Hallo sahabat smartlawyer! Gimana kabarnya? Semoga kita selalu diberikan kesehatan dan keberkahan hidup di dunia oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Pandemi Covid-19 benar benar memporak porandakan hampir seluruh tatanan sendi sendi kehidupan umat manusia di seluruh dunia.
Baik pada bidang ekonomi, seni, budaya, bahkan pada bidang Kesehatan. Tidak bisa kita pungkiri penularan Covid-19 varian delta membuat pusat kesehatan di sebagian negara yang terdampak menjadi kedodoran bahkan muncul istilah tsunami Covid-19.
Sebut saja Negara India dan Negara Indonesia sebagai negara yang aspek kesehatannya mengalami gelombang tsunami Covid-19. Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya pasien yang terpapar Covid-19 sampai tidak bisa ditampung di tiap-tiap rumah sakit di kedua negara tersebut
Bahkan tidak jarang kita temui pelayanan rumah sakit sudah tidak dapat menjalankan pelayanan tata kelola yang sudah diatur secara benar.
Sering kita lihat banyak pasien yang telah dilayani oleh dokter ditempatkan bukan ditempat tidur, tetapi di kursi roda atau duduk dilantai bangsal rumah sakit akibat membludaknya jumlah pasien yang terpapar Covid-19. Di satu sisi rumah sakit tidak mampu melayani pasien secara layak.
Tidak jarang pihak dokter terpaksa menolak pasien dengan alasan keterbatasan tenaga kesehatan dan tempat tidur yang sudah penuh di rumah sakit.
Baca Juga:
Krisis Oksigen dan Lenyapnya Hak Hidup Pasien Covid-19: Pemerintah Melanggar HAM?
Banyak pasien yang menunggu di kamar instalasi gawat darurat sudah dalam keadaan meninggal dunia karena tenaga medis masih melakukan pelayanan medis kepada pasien yang lain.
Jeritan, tangisan, raungan kepanikan pasien campur aduk menjadi satu sekitar ruang instalasi gawat darurat hampir diseluruh Indonesia. Selanjutnya penulis ingin menerangkan hak dan kewajiban dokter.
Hak dan Kewajiban Dokter-Pasien
Dalam pelayanan tindakan kedokteran di Indonesia dasar aturan yang tertinggi atau lex spesialis bagi profesi kedokteran adalah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut menjelaskan secara detail segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh dokter kepada pasien.
Sebagai seorang dokter tentu mempunyai suatu hak dan kewajiban dalam menjalankan Tindakan kedokteran terhadap pasien sebagai berikut:
Menurut Undang-undang No 29 Tahun 2004 Tentang Praktek kedokteran
Pasal 50 Hak dokter:
- memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
- memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional.
- memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.
- menerima imbalan jasa.
Pasal 51 Kewajiban dokter:
- Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
- Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
- Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
- Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
- Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Pasal 52 Hak pasien:
- mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
- meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
- mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
- menolak tindakan medis; dan
- mendapatkan isi rekam medis.
Pasal 53 Kewajiban pasien:
- memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
- mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
- mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
- memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Berdasarkan peraturan diatas sulit untuk mengatakan bahwa dokter telah melakukan kelalaian dengan menolak menangani pasien dirumah sakit di saat kondisi pandemi tsunami Covid-19.
Hal ini dikarenakan para dokter berjibaku menangani pasien melebihi jam waktu. Belum lagi faktor kelelahan membuat para dokter rentan akan hilangnya sisi konsentrasi melayani pasien. Padahal seorang dokter wajib melayani pasien dalam kondisi yang sehat fisik mental dan jasmani.
Lalu bagaimana sanksi hukum bagi dokter yang menolak pasien Covid-19.
Sanksi Hukum Menolak Pasien
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan tertulis bahwa dalam keadaan darurat pihak fasilitas kesehatan baik milik pemerintah atau pribadi dilarang menolak pasien.
Pasal 32:
- Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
- Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
Memahami pasal 32 diatas dapat memunculkan suatu diskusi yang panjang dan tentunya akan menimbulkan dilema bagi hakim di dalam mengambil suatu keputusan hukum yang adil.
