Presiden Indonesia dengan Latar Belakang Militer: Tantangan dan Harapan

Selama 10 tahun terakhir, Indonesia dipimpin oleh seseorang yang tidak berdarah biru dan bukan berasal dari kalangan elit, melainkan dari kalangan biasa. Kini, saatnya bagi kita untuk lima tahun ke depan, hingga tahun 2029, dipimpin oleh seorang pemimpin berlatar belakang militer, yaitu Prabowo Subianto. “Presiden baru, harapan baru” adalah semangat awal yang mendorong penulisan ini. Meskipun proses pengawasan sebagai warga negara atau masyarakat sipil tetap harus berjalan untuk mengkritisi seluruh kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintahan baru, kali ini saya tidak mengkritik bagaimana hukum dijalankan. Sebaliknya, saya ingin memberikan sedikit harapan, khususnya di bidang pertahanan negara, yang sesuai dengan latar belakang presiden terpilih.

Buku yang baru saya baca memang terkenal sebagai bukunya para diktator, tetapi saya mengutip poin dalam buku tersebut yang sama sekali tidak bersinggungan dengan kediktatoran dalam mempertahankan kekuasaan jabatan Presiden. Sebaliknya, buku tersebut membahas bagaimana memperkuat kekuatan negara dalam sektor pertahanan militer dari ancaman bangsa lain. Sebagai disclaimer yang sudah saya sebutkan, justru pemimpin diktatorlah yang harus kita hindari.

Buku itu berjudul Sang Penguasa karya Machiavelli. Ia mengatakan bahwa dalam mempertahankan negara atau kerajaan, hal utama yang paling dapat memperkuat keamanan dan pertahanan sebuah negara adalah dengan menggunakan kekuatan militer hasil karya sendiri. Dalam bukunya, ia membagi kekuatan militer menjadi tiga bagian untuk mempertahankan sebuah kerajaan: pertama, menggunakan tentara bayaran untuk mempertahankan eksistensi negara; kedua, menggunakan tentara gabungan atau bantuan dari negara lain; dan ketiga, menggunakan tentara negara sendiri. Di era modern seperti sekarang ini, kekuatan militer tidak lagi dinilai dari seberapa banyak pasukan sumber daya manusia yang dimiliki oleh suatu negara, melainkan dari seberapa canggih peralatan militer yang dimiliki. Misalnya, memiliki banyak peralatan persenjataan yang canggih, baik itu peralatan perang darat, laut, dan udara, serta semua alutsista yang bisa dioperasionalkan tanpa awak manusia.

Memang dalam pembukaan konstitusi kita secara eksplisit disebutkan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, tetapi bukan berarti memperkuat pertahanan negara, khususnya di bidang militer, bertujuan untuk menjajah bangsa lain. Sebaliknya, tujuannya adalah untuk membela negara jika suatu waktu diserang dan mendapat ancaman. Selain itu, memperkuat pertahanan negara juga berfungsi sebagai tameng agar negara lain tidak memandang rendah bangsa ini. Maksud penulis bukanlah untuk beradu kekuatan dengan negara lain, tetapi poin pentingnya adalah bagaimana Indonesia dapat mandiri dalam memperkuat pertahanan militer tanpa menggunakan produk dari luar negeri.

Sebagaimana kita ketahui, saat ini negara kita masih menggunakan pesawat tempur, helikopter, tank, dan senjata hasil produksi dari negara lain. Padahal, menurut teori Machiavelli, hal ini justru membahayakan keamanan dan ketahanan negara itu sendiri. Menggunakan peralatan negara lain sebagai benteng pertahanan berarti negara kita tidak akan bisa lebih baik dalam hal pertahanan dibandingkan dengan negara yang memproduksi alutsista tersebut. Dalam teorinya, pertama, jika sebuah negara menggunakan peralatan yang dibeli dari luar, maka suatu saat negara tersebut bisa saja mengancam balik negara yang menggunakan produk mereka, karena mereka tahu seberapa kuat level pertahanan kita. Kedua, jika suatu saat peperangan antar negara terjadi dan kita memenangi peperangan tersebut dengan menggunakan peralatan alutsista yang kita beli dari luar, kemungkinan besar musuh yang kita kalahkan tadi juga akan membeli dan menggunakan peralatan perang yang sama dengan milik kita, dan mungkin saja mereka juga sanggup untuk membelinya. Ketiga, ketika kita mempercayai bahwa peralatan perang yang kita beli dari luar memiliki fungsi dan manfaat yang baik, tetapi justru sudah diidentifikasi lebih dulu oleh musuh bahwa alutsista yang kita miliki memiliki kelemahan yang mungkin mereka bisa atasi.

