Dinamika Hukum dalam Tindak Pidana Pencucian Uang di Era Digital

Rishan Hanafi Nasution Rishan Hanafi Nasution
| 14 Juni 2025


Tindak pidana pencucian uang (TPPU) merupakan kejahatan transnasional yang berdampak sistemik terhadap integritas sistem keuangan, stabilitas ekonomi nasional, serta supremasi hukum. Fenomena ini tidak hanya sekadar aktivitas menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana, namun juga menjadi medium strategis bagi kejahatan terorganisir untuk melanggengkan eksistensinya di balik celah kelemahan hukum dan pengawasan. Di Indonesia, regulasi mengenai pencucian uang telah mengalami perkembangan signifikan melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagai bentuk komitmen negara dalam menanggulangi kejahatan ini secara progresif dan integral.

Secara yuridis, tindak pidana pencucian uang didefinisikan sebagai tindakan yang menyembunyikan, menyamarkan, atau mengalihkan hasil tindak pidana dengan tujuan untuk menyamarkan asal-usul yang sebenarnya. Objek utama dari kejahatan ini bukan semata uang atau aset, melainkan legalitas dari kekayaan yang diperoleh melalui tindak pidana asal, seperti korupsi, narkotika, perdagangan manusia, hingga tindak pidana perpajakan. Dalam doktrin hukum pidana, pencucian uang digolongkan sebagai delik lanjut (follow-up crime) yang tidak berdiri sendiri, tetapi bergantung pada terbuktinya tindak pidana asal. Namun, pengaturan dalam UU TPPU telah memberikan pendekatan hukum progresif, yaitu pembuktian terbalik (reversal of burden of proof), yang memperkuat asas keadilan substantif dan efektivitas pembuktian dalam proses hukum.

Perlu untuk dicermati bahwa pencucian uang bukan hanya persoalan legalitas, melainkan juga merupakan persoalan moral dan politik hukum. Keberadaan dana hasil kejahatan yang dicuci dan beredar dalam sistem keuangan formal, baik melalui investasi properti, pembelian saham, maupun kegiatan usaha lainnya, merusak prinsip fairness dalam pasar dan menciptakan ketimpangan sosial. Para pelaku kerap memanfaatkan financial technology, perusahaan cangkang (shell companies), maupun cryptocurrency sebagai instrumen untuk mengaburkan jejak transaksi. Oleh karena itu, penegakan hukum terhadap TPPU harus bersifat multisektoral, melibatkan kerja sama antara aparat penegak hukum, otoritas keuangan, serta lembaga intelijen keuangan seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Dari sudut pandang normatif, ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, mentransfer, membelanjakan, menghibahkan, atau menginvestasikan harta kekayaan yang diketahuinya berasal dari tindak pidana, dapat dikenakan sanksi pidana. Ketentuan ini membuka ruang luas untuk menjerat baik pelaku utamamaupun pihak yang turut serta, termasuk profesi non-keuangan seperti pengacara, akuntan, atau notaris, apabila terbukti berkontribusi dalam proses pencucian uang. Ketentuan ini juga menegaskan bahwa penanggulangan TPPU tidak dapat dibatasi hanya pada aspek represif, melainkan juga harus melibatkan pendekatan preventif dan administratif melalui prinsip know your customer (KYC) dan pelaporan transaksi mencurigakan (suspicious transaction reports).

Lebih lanjut, dalam tataran internasional, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC) dan menjadi anggota Financial Action Task Force (FATF), sehingga berkewajiban untuk mematuhi standar internasional dalam pemberantasan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Konvergensi antara hukum nasional dan hukum internasional ini mencerminkan perlunya harmonisasi kebijakan dan strategi nasional yang lebih menyeluruh dalam membangun sistem keuangan yang bersih, transparan, dan akuntabel.

Baca juga: Pentingnya Pengesahan RUU Perampasan Aset dalam Upaya Pemulihan Keuangan Negara

Sebagai penutup, perlu disadari bahwa tindak pidana pencucian uang adalah bentuk kejahatan yang sangat dinamis dan adaptif terhadap perkembangan teknologi. Oleh karena itu, pembaruan hukum dan peningkatan kapasitas aparatur penegak hukum menjadi kebutuhan mendesak. Negara tidak boleh bersikap permisif terhadap praktik-praktik yang melemahkan integritas sistem hukum dan perekonomian nasional. Sebaliknya, komitmen penegakan hukum terhadap TPPU harus diarahkan pada pemberantasan akar kejahatan secara tuntas dan berkeadilan. Dengan begitu, sistem hukum tidak hanya menjadi alat normatif, melainkan juga instrumen strategis dalam menjaga kedaulatan negara dari infiltrasi ekonomi ilegal.