
Latar Belakang
Dalam beberapa tahun terakhir, isu kekerasan seksual di lingkungan pendidikan semakin mendapatkan perhatian serius dari masyarakat. Banyak kasus yang terungkap menunjukkan bahwa pelaku sering kali merupakan sosok yang dipercayai oleh siswa, seperti guru atau staf sekolah. Hal ini menciptakan ketidakpercayaan di kalangan siswa dan orang tua terhadap institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar dan berkembang. Ketidakberdayaan korban dan minimnya respons tegas dari pihak sekolah dalam menangani kasus pelecehan seksual menjadi masalah mendesak yang perlu diatasi agar anak-anak dapat bersekolah tanpa rasa takut.
Pada awal 2024, seorang guru di SMK Kecamatan Marisa, Pohuwato, dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap siswanya, baik secara verbal maupun fisik. Wakil Kepala Sekolah menyatakan bahwa pelecehan tersebut dianggap “biasa” karena tidak melibatkan sentuhan fisik, meskipun orang tua korban menyebutkan bahwa pelaku juga melakukan tindakan fisik selama kegiatan berkemah. Sanksi yang dijatuhkan oleh pihak sekolah dianggap tidak tegas, karena pelaku masih diperbolehkan mengajar. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan tentang keamanan lingkungan sekolah dan apakah institusi pendidikan sengaja mengabaikan keselamatan siswa demi melindungi reputasi. Penegakan hukum terhadap pelaku pelecehan seksual pun menjadi tanda tanya besar.1
Baca juga artikel dari ALSA LC Unair lainnya:
Dampak Revolusioner AI (Artificial Intelligence) Terhadap Dinamika & Etika Profesi Di Bidang Hukum
Isu Hukum
Perlindungan Hukum bagi Korban Pelecehan Seksual: Analisis Kebijakan Hukum di Indonesia
Pembahasan
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa guru dan dosen wajib menjaga etika profesi serta integritas, termasuk mencegah kekerasan seksual terhadap peserta didik. Jika seorang guru atau dosen terbukti melanggar, mereka dapat dikenai sanksi administratif seperti pemecatan, dan juga bisa diproses secara pidana. Lalu, bagaimana implementasi UU Guru dan Dosen yang mewajibkan para pendidik menjaga lingkungan sekolah sebagai tempat yang aman bagi siswa-siswi kita? Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, sangat penting menegaskan bahwa pelaku kekerasan seksual di lingkungan pendidikan harus dikenai sanksi tegas sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Pasal 289 jo. Pasal 294 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melarang tindakan cabul yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan ancaman hukuman maksimal 9 tahun penjara. Jika pelaku memiliki hubungan dengan korban, seperti guru terhadap murid, hukuman bisa diperberat.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), pelaku kekerasan seksual kini dapat diadili lebih tegas. Pasal 5 UU TPKS mengatur berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk pelecehan nonfisik dan fisik, yang diancam hukuman penjara maksimal 4 tahun dan denda hingga Rp50 juta. Selain itu, undang-undang ini juga mencakup pemaksaan kontrasepsi, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Oleh karena itu, tidak ada lagi alasan untuk melindungi citra institusi ketika berhadapan dengan pelaku pelecehan seksual, terutama di lingkungan pendidikan.
Di samping sanksi hukum, pelaku kekerasan seksual juga layak dikenai sanksi sosial yang setimpal, seperti pemecatan dari institusi pendidikan, pencabutan sertifikasi guru, dan pencabutan hak mengajar di mana pun. Oleh karena itu, wajar bila sekolah, termasuk SMK yang bersangkutan, harus lebih waspada terhadap isu-isu ini. Seakan melindungi citra sekolah dengan menyembunyikan predator seksual, yang berisiko membahayakan lebih banyak generasi penerus bangsa. Tindakan seperti ini justru dapat memperburuk situasi dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan.
Kesimpulan
Penting bagi pemerintah untuk mengedukasi masyarakat tentang ketidakpantasan perilaku pelecehan seksual, yang tidak boleh dianggap normal. Selain mendidik masyarakat, aparat penegak hukum juga perlu memahami Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang baru disahkan agar penerapannya optimal. Sinkronisasi UU TPKS dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sangat diperlukan untuk melindungi korban lebih baik. Dukung pengelolaan sumber daya manusia yang sejahtera dan berpendidikan, serta tingkatkan kesadaran tentang pelecehan seksual. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan UU TPKS dapat menjadi perisai yang lebih kuat bagi perempuan Indonesia yang mengalami trauma akibat pelecehan seksual.
REFERENSI:
- Ferry Apantu, “Dugaan Pelecehan Seksual, Ini Tanggapan Pihak Sekolah.” RRI, 10 Januari 2024.