Presiden terpilih, Prabowo Subianto, memiliki latar belakang militer. Sebelum mencapai puncak kepemimpinan bangsa ini, ia memegang kendali atas pertahanan negeri dengan menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Selama kurang lebih lima tahun menjabat sebagai Menteri Pertahanan, beliau memahami dengan baik tingkat pertahanan negara ini. Setelah naik satu tingkat dari pembantu Presiden (Menteri) menjadi Presiden terpilih, harapannya di bidang pertahanan dan keamanan negara adalah agar bangsa Indonesia secara perlahan mampu menciptakan dan memproduksi semua peralatan perang sendiri. Kita harus mulai meninggalkan produksi dari negara lain dan beralih menggunakan peralatan sendiri dengan mengembangkan penelitian serta membangun kampus-kampus yang fokus pada pembangunan alutsista militer.

Kita tidak pernah tahu apakah di masa depan negara ini akan diserang oleh negara lain atau tidak, namun satu hal yang pasti adalah jika pertahanan suatu negara lemah, kemungkinan besar negara tersebut dapat dengan mudah dikuasai oleh negara lain. Lihatlah bagaimana negara lain seperti China, Korea Utara, Amerika Serikat, dan negara lainnya yang sudah memamerkan salah satu alat perang andalan mereka, yaitu senjata nuklir, yang semua orang tahu memiliki dampak luar biasa bagi bumi dan kehidupan manusia. Lalu, apa tantangannya bagi negara kita? Tentu saja tantangan utamanya adalah kita juga harus mampu menciptakan senjata nuklir yang sama kuatnya dengan negara lain. Penulis kira dorongan pertama untuk Presiden baru nanti adalah bagaimana ia memikirkan soal alat perang, entah itu pesawat tempur, senjata, tank, keamanan siber, hingga bom nuklir. Kita semua harus memulainya secara perlahan untuk bisa mencapai level seperti negara lain.

Sebagai negara kepulauan yang sangat luas, menjaga kedaulatan tidaklah berlebihan jika langkah utama yang harus dipikirkan oleh pemimpin adalah menciptakan kapal perang buatan sendiri. Mungkin saja luas laut yang kita miliki dengan jumlah kapal yang ada saat ini tidak cukup untuk melindungi seluruh wilayah perairan kita.

Selain itu, ada beberapa tantangan lain dalam menghadapi pemerintahan yang baru, seperti bagaimana memilih para menteri yang cakap dan profesional di bidangnya. Yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana seorang presiden dapat menyikapi dan menghindari para penjilat kekuasaan, terutama di tahun pertama pemerintahannya nanti.

Baca juga: Keberlanjutan Menunggangi Badan Peradilan?

Kualitas Para Menteri Mencerminkan Kualitas Seorang Presiden

Pemilihan para pembantu Presiden adalah hal yang sangat penting. Kualitas mereka bergantung pada kebijaksanaan Presiden itu sendiri. Kesan utama mengenai seorang Presiden dan kebijaksanaannya dapat dilihat dari kualitas orang-orang di sekelilingnya. Jika mereka kompeten dan memiliki integritas, maka Presiden dianggap bijaksana karena mampu mengenali kemampuan mereka. Namun, jika masyarakat menilai mereka tidak ahli dalam urusan pemerintahan, Presiden dianggap salah dalam memilih pembantunya. Mengutamakan pembagian kekuasaan karena negosiasi dengan banyak partai politik dibandingkan mengutamakan kompetensi dan integritas seorang Menteri adalah kesalahan besar seorang Presiden.

