
Beberapa waktu yang lalu DPR merevisi Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Usulan revisi Tatib ini berasal dari Mahkamah Kehormatan DPR (MKD), proses pembahasannya juga sangat begitu cepat dan hanya dalam waktu lebih kurang tiga jam seluruh fraksi partai politik menyetujui perubahan tatib tersebut dan disahkan dalam rapat Paripurna di hari Selasa, 4 Februari 2025.
Hasil revisi Tatib a quo menghadirkan sejumlah Pasal diantaranya Pasal 228A. Lebih kurang isi pasal tersebut adalah DPR bisa menarik kembali setiap pejabat negara yang telah melewati proses mekanisme checks and balances dalam bentuk fit and proper test. DPR ingin memasang kewenangan agar mereka bisa mencabut, memecat, mengintervensi setiap orang yang duduk di suatu lembaga negara, contoh sederhananya ialah Hakim Mahkamah Konstitusi, kita sebut saja contoh kasus seperti penarikan Hakim MK Aswanto ditahun 2022 kemarin, meskipun ada banyak komisioner atau pimpinan lembaga negara lain yang harus melewati fit and proper test DPR. Penting untuk diingat bahwa pencopotan hakim MK kemarin sangat tidak dibenarkan.
Baca juga:
Dilema Sistem Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia: Langsung atau melalui DPRD?
Sumber kekacauannya datang dari ketidakpahaman para anggota DPR itu sendiri, mereka menganggap setiap orang yang mereka uji akan menjadi hak milik mereka. Membuat peraturan tatib yang bersifat internal tapi justru ingin memiliki daya fungsi yang berdampak ke eksternal. Kekacauan berfikir inilah yang mestinya dihentikan dan dilawan. Kita semua mungkin sudah letih dan bosan dengan langkah-langkah kebijakan yang sering dibuat oleh DPR, beberapa kali DPR mencoba untuk bisa masuk sekaligus merusak hubungan antar lembaga lain, sebagaimana yang dipahami bahwa dalam hukum tata negara dikenal ada tiga cabang pemisahan atau pembagian kekuasan negara yang biasa disebut sebagai trias politica.
Ada tiga hal yang dapat membantah itu semua menurut Zainal Arifin Mochtar, pertama dari segi hierarki peraturan perundangan-undangan, kedua dari segi konsep trias politica / separation of power dan yang ketiga dari segi kewenangan.
Pertama dari segi hierarki peraturan perundang-undangan, urutan dari mulai aturan tertinggi hingga aturan terendah. Pasal 7 UU 12/2011 bahwa UUD merupakan produk hukum tertinggi dan yang paling rendah adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Keberadaan Peraturan Tatib DPR ini tidak masuk dalam klasifikasi hierarki peraturan perundang-undangan karena ia merupakan anak peraturan yang dihasilkan dari undang-undang, lebih tepatnya UU 13/2019. Peraturan Tatib merupakan peraturan yang hanya mengikat kedalam dan bukan keluar yang maknanya ialah hanya berlaku khusus bagi mereka yang duduk sebagai anggota DPR. Peraturan tatib yang mengikat kedalam itu tidak akan pernah bisa memiliki daya ikat keluar apalagi sampai berdampak pada pengambil alihan kekuasaan cabang kekuasaan lain. Sebagai contoh ketika pimpinan komisioner KPK ingin dibentuk maka presiden adalah orang yang berhak untuk mengajukan nama-nama calon tersebut, setelah memiliki beberapa nama kemudian nama-nama itu dikirim ke DPR untuk di uji kelayakan. Uji kelayakan tersebut hanya sebagai tindakan menyetujui atau tidak menyetujui calon yang di ajukan oleh lembaga eksekutif. Ketika nama-nama tersebut disetujui maka habislah peran anggota DPR. Setelah menyetujui DPR sama sekali tidak berhak untuk menarik apalagi memecat karena inimerupakan salah satu peran untuk memenuhi apa yang disebut checks and balances. Mahasiswa semester 1 tentu paham mengenai konsep teori ini.
Kedua dari segi teori separation of powers. Pemisahakan kekuaasan yang kita pakai saat ini memiliki berbagai tafsir diberbagai pendapat akademisi, ada yang berpendapat bahwa negara ini bukan sistem pemisahan kekuasaan tetapi sistem pembagian kekuasaan, ada juga yang berpendapat bahwa sistem negara ini adalah campuran antara pemisahan dan pembagian kekuasaan. Apapun prinsip yang diyakini separation or distribution of power tetaplah tidak akan membenarkan apa yang dilakukan DPR dalam membentuk Tatib a quo. Sebagai contoh pengangkatan hakim Mahkamah Konstitusi, tiga lembaga trias politica memiliki porsi masingmasing mengajukan/mengusulkan tiga calon hakim MK. Tiga oleh Mahkamah Agung, tiga oleh Presiden dan tiga oleh DPR. Membagi rata dari sembilan jumlah hakim MK adalah untuk memastikan prinsip fairness terwujud, ketika nama-nama tersebut telah dipilih oleh lembaga pengusung dan disetujui lulus mekanisme fit and proper test, tidak ada lagi hal yang bisa dilakukan oleh ketiga lembaga tersebut. Bukan hanya berlaku untuk pemilihan hakim MK, pimpinan lembaga independen lain juga memiliki ketentuan yang sama halnya. Kalau bagi hakim diseluruh dunia juga dikenal teori bahwa hakim dalam menjalankan tugasnnya harus merdeka dan itulah yang disebut sebagai independensi kehakiman.
Ketiga dari segi kewenangan. Secara normatif tidak ada peraturan perundang-undangan yang memiliki perintah bahwa setiap pejabat yang telah melewati mekanisme fit and proper test dapat ditarik kembali, dan secara teori tidak ada teori yang membenarkan hal tersebut. Kewenangan itu lahir dari tiga konsep yaitu atributif, delegatif dan mandat. Atribusi adalah hal yang melekat dalam jabatan oleh karenanya kewenangan atribusi itu harus diatur diaturan yang paling tertinggi, bisa diatur didalam undang-undang dasar dan undang-undang. Tatib ini sama sekali tidak memenuhi unsur tersebut.
Kesimpulannya adalah tatib ini sangat bertentangan dengan teori ilmu hukum tata negara, ini bukan pertama kali DPR membuat aturan yang penuh kekacauan. Ini salah satu upaya untuk membuat semua kekuasaan lembaga negara tunduk dibawah keinginan politik sepihak. Semua pejabat yang berkualitas akan dengan mudah dibuang dengan menggunakan tatib ini. Ini yang harus dilawan.