Bentuk pelanggaran yang dilakukan pihak dokter dan fasilitas kesehatan bukanlah suatu perbuatan yang dilakukan dengan niat akan menelantarkan pasien.
Menurut pakar hukum Pidana R. Sugandhi, situasi yang dihadapi oleh nakes dan fasyankes yang menolak pasien disaat tsunami Covid-19 dapat diartikan dalam pengaruh daya paksa yang sudah masuk dalam hal paksaan atau memaksa batin, lahir, rohani, dan jasmani sehingga jika seorang Nakes yang menolak melayani pasien demi menyelamatkan banyak pasien lain.
Bentuk penolakan dokter melayani pasien di saat Tsunami Covid-19, menurut R. Soesilo dalam bukunya kitab undang-undang hukum pidana serta komentar-komentar lengkap pasal demi pasal halaman 63, mengatakan bahwa kondisi diatas termasuk dalam kategori paksaan dan hal itu harus ditinjau dari banyak sudut pandang sehingga hanya hakimlah yang harus menguji dan memutuskan apakah dokter dan rumah sakit itu bersalah atau tidak.
Sehingga sulit bagi masyarakat jika mengatakan kejadian diatas melanggar peraturan per undang undangan yang berlaku.
Hal senada juga dijelaskan oleh Lamintang dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia halaman 441, Batasan pengertian secara harfiah tentang makna overmacht yang diatur di dalam Pasal 48 KUHP membagi menjadi tiga macam bentuk sustu keadaan overmacht itu dapat terjadi, yakni:
- peristiwa-peristiwa di mana terdapat pemaksaan secara fisik;
- peristiwa-peristiwa di mana terdapat secara psikis; dan
- peristiwa-peristiwa di mana terdapat suatu keadaan yang biasanya juga disebut sebagai nothstand atau noodtoestand atau sebagai keadaan terpaksa atau Noodtoestand
Selaras dengan yang telah ditulis oleh Lamintang dalam ilmu hukum dapat simpulkan bahwa jenis paksaanyang bukan terjadi karena perbuatan-perbuatan manusia, melainkan terjadi karena keadaan-keadaan, disebut dengan “noodtoestand”.
Prof Simons berpendapat bahwa noodtoestand itu sebagai salah satu strafuitsluitingsgrond (dasar yang meniadakan hukuman) yang tersendiri, dan terlepas dari overmacht.
Meskipun demikian Profesor Simons itu juga mengakui, bahwa pembentuk undang-undang itu sebenarnya telah bermaksud untuk memasukkan noodtoestand ke dalam pengertiannya yang bersifat umum dari overmacht seperti yang telah diatur di dalam Pasal 48 KUHP dimana overmacht itu dibagi menjadi:
- overmacht dalam arti sempit, yakni keadaan memaksa yang telah ditimbulkan oleh adanya pemaksaan yang telah dilakukan oleh seorang manusia.
- Noodtoestand, yakni keadaan memaksa yang telah timbul bukan karena adanya sesuatu perbuatan yang telah dilakukan oleh seorang manusia.
Kesimpulan
Kondisi pandemi Covid-19 yang ditetapkan sebagai bencana nasional. Membuat seluruh aspek kehidupan terdampak, salah satunya adalah di bidang kesehatan. Covid-19 yang menyerang menyebabkan banyak masyarakat terkonfirmasi positif Covid-19, yang menyebabkan rumah sakit penuh. Persoalan timbul setelah dokter dan rumah sakit melakukan penolakan pasien Covid-19 dikarenakan rumah sakit penuh dan tenaga medis yang kurang. Maka dalam hal ini diperlukan putusan hakim guna menafsirkan tindakan penolakan pasien Covid-19 dibenarkan secara hukum atau tidak.
Sumber:
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
- Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek kedokteran.
- Undang undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
- Lamintang. 2013. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
- R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
Nabil Bahasuan, dr,. SpFM., SH., MH.
Praktisi Hukum dan Dosen Universitas Hang Tuah (UHT) Surabaya