Menyoal Rangkap Jabatan Pj Kepala Daerah

Polemik seputar rangkap jabatan dalam konteks praktik ketatanegaraan di Indonesia memang masih menjadi topik yang terus diperdebatkan. Bukan hanya terbatas pada persoalan belum banyaknya aturan perundang-undangan yang mengatur perihal rangkap jabatan, tetapi juga menyangkut etika moral dan kultur birokrasi di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Hal tersebut dikarenakan rangkap jabatan kerap memberikan dampak yang luas pada perubahan budaya kerja di dalam sistem birokrasi. Rangkap jabatan berpotensi melahirkan konflik kepentingan yang mendorong terjadinya tindak pidana korupsi.

Baca juga:
Masih adakah Ketetapan MPR Pasca Reformasi?

Kemarin anggota komisi II DPR mengeluarkan statement, terkait berita PJ Kepala Daerah yang masih menjabat sebagai pegawai eselon, walaupun nama dari kepala daerah tersebut belum disebutkan dan ini sebuah peringatan, tentu ini menjadi perhatian khalayak ramai karena sudah menyalahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menunjuk sejumlah orang menjadi PJ kepala daerah di sejumlah wilayah. Namun, faktanya ada pejabat kepala daerah sebelumnya aktif pada sebuah instansi atau lembaga tertentu.

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016, Pj Gubernur akan diajukan Kemendagri lalu dipilih langsung oleh Presiden. Sementara untuk Pj Bupati dan Wali Kota diajukan oleh Gubernur dan dipilih oleh Kemendagri. sebanyak 101 kepala daerah akan berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan 170 kepala daerah lagi berakhir masa jabatan 2023. Artinya 271 daerah akan dipimpin kepala daerah bersifat sementara berupa pelaksana tugas (PLT) atau pejabat sementara (PJS). Oleh sebab itu, Junimart meminta partai politik mengurungkan niat untuk mengusulkan kadernya menjadi calon Pj Gubernur, hingga Bupati dan Wali Kota

Di Indonesia, terdapat beberapa undang- undang yang telah mengatur perihal rangkap jabatan antara lain Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-V/2007 tentang permohonan uji materi yang dilakukan Saleh Ismail Mukadar yang menjabat sebagai ketua KONI Surabaya Pemohon sekaligus Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur juga telah menegaskan bahwa larangan rangkap jabatan tidak termasuk dalam kategori tindakan diskriminatif dan pembatasan HAM.

Pengaturan penyalahgunaan wewenang di dalam pasal 3 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 saat dipandang sebagai delik inti. Ketentuan pasal 3 Undang-Undang No 31 tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 menyatakan: “Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara.

Pasal 76 ayat (1) huruf h Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Otonomi Daerah menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya. PJ kepala daerah fokus memimpin daerahnya karena banyak persoalan yang membutuhkan perhatian seorang pemimpin. PJ kepala daerah yang notabene hanya ‘ditunjuk’, tidak dibenarkan rangkap jabatan agar bisa fokus bekerja. Wakil rakyat ini memandang perlu Kemendagri mengeluarkan ketentuan atau peraturan tentang PJ. Kepala daerah tidak boleh rangkap jabatan. Hal ini harus diatur secara tegas dalam konsideran SK pelantikan bahwa pejabat yang diangkat sebagai PJ. kepala daerah dinonaktifkan sementara dari jabatan sebelumnya dan tidak boleh rangkap dengan jabatan lainnya.

Kemendagri mengeluarkan ketentuan atau peraturan tentang PJ kepala daerah, tidak boleh rangkap jabatan. Hal ini harus diatur secara tegas dalam konsideran SK pelantikan bahwa pejabat yang diangkat sebagai PJ kepala daerah dinonaktifkan sementara dari jabatan sebelumnya dan tidak boleh rangkap dengan jabatan lainnya. 

Berdasarkan ketentuan Undang-undang yang disebutkan diatas, seharusnya masyarakat maupun pejabat yang taat hukum tidak lagi menyalahgunakan aturan dengan berbagai alasan lainnya, dan PJ kepala daerah adalah orang yang ditunjuk untuk mengisi masa jabatan yang kosong sampai terpilihnya kepala daerah selanjutnya. Kepastian hukum merupakan penentu dari efektifitas sebuah produk hukum. Peraturan yang jelas hingga turunannya akan membantu ‘kestabilan’ produk hukum di dalam menerapkannya. Untuk memitigasi potensi miss persepsi atas pelanggaran hukum tentang rangkap jabatan yang dilakukan oleh PJ Kepala Daerah.

Untuk menerapkan produk hukum secara ideal maka Kepala Daerah yang melakukan Rangkap Jabatan harus diberikan sanksi, sanksi Kepala Daerah Yang Rangkap Jabatan dari segi hukum lahir dari  aturan sanksi yang jelas dari rangkap jabatan itu sendiri, artinya perlu ada perbaikan dari aturan yang menjelaskan bahwa kepala daerah tidak boleh ada rangkap jabatan. Sesuai dengan Pasal 77 (1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi pengurus suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/daerah atau pengurus yayasan bidang apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf c dikenai sanksi pemberhentian sementara selama 3 (tiga) bulan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.

Rizki Rahayu Fitri
Rizki Rahayu Fitri

Rizki Rahayu Fitri merupakan pemerhati hukum yang fokus pada isu-isu hukum kenegaraan.

Articles: 8