Dilema Sistem Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia: Langsung atau melalui DPRD?

Pemilu selalu menjadi ajang perdebatan tentang siapa yang paling tepat memilih kepala daerah, baik di tingkat gubernur, bupati, maupun wali kota. Ada pihak yang menyarankan agar pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD saja, sementara yang lain lebih mendukung pemilihan langsung oleh rakyat. Kedua opsi ini sudah pernah diterapkan di Indonesia. Namun, mana yang terbaik untuk menjaga demokrasi tetap sehat dan stabil?

Isu ini kembali mencuat setelah kekalahan partai koalisi besar pemerintah dalam perebutan kursi gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2024. Empat belas partai koalisi yang didukung pemerintah kalah dari satu partai oposisi. Kekalahan ini cukup signifikan, terutama karena posisi gubernur DKI Jakarta dianggap strategis sebagai pusat bisnis, perdagangan, dan pemerintahan. Presiden pun mengangkat isu perubahan sistem pemilukada dalam suatu acara partai, memicu diskusi lebih lanjut.

Tujuan di Balik Wacana Perubahan

Tujuan dari wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah harus diteliti lebih lanjut. Apakah perubahan ini bertujuan untuk:

  1. Memperbaiki sistem demokrasi, mengurangi biaya politik yang mahal, dan mengurangi politik uang? atau
  2. Mempermudah penguasa untuk menempatkan orang-orang pilihan di wilayah strategis?

Jika tujuan utamanya adalah poin pertama, tentu ini merupakan langkah positif. Namun, jika poin kedua adalah alasan sebenarnya, perubahan sistem ini hanya akan memperburuk demokrasi.

Pelajaran dari Pilkada Jakarta 2024

Pilkada Jakarta 2024 menunjukkan bahwa masyarakat ibu kota memiliki literasi politik yang tinggi. Mereka paham asas-asas pemilu dan mampu melawan politik uang. Jakarta menjadi satu-satunya provinsi di mana money politics dan calon dengan modal besar tidak selalu unggul. Sayangnya, hal ini belum terjadi di provinsi lain. Dari 38 provinsi, hanya Jakarta yang menunjukkan literasi politik yang memadai.

Perspektif Konstitusi

Secara konstitusi, pemilihan kepala daerah berbeda dengan pemilihan presiden. Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa presiden dipilih langsung oleh rakyat. Sementara, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menggunakan frasa “dipilih secara demokratis” untuk kepala daerah, yang dapat ditafsirkan sebagai pemilihan langsung oleh rakyat atau oleh DPRD.

Menurut Prof. Saldi Isra, penyusun UUD sengaja menggunakan frasa multitafsir tersebut. Hal ini dilakukan agar sistem pemilihan kepala daerah dapat disesuaikan dengan pola pemilihan presiden. Jika presiden dipilih langsung oleh rakyat, maka kepala daerah pun dapat dipilih langsung.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019 dan Nomor 85/PUU-XX/2022 menegaskan bahwa tidak ada perbedaan rezim antara pemilu dan pilkada. Namun, implementasi norma ini masih menjadi perdebatan, mengingat berbagai kelemahan dari kedua sistem pemilihan tersebut.

Catatan Sejarah dan Tantangan Sistem

Sejak masa reformasi, Indonesia pernah menerapkan sistem di mana DPRD memilih kepala daerah. Namun, praktik ini mendorong jual beli suara di DPRD, sehingga pemilihan menjadi ajang transaksi politik. Oleh karena itu, pada tahun 2004, sistem pemilihan langsung diperkenalkan. Namun, sistem ini juga memunculkan masalah baru, seperti biaya politik yang sangat mahal dan serangan fajar untuk membeli suara rakyat.

KPK mencatat bahwa biaya politik seorang calon dalam pilkada bisa mencapai Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar. Kepala daerah yang menang sering kali harus mencari cara untuk mengembalikan modal pencalonan, yang berujung pada praktik korupsi. Bahkan, jual beli jabatan birokrasi menjadi hal yang lumrah untuk menutupi biaya tersebut.

Pilihan di Tengah Keterbatasan

Prof. Mahfud MD menyebut isu ini sebagai “eksperimental”. Artinya, sistem pemilihan terus diuji, tetapi selalu ada kelemahan. Baik pemilihan langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD memiliki risiko korupsi dan politik uang jika budaya politik yang sehat belum terbentuk.

Prof. Burhanuddin Muhtadi menambahkan bahwa pilkada serentak dengan pilpres dan pileg memperburuk situasi. Kartel politik semakin menguat, mengurangi kompetisi antarpartai, dan mempersempit pilihan kandidat. Keserentakan pemilu juga meningkatkan money politics secara drastis.

Baca juga:
Jangan Gunakan Sebutan Zaken Kabinet

Kesimpulan dan Rekomendasi

Penulis berpendapat bahwa pilkada sebaiknya tetap dipilih langsung oleh rakyat, sesuai dengan esensi konstitusi yang mengacu pada pemilihan presiden. Namun, perubahan sistem mungkin diperlukan di masa depan, ketika literasi politik masyarakat di seluruh Indonesia telah setara dengan Jakarta. Saat ini, mengembalikan kewenangan kepada DPRD hanya akan memperburuk masalah korupsi dan politik uang.

Langkah yang lebih mendesak adalah meningkatkan literasi politik, menanamkan nilai-nilai antikorupsi, dan memperbaiki budaya politik di semua tingkatan. Dengan demikian, demokrasi Indonesia dapat berjalan lebih sehat dan transparan.

M. Kholis M.A Harahap, SH
M. Kholis M.A Harahap, SH

M. Kholis M.A Harahap, SH merupakan pemerhati hukum tata negara.

Articles: 8