Menteri ditunjuk dan dilantik setelah Presiden mulai berkuasa. Proses pengangkatan dan pemberhentian menteri merupakan hak prerogatif Presiden. Ketika masa jabatan Presiden habis, otomatis habis juga masa jabatan seorang menteri. Namun, uniknya, saat proses pergantian Presiden terjadi, ada sebagian atau separuh dari menteri bekas presiden sebelumnya yang masih dipercaya untuk menjabat di pemerintahan yang baru. Secara hukum, hal ini memang tidak salah, tetapi jika menteri yang ditunjuk kembali memiliki rekam jejak bermasalah atau terindikasi kasus korupsi, maka hal ini dapat mengurangi rasa kepercayaan publik terhadap pemerintahan tersebut.
Dalam memenangi kontestasi pilpres, membangun dan membentuk dukungan sebesar-besarnya memang sangat penting dilakukan. Namun, ketika kepentingan tersebut mencapai puncaknya dan berhasil memenangkan kursi kepresidenan, membagi-bagi jabatan secara berlebihan kepada para pendukung justru dapat mengurangi nilai objektivitasnya. Apalagi, kemenangan-kemenangan tersebut harus banyak menampung keinginan seluruh partai politik pendukung.
Zaken Kabinet merupakan kabinet yang terdiri dari mayoritas para pakar di bidangnya. Kabinet tersebut juga memiliki nama lain berupa Kabinet Karya yang dapat diartikan sebagai kabinet yang tidak didasarkan pada dukungan dari parlemen. Hal ini dikarenakan kondisi negara dalam keadaan darurat, sehingga Kabinet Zaken dipilih berdasarkan keahlian. Kabinet Zaken atau Kabinet Karya ini secara resmi muncul pada tanggal 9 April 1957. Zaken Kabinet atau Kabinet Karya merupakan sebuah kabinet yang dibentuk oleh Ir. Djuanda sebagai perdana menteri yang menjabat di tahun 1957. Hal inilah yang membuat Kabinet Zaken disebut juga sebagai Kabinet Djuanda.
Kabinet Zaken dibentuk saat dibutuhkannya formasi untuk mengisi kabinet Darurat Ekstra Parlementer. Hal ini dikarenakan kabinet sebelumnya gagal dibentuk berulang kali, sehingga ada opsi untuk membentuk kabinet yang akan diisi oleh para ahli. Zaken Kabinet disebut sebagai kabinet profesional dan juga kabinet koalisi terbatas. Hal ini tidak terlepas dari fungsinya yang mampu membentuk kabinet secara kuantitas jumlah anggota kabinet yang berasal dari unsur partai politik dengan tidak melebihi unsur profesional. Fungsi Kabinet Zaken juga lebih menekankan pada kompetensi dan profesionalisme para anggotanya dibandingkan dengan akomodasi politik yang dimiliki.
Tidak hanya diisi oleh kaum profesional yang ahli sesuai bidang, kabinet ini juga menterinya tidak diusung oleh partai politik. Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan menteri tersebut berasal dari partai politik. Namun demikian, mereka tidak terlibat dalam pergerakan partai politik. Kabinet yang diisi oleh mayoritas orang-orang teknokratik dan minim dengan negosiasi partai politik (tanpa unsur bagi-bagi kue kekuasaan) meskipun ada seorang teknokratik yang merupakan suatu kader dari partai politik.
Kualitas sebuah pemerintahan tergantung pada seorang Presiden dalam memilih para menteri-menterinya. Presiden sebagai kepala negara juga sekaligus kepala pemerintahan, unsur penilaian pertamanya ada pada hal pemilihan menteri. Pembentukan dan pemilihan orang-orang yang akan ditempatkan di kabinet merupakan hal utama ketika Presiden Prabowo dilantik.
Baca juga:
Presiden Indonesia dengan Latar Belakang Militer: Tantangan dan Harapan
Biasanya seorang Presiden dihadapkan pada tiga pilihan. Pilihan pertama, menunjuk seorang teknokrat yang berkapabilitas dan ahli di bidangnya. Kedua, memilih orang-orang berdasarkan afiliasi partai politik yang berjasa mendukungnya dalam memenangi kontestasi pilpres (diragukan kapabilitasnya tapi besar jasanya karena telah membantu untuk pemenangan). Terakhir, Presiden kadangkala memilih seseorang yang cukup ahli dari sisi akademiknya tetapi ia tidak ditempatkan di bidang keahliannya dan yang pasti juga bukan orang-orang yang memiliki rekam jejak yang bermasalah.
Idealnya, sebagai pimpinan, pilihan pertama dan ketiga seharusnya presiden sudah memiliki nilai baik di mata masyarakat. Meskipun pada pilihan kedua bisa saja datang orang-orang yang berkapabilitas berasal dari partai politik, masalahnya adalah bila membaca latar belakang atas kemenangan dalam kontestasi pilpres ini, sulit mengatakan bahwa orang yang ditunjuk sebagai menteri dan terafiliasi kuat dengan partai politik adalah orang yang berkompeten. Asal melaksanakan kemauan petinggi partai, maka akan menjadi orang yang dipilih.
Pembentukan kabinet zaken memang bukan bertujuan untuk menyingkirkan peran partai politik dalam pemerintahan, partai politik justru sebagai salah satu pilar terpenting dalam sistem demokrasi hanya saja asbabun nuzul kabinet zaken ini diharapkan akan lebih berpihak kepada kepentingan rakyat ketimbang kabinet berbasis kepentingan partai. Apalagi cabinet berbasis politik bagi-bagi kekuasaan rentan akan adanya konflik kepentingan. Salah satu contoh kecil misalnya adalah kepentingan menteri sebagai pejabat publik yang harus melayani publik, di sisi lain juga digenjot untuk melayani partainya.
