
Pencucian uang merupakan kejahatan serius yang tidak hanya merugikan stabilitas perekonomian nasional, tetapi juga mengancam integritas sistem hukum dan pemerintahan. Kejahatan ini menjadi sarana untuk menyamarkan asal-usul dana ilegal yang berasal dari tindak pidana asal, seperti korupsi, perdagangan narkotika, penyelundupan, hingga pendanaan terorisme. Indonesia sebagai negara hukum tidak dapat menoleransi eksistensi praktik pencucian uang karena dampaknya yang merusak struktur kehidupan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) membutuhkan kerangka hukum yang kokoh, sinergi antar lembaga, serta komitmen kuat dalam penegakannya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi fondasi utama dalam rezim anti pencucian uang di Indonesia. Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa setiap orang yang mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan merupakan hasil tindak pidana dilarang untuk menempatkan, mentransfer, membelanjakan, menyumbangkan, atau menyamarkannya dengan cara apa pun. Cakupan tindak pidana asal dalam undang-undang ini juga sangat luas, meliputi lebih dari 26 jenis kejahatan yang berpotensi menghasilkan keuntungan ilegal, antara lain korupsi, penipuan, dan kejahatan kehutanan.
Penegakan hukum terhadap TPPU di Indonesia tidak hanya bertumpu pada pembuktian asalusul harta kekayaan, tetapi juga pada pembalikan beban pembuktian dalam kasus tertentu, khususnya untuk korporasi dan pejabat publik. Pendekatan ini memberikan ruang bagi negara untuk merampas aset hasil kejahatan meskipun pelaku utamanya tidak selalu dapat dihukum secara pidana. Hal ini menjadi bentuk konkret dari pendekatan follow the money dan nonconviction based asset forfeiture yang telah diadopsi secara universal dalam praktik hukum internasional.
Peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga sangat krusial dalam mendukung upaya ini. PPATK berfungsi sebagai intelijen keuangan yang menganalisis dan menginvestigasi transaksi mencurigakan, serta menyampaikan laporan kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti. Kewajiban pelaporan transaksi tunai, transaksi mencurigakan, serta transaksi lintas negara oleh pelaku jasa keuangan menjadi upaya preventif untuk mempersempit ruang gerak pelaku pencucian uang.
Namun, efektivitas pemberantasan TPPU masih menghadapi berbagai tantangan. Di antaranya adalah lemahnya koordinasi antar lembaga penegak hukum, keterbatasan sumber daya penyidik yang memiliki kompetensi di bidang forensik keuangan, hingga resistensi terhadap transparansi informasi keuangan. Di samping itu, pemanfaatan korporasi sebagai kendaraan pencucian uang melalui skema kepemilikan tersembunyi (beneficial ownership) juga menjadi celah yang kerap dimanfaatkan pelaku kejahatan. Ketidakterbukaan informasi mengenai pemilik manfaat sejati dari suatu entitas hukum menyulitkan penelusuran aliran dana ilegal.
Indonesia memiliki kewajiban untuk tunduk pada standar internasional yang ditetapkan oleh Financial Action Task Force (FATF). Status Indonesia sebagai anggota aktif dalam jaringan anti-pencucian uang Asia Pasifik (APG) membawa konsekuensi bahwa setiap aspek regulasi dan implementasi kebijakan harus selaras dengan rekomendasi FATF. Kegagalan memenuhi standar ini tidak hanya berimplikasi pada reputasi, tetapi juga pada hubungan perbankan internasional, kepercayaan investor, dan stabilitas ekonomi nasional.
Menyadari kompleksitas persoalan ini, diperlukan pembaruan strategi nasional anti-pencucian uang yang lebih adaptif dan integratif. Penguatan kerja sama lintas sektor, pembentukan unit khusus penelusuran aset, serta digitalisasi sistem pelaporan keuangan harus menjadi prioritas utama. Di samping itu, reformasi regulasi yang mewajibkan keterbukaan kepemilikan korporasi dan transparansi pajak merupakan langkah penting untuk menutup celah praktik pencucian uang yang selama ini bersembunyi di balik kebijakan yang permisif.
Baca juga: Dinamika Hukum dalam Tindak Pidana Pencucian Uang di Era Digital
Kesimpulannya, tindak pidana pencucian uang bukanlah kejahatan biasa. Ia adalah manifestasi dari kriminalitas terorganisir yang mengancam supremasi hukum dan kesejahteraan publik. Negara tidak boleh bersikap permisif terhadap praktik ini. Perlu komitmen menyeluruh dari semua elemen penegak hukum, pembuat kebijakan, sektor keuangan, hingga masyarakat sipil untuk bersama-sama menutup ruang bagi para pelaku kejahatan untuk menikmati hasil kejahatan mereka melalui sistem keuangan. Dengan demikian, upaya pemberantasan TPPU akan lebih dari sekadar simbolisme hukum, tetapi menjadi bagian integral dari penegakan hukum yang adil, transparan, dan bermartabat.
