan bisa menjadi faktor yang membebani seorang hakim. Bukan rahasia lagi bahwa dalam beberapa kasus, vonis yang dijatuhkan hakim tidak sepenuhnya mencerminkan keadilan yang murni, melainkan hasil kompromi dari tekanantekanan yang ada di luar ruang sidang. Jika keadaan ini terus dibiarkan, maka kemandirian hakim yang seharusnya menjadi pilar utama dalam peradilan justru akan terkikis oleh kepentingan-kepentingan eksternal. Beberapa contoh nyata yang dialami oleh hakim yakni:
- Syafiuddin Kartasasmita adalah Hakim Agung/Ketua Muda Bidang Pidana Mahkamah Agung (MA) RI. Dalam sidang 22 September 2000, ia menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara dan denda Rp30,6 miliar kepada Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto dalam kasasi kasus tukar guling tanah milik Bulog dengan PT Goro Batara Sakti. Genap 10 bulan berselang, Syafiuddin tewas ditembak orang tak dikenal dalam perjalanan menuju kantornya. Tommy sang putra mahkota Cendana atau putra bungsu mantan Presiden Soeharto, diduga sebagai otak pembunuhan ini, dan dugaan itu telah dibuktikan oleh pengadilan.
- Pada tahun 2011, terjadi perdebatan antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) terkait dugaan intervensi KY terhadap majelis hakim yang menangani kasus Abu Bakar Ba’asyir. MA menilai bahwa KY telah melakukan intervensi nyata terhadap independensi hakim dalam proses persidangan tersebut. Kontroversi ini bermula ketika KY menerima pengaduan dari tim kuasa hukum Ba’asyir mengenai penggunaan telekonferensi untuk pemeriksaan saksi dalam persidangan. KY kemudian menilai ada indikasi pelanggaran kode etik oleh majelis hakim terkait penetapan tersebut. Menanggapi hal ini, MA menyatakan bahwa penggunaan telekonferensi dalam persidangan telah diatur dalam undang-undang, seperti UU Terorisme dan UU Perlindungan Saksi dan Korban. Oleh karena itu, MA menegaskan bahwa keputusan majelis hakim sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan menilai pernyataan KY sebagai bentuk intervensi terhadap independensi hakim.
- Pemberhentian Hakim Konstitusi oleh DPR, pada tahun 2022 melalui forum rapat paripurna DPR secara serampangan memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto tanpa basis argumentasi yang utuh. Dalam waktu bersamaan, anggota dewan juga sepakat memilih Sekretaris Jenderal MK, Guntur Hamzah, untuk mengganti posisi Aswanto sebagai hakim konstitusi mendatang. Langkah DPR terhadap MK ini semakin memperlihatkan sikap otoritarianisme dan pembangkangan hukum.
Mengutip dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengidentifikasi setidaknya ada 6 poin penting kekeliruan DPR saat merombak komposisi majelis hakim konstitusi. Akan tetapi yang dianalisis oleh penulis ada setidaknya empat poin penting yang menurut penulis masuk dalam substansi utama.
- Pertama, lembaga legislatif itu keliru saat menafsirkan surat dari Ketua MK. Penting untuk disampaikan, surat yang dikirimkan oleh MK kepada Ketua DPR RI itu substansinya terbatas pada konfirmasi atau sekadar pemberitahuan dampak Putusan Nomor 96/PUU-XIII/2020. Adapun putusan itu mengubah periodisasi jabatan hakim MK, yakni, tidak lagi merujuk pada siklus lima tahunan, melainkan merujuk pada pembatasan usia. Alih-alih memahaminya, DPR justru berakrobat dengan memanfaatkan surat itu sebagai dasar memberhentikan hakim konstitutsi.
- Kedua, DPR menabrak ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menjamin eksistensi kemerdekaan lembaga kekuasaan kehakiman. Pemaknaan kemerdekaan itu tentu harus ditafsirkan terbebas dari kepentingan politik dari seluruh cabang kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif. Dengan praktik kesewenang-wenangan DPR, maka terbilang jelas bahwa UUD 1945 tidak lagi dijadikan acuan dalam mengambil suatu tindakan. Ketiga, kesimpulan untuk memberhentikan Aswanto menunjukkan DPR ahistoris dengan produk UU yang mereka hasilkan sendiri. Sebab, mekanisme ganjil itu jelas bertolak belakang dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK (UU MK). Dalam konteks regulasi itu, secara materiil Aswanto tidak sedang diberhentikan dengan atau tidak hormat. Sedangkan runtut formilnya juga bermasalah karena tanpa melalui mekanisme yang benar, yakni, pengiriman surat dari Ketua MK kepada Presiden untuk selanjutnya diterbitkan Keputusan Presiden pemberhentian hakim konstitusi.
