
Baru-baru ini terjadi kembali kasus yang melibatkan rekan sesama mahasiswa dengan korban bernama Argo Ericko Achfandi seorang mahasiswa Fakultas Hukum yang mengalami kecelakaan sepeda motor dengan Christiano Pengarapenta Tarigan mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang menggunakan mobil BMW. Hasil identifikasi dan juga gelar perkara ditemukan adanya kelalaian dari pelaku yaitu Christiano Pengarapenta Tarigan dengan kendaraan mobil BMW yang ia kendarai sehingga menyebabkan luka berat di kepala korban, pihak kepolisian menjerat pelaku menggunakan Pasal 310 angka (4) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) dengan ancaman pidana penjara selama 6 tahun.
Kasus meninggalnya Argo Ericko Achfandi, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, akibat kecelakaan lalu lintas yang melibatkan Christiano Pengarapenta Tarigan, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, menyoroti pentingnya penegakan hukum terhadap kelalaian dalam berkendara yang menimbulkan korban jiwa. Dalam konstruksi hukum pidana nasional, terdapat dua norma utama yang relevan dalam kasus ini, yaitu Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), yang sebagian ketentuannya diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja, serta Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai norma umum kealpaan.
Baca juga: Indonesia Digital Economy Growth: Reshaping Digital PublicInfrastructure Regulation
Secara normatif, Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ menyatakan bahwa pengemudi kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan dengan korban meninggal dunia dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak dua belas juta rupiah. Sementara itu, Pasal 359 KUHP menyatakan bahwa barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Kedua pasal ini saling menguatkan dan menunjukkan konsistensi dalam sistem hukum pidana Indonesia bahwa bentuk kesalahan tanpa niat jahat (culpa) tetap dapat menimbulkan tanggung jawab pidana apabila berakibat fatal. UU LLAJ sebagai lex specialis memberi kerangka sektoral pada peristiwa lalu lintas, sementara KUHP sebagai lex generalis tetap relevan dalam konteks prinsipil pertanggungjawaban pidana. Bersama-sama, keduanya menjadi payung hukum yang melindungi hak atas keselamatan jiwa warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945, yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan pribadi, keluarga, dan jiwanya.
Secara yuridis, dugaan kelalaian Christiano Pengarapenta Tarigan dalam mengemudi hingga menyebabkan kematian Argo Ericko Achfandi telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana kealpaan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ dan Pasal 359 KUHP. Dalam hukum pidana, kesalahan karena kelalaian (culpa) diartikan sebagai kegagalan pelaku dalam menjalankan kewajiban kehati-hatian yang seharusnya dilakukan menurut hukum dan akal sehat. Tidak adanya niat jahat tidak menghapus tanggung jawab hukum, apabila tindakan ceroboh tersebut menimbulkan akibat yang secara objektif dapat dan seharusnya dihindari. Contoh konkret dari culpa dalam konteks ini dapat berupa tindakan mengemudi melebihi batas kecepatan, mengabaikan rambu lalu lintas, tidak memperhatikan kondisi jalan, atau menggunakan gawai saat berkendara. Bentuk-bentuk perilaku tersebut masuk dalam kategori culpa lata (kelalaian berat), karena pelaku secara sadar mengabaikan risiko signifikan terhadap keselamatan orang lain. Jika terbukti bahwa Tarigan melakukan salah satu dari tindakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ia melanggar standar kehati-hatian yang secara hukum wajib dipatuhi.
Selain unsur perbuatan dan akibat, sistem pemidanaan Indonesia juga mensyaratkan bahwa pelaku memiliki kapasitas untuk bertanggung jawab secara hukum (toerekeningsvatbaarheid). Dalam konteks ini, tidak terdapat indikasi bahwa Christiano Tarigan mengalami gangguan kejiwaan atau ketidakmampuan hukum lainnya. Ia adalah mahasiswa aktif dan dewasa, sehingga memenuhi kualifikasi subyektif untuk dimintai pertanggungjawaban pidana. Hal ini sejalan dengan pemikiran Prof. Moeljatno, yang menegaskan bahwa kemampuan bertanggung jawab merupakan elemen esensial dalam hukum pidana. Kajian ilmiah mendukung landasan hukum ini. Dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2021), Yosua Mandagie menegaskan bahwa pertanggungjawaban pidana atas kecelakaan lalu lintas cukup didasarkan pada pembuktian kelalaian, tanpa harus menunjukkan adanya niat jahat, asalkan terdapat hubungan sebab akibat yang jelas antara tindakan pelaku dan