Warisan Tanah untuk WNA: Hak Milik atau Sekadar Mimpi?

Oleh Achmad, S.H.

Paralegal di Law Firm AHS & Rekan

Tingginya mobilitas penduduk antar negara dapat menyebabkan perubahan status kewarganegaraan. Hal ini juga dialami oleh warga negara Indonesia yang memilih menjadi warga negara asing karena berbagai alasan, seperti pendidikan, pekerjaan, atau pernikahan. Interaksi antar individu dari latar belakang kewarganegaraan yang berbeda sering kali berujung pada pernikahan, yang dikenal sebagai perkawinan campuran. Saat ini, perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dan warga negara asing semakin umum terjadi. Salah satu permasalahan yang sering muncul dalam perkawinan campuran adalah terkait status kewarganegaraan dan hak waris. Namun, perbedaan kewarganegaraan tidak serta-merta menjadi hambatan dalam pewarisan dan tidak menghilangkan ikatan darah dengan keluarga yang masih tinggal di Indonesia.

Di Indonesia, sistem kewarisan masih bersifat pluralistik, sehingga terdapat tiga sistem hukum waris yang berkembang dan diakui, yaitu Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Perdata Barat. Masing-masing sistem hukum ini memiliki karakteristik dan ciri khas tersendiri, yang dipengaruhi oleh keragaman budaya di Indonesia. Meskipun terdapat perbedaan di antara ketiganya, pada dasarnya semua sistem hukum ini memiliki tujuan yang sama, yaitu mengatur peralihan hak atas harta peninggalan pewaris kepada ahli warisnya. Peraturan mengenai hukum waris di Indonesia salah satunya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di Pasal 852 yang mengatur:

“mengenai anak-anak atau keturunan-keturunan, yang dilahirkan dari orang tuanya, berhak untuk mewarisi harta peninggalan dari para orang tua mereka, dari kakek dan nenek mereka, atau dari keluarga-keluarga yang sedarah dengan mereka yang selanjutnya dalam garis lurus keatas, tanpa membedakan jenis kelamin atau siapa yang lahir lebih dulu.”

Harta warisan dapat dibagikan kepada ahli waris setelah pewaris meninggal dunia. Pada saat itu, hak atas warisan secara otomatis beralih kepada ahli waris sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, baik dalam Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, maupun Hukum Waris Perdata. Harta warisan dapat terdiri dari berbagai jenis aset, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, dapat habis pakai maupun tidak, serta mencakup benda yang sudah ada maupun yang akan ada di masa mendatang. Salah satu persoalan yang kerap muncul dalam perkawinan campuran adalah terkait status kewarganegaraan dan hak waris.  

Baca juga:
Pentingnya Pengesahan RUU Perampasan Aset dalam Upaya Pemulihan Keuangan Negara

Di Indonesia, kepemilikan tanah dan bangunan diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Berdasarkan peraturan ini, hak milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh perseorangan yang berstatus Warga Negara Indonesia (WNI), baik pria maupun wanita, yang tidak memiliki kewarganegaraan ganda. Selain itu, hak milik atas tanah juga dapat dimiliki oleh badan hukum tertentu, seperti bank yang didirikan oleh negara, koperasi pertanian, badan keagamaan, dan badan sosial.

Salah satu permasalahan yang sering terjadi dalam perkawinan campuran adalah mengenai status kewarganegaraan dan hak waris. Meskipun terdapat perubahan kewarganegaraan, hal ini tidak menjadi hambatan dalam proses pewarisan serta tidak secara otomatis menghilangkan hubungan darah dengan keluarga yang tetap tinggal di Indonesia. Namun dalam konteks pewarisan, aturan mengenai kepemilikan tanah oleh Warga Negara Asing (WNA) atau Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah berpindah kewarganegaraan memiliki ketentuan khusus. Larangan kepemilikan tanah bagi WNA tidak serta-merta menggugurkan hak warisnya atas tanah berstatus hak milik di Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang menyatakan bahwa:

“Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.”

Bahwa penulis berpendapat bahwa Warga Negara Asing (WNA) tidak dapat memiliki hak milik atas tanah di Indonesia selama mereka berstatus sebagai warga negara asing. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menetapkan bahwa hak milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) dan badan hukum tertentu. Jika WNA memperoleh tanah melalui warisan atau percampuran harta dalam perkawinan, mereka wajib mengalihkan hak tersebut dalam waktu satu tahun. Jika tidak, hak atas tanah tersebut akan gugur dan menjadi milik negara. Oleh karena itu, ahli waris yang berkewarganegaraan asing perlu segera mengambil langkah yang diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas tanah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tindakan ini penting guna menghindari potensi masalah hukum serta mencegah hilangnya hak atas tanah yang diwarisi.

Admin
Admin

Smart Lawyer lebih dari sekedar blog atau situs yang menyediakan jutaan informasi hukum secara gratis. Smart Lawyer punya tujuan, harapan, dan impian, sama seperti Anda. Smart Lawyer ingin memberikan solusi yang lebih baik untuk setiap orang yang mencari informasi hukum.

Articles: 1670