- Ketiga, kesimpulan untuk memberhentikan Aswanto menunjukkan DPR ahistoris dengan produk UU yang mereka hasilkan sendiri. Sebab, mekanisme ganjil itu jelas bertolak belakang dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK (UU MK). Dalam konteks regulasi itu, secara materiil Aswanto tidak sedang diberhentikan dengan atau tidak hormat. Sedangkan runtut formilnya juga bermasalah karena tanpa melalui mekanisme yang benar, yakni, pengiriman surat dari Ketua MK kepada Presiden untuk selanjutnya diterbitkan Keputusan Presiden pemberhentian hakim konstitusi.
- Keempat, keputusan DPR ini kental dengan nuansa politik terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Sebab, merujuk pada pernyataan Ketua Komisi III DPR RI sekaligus politisi asal PDIP, Bambang Wuryanto, alasan pemberhentian Aswanto karena hakim konstitusi itu menganulir UU yang dikerjakan oleh DPR. Oleh karena itu Aswanto yang mana merupakan hakim konstitusi usulan lembaga legislatif diberhentikan. Logika ini jelas absurd, menyesatkan, dan memperlihatkan sikap kenakan-kanakan. Mengingat dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sudah sangat tegas mengatakan bahwa hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. Jadi, dalam kerangka aturan itu tidak ada kewajiban bagi hakim MK untuk menuruti atau membenarkan semua produk perundang-undangan, baik yang diinisiasi oleh pemerintah maupun DPR.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa di satu sisi, hakim memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memutus perkara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun di sisi lain, tidak dapat dipungkiri adanya bayang-bayang tekanan dari kekuatan politik maupun ekonomi yang dapat mengancam karier, keamanan, atau bahkan keselamatan pribadi seorang hakim. Dalam situasi seperti ini, muncul pertanyaan besar: apakah hakim benar-benar mampu mengambil keputusan secara bebas tanpa intervensi? Ketakutan terhadap dampak putusan yang dijatuhkan, kekhawatiran akan reputasi di mata publik, hingga ancaman terhadap keluarga, dapat memengaruhi kondisi psikologis seorang hakim dan mengganggu keberaniannya dalam menegakkan keadilan.
Tidak jarang, tekanan semacam itu membuat hakim memilih untuk menjatuhkan putusan yang lebih “aman”, meskipun keputusan tersebut mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan kebenaran hukum yang seharusnya ditegakkan. Namun demikian, tidak semua hakim tunduk pada ketakutan tersebut. Masih banyak hakim yang tetap teguh pada prinsip dan idealismenya, menolak segala bentuk intervensi, serta dengan keberanian menjatuhkan putusan yang adil dan sesuai hukum, meskipun mereka harus menghadapi konsekuensi yang tidak ringan. Mereka inilah sosok yang menjadi benteng terakhir keadilan dalam sistem hukum Indonesia.
Para hakim inilah yang menjadi garda terakhir dalam menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Tanpa keberanian dan integritas mereka, hukum bisa kehilangan wibawanya, dan masyarakat akan semakin skeptis terhadap keberadaan keadilan yang sejati. Publik perlu memahami bahwa hakim bukanlah alat untuk memenuhi kehendak satu pihak, melainkan sosok yang menjalankan tugas berdasarkan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, dukungan terhadap independensi hakim harus senantiasa diperjuangkan. Tekanan terhadap hakim untuk memutus perkara demi kepentingan tertentu atau untuk menyenangkan publik justru akan merusak esensi keadilan itu sendiri.
Pada akhirnya, ketakutan adalah ujian besar dalam perjalanan hakim menegakkan keadilan. Namun, kemandirian adalah prinsip fundamental yang harus dijaga agar hukum tetap menjadi panglima. Tanpa hakim yang berani dan independen, sistem peradilan akan kehilangan maknanya dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum akan semakin rapuh. Tantangan ke depan adalah bagaimana menciptakan sistem yang benar-benar mampu melindungi hakim dari segala bentuk intervensi dan tekanan, agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan penuh keberanian, integritas, dan dedikasi dalam menegakkan keadilan yang sesungguhnya.