Merangkul semua partai politik yang ada dan hampir tidak menyisakan ruang oposisi, juga merangkul organisasi civil society dan lawan politik dengan mengatakan semua harus bersatu dan bekerjasama, justru sangat bertentangan dengan prinsip zaken kabinet yang pernah ada. Zaken kabinet tidak merangkul semua partai politik untuk membuat pemerintahan yang sedang dijalankan menjadi lebih kokoh. Yang dibutuhkan dari kabinet zaken hanyalah seseorang yang ahli dan berkompeten di bidangnya.
Gagasan Presiden Prabowo yang ingin merangkul semua partai politik sangat contradictio in terminis dengan kabinet zaken yang pernah ada di zaman Presiden Soekarno dulu. Saya menyebut kabinet yang dibentuk oleh Presiden Prabowo ini jauh dari kabinetnya para ahli, meskipun ada beberapa orang yang ahli tapi mereka menjadi minoritas. Oleh karenanya, saya menyebut judul dalam tulisan ini adalah “Jangan Sebut Zaken Kabinet.” Saya memiliki istilah lain yang lebih tepat terhadap menteri di kabinet pemerintahan pertama Presiden Prabowo ini, yaitu kabinet seken (second cabinet) karena hampir setengahnya atau mungkin lebih, menteri-menteri yang ditunjuknya merupakan menteri bekas dari presiden sebelumnya.
Kabinet Merah Putih milik Presiden Prabowo ini banyak disebut sebagai kabinet yang terlalu gemuk atau obesitas. Hal ini disebabkan oleh besarnya dukungan politik saat kontestasi pilpres kemarin, sehingga ia menjanjikan jabatan kepada para pendukungnya. Ada sekitar 53 menteri dan pejabat setingkat menteri yang dilantik, ditambah lagi dengan 56 wakil menteri, sehingga total ada 109 orang (setneg.go.id).
Feri Amsari mengatakan bahwa sebagai perbandingan, jumlah menteri di Amerika Serikat sebagai negara penganut sistem presidensial pertama, yang presidennya pertama adalah George Washington, hanya berjumlah 4 orang. Setelah 250 tahun berlalu, hingga saat ini di masa pemerintahan Presiden Joe Biden, jumlah menterinya hanya 15 orang. Di Indonesia, jumlah menteri dibatasi pada saat rezim Presiden SBY dengan terbitnya UU No. 39 Tahun 2008 agar presiden terpilih tidak boleh ditawan oleh kepentingan partai politik.
Hasil penelitian Pusat Studi Konstitusi yang disebut Feri Amsari menyatakan bahwa kebutuhan Indonesia terhadap jumlah menteri hanya 21 orang dan itupun sudah dipaksakan, seharusnya bisa lebih kecil. Semakin banyak jumlah menteri akan semakin semrawut penyelenggaraan pemerintahan. Penjelasannya sederhana, semakin sedikit jumlah menteri akan semakin hemat anggaran. Kalau semua menteri diberikan mobil dinas Mercedes Benz seharga 3 miliar dikali dengan 109 orang, maka sudah berapa ratus miliar yang dikeluarkan, sementara kita bercita-cita mau memberantas kemiskinan dengan makanan bergizi gratis dan ternyata yang dapat mobil gratis anggota kabinet.
Mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem presidensial yang cukup berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer. Cara mudah untuk mengenali sistem pemerintahan adalah dengan memperhatikan di mana letak objek utama yang diperebutkan. Dalam sistem pemerintahan parlementer, objek utama yang diperebutkan adalah parlemen. Pemilu parlemen menjadi sangat penting karena kekuasaan eksekutif hanya mungkin diperoleh setelah partai kontestan pemilu berhasil meraih kursi mayoritas di parlemen. Selain itu, dalam sistem ini, menteri bertanggung jawab kepada parlemen, singkatnya, parlemen adalah kekuasaan tertinggi dalam sistem negara.
Badan eksekutif dan badan legislatif bergantung satu sama lain dan mati-hidupnya kabinet bergantung kepada dukungan dalam badan legislatif. Oleh karena itu, pemerintahan eksekutif harus mendapat dukungan mayoritas lembaga legislatif.
Berbeda dengan sistem presidensial yang kita miliki, hidup-matinya seorang Presiden tidak bergantung pada dukungan partai politik yang ada di parlemen. Jika presiden tidak mendapat dukungan oleh parlemen, paling tidak semua kebijakannya dalam hal pembentukan undang-undang tidak disetujui oleh DPR. Namun yang penting, tidak mendapat dukungan parlemen bukan berarti Presiden dapat dijatuhkan begitu saja. Ada beberapa syarat yang menyebabkan presiden bisa di-impeach oleh parlemen, salah satunya adalah jika Presiden melakukan tindak pidana korupsi.
Seharusnya Presiden Prabowo tidak perlu menampung semua kemauan partai politik, sesuai dengan pidato pertamanya bahwa ia bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kawan-kawan terdekat. Jadi, melihat strategi politik Presiden Prabowo dengan merangkul semua partai politik yang sudah sangat gemuk yang bertujuan untuk kelancaran dalam menjalankan roda pemerintahannya menjadi sedikit rancu. Padahal, dalam ruang demokrasi, partai oposisi sangat diperlukan sebagai penyeimbang partai yang berada di dalam kekuasaan. Pemerintah tanpa oposisi akan menyebabkan pemerintahan yang otoritarianisme.