Ada tiga jenis keahlian. Pertama, seseorang yang memiliki pemahaman sendiri atas segala sesuatu. Kedua, seseorang yang bisa menghargai pemahaman orang lain. Ketiga, seseorang yang tidak bisa memahami sesuatu sendiri maupun melalui pemahaman orang lain. Yang pertama adalah yang paling baik, yang kedua juga baik, dan yang ketiga sama sekali tidak ada sisi baiknya alias tidak berguna.

Seorang pemimpin harus memiliki minimal dua keahlian seperti yang disebutkan tadi. Pertama, ia harus bisa memahami kualitas seorang menteri secara mandiri. Kedua, ia harus bisa memahami dan menghargai pandangan orang lain yang memberikan masukan terkait kapabilitas seorang menteri. Jika seorang presiden tidak bisa memahami sesuatu secara mandiri maupun melalui pemahaman orang lain, maka sudah dipastikan negara yang ia pimpin berada di jurang kehancuran dan kediktatoran.

Ada satu cara yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk menilai para pembantu Presiden. Jika seorang menteri lebih memikirkan kepentingan diri dan partai politiknya daripada kepentingan masyarakat, serta sibuk mencari keuntungan pribadi dalam segala hal yang dilakukannya, rakyat pasti akan menilai bahwa menteri tersebut adalah cerminan dari pimpinannya. Rakyat tidak akan pernah bisa mempercayainya. Meskipun yang bertindak adalah pembantunya, semua tindakan pembantu itu adalah cerminan dari Presiden. Kebijakan dari seorang menteri tentu harus berasal dari inisiatif Presiden dan bukan sebaliknya. Walaupun sah-sah saja ketika usulan kebijakan berasal dari menteri, Presiden harus menyetujui lebih dulu apakah cocok atau tidak dengan visi misinya. Oleh karena itu, seorang Presiden harus berhati-hati dalam memilih pembantunya.

Menyingkirkan Para Penjilat

Sesuatu yang sulit dihindari oleh para penguasa, kecuali jika mereka sangat berhati-hati dan bijaksana, adalah menghindari para penjilat yang banyak di sekeliling mereka. Satu-satunya cara untuk melindungi diri dari para penjilat adalah dengan memberi pemahaman kepada semua orang bahwa mengatakan kebenaran di hadapan kita tidak akan membuat kita tersinggung.

Presiden yang bijak akan melakukan beberapa hal, yaitu memilih orang-orang bijak di negerinya dan memberi mereka kebebasan untuk mengatakan kebenaran kepadanya. Kebebasan ini hanya diberikan kepada mereka dan hanya untuk persoalan yang ia mintakan pendapatnya, bukan tentang yang lain. Seorang Presiden harus meminta pendapat kepada orang-orang yang dipercayainya sejak awal, mendengarkan pendapat mereka tentang segala hal, dan kemudian membuat keputusan sendiri. Dalam berinteraksi dengan orang-orang yang ia anggap memiliki kapabilitas di bidangnya, Presiden harus menunjukkan sikap yang apa adanya sehingga mereka yang dimintai pendapatnya tahu bahwa semakin terbuka mereka berbicara, semakin pimpinan menyukainya.

Di luar orang-orang yang ia mintai pendapatnya, ia tidak perlu mendengarkan pendapat orang lain dan tetap menjalankan apa yang telah menjadi keputusannya. Biasanya para penjilat sering muncul ketika mereka tidak dimintai pendapat, meskipun kadang kala penjilat itu juga datang ketika diminta pendapatnya. Yang membedakan seorang penjilat adalah pendapatnya sering mengglorifikasi dan mengangkat setinggi-tingginya sikap seorang pemimpin, bahkan sampai mencarikan alasan pembenar jika pemimpin sedang dihadapkan dengan ketidakbenaran. Presiden yang tidak memiliki kebijakan seperti ini akan mengalami kehancuran akibat mendengarkan para penjilat atau sering berubah arah kebijakan karena mendengarkan terlalu banyak pandangan yang berbeda, sehingga rakyat akan kehilangan rasa hormat terhadap dirinya.

M. Kholis M.A Harahap, SH
M. Kholis M.A Harahap, SH

M. Kholis M.A Harahap, SH merupakan pemerhati hukum tata negara.

Articles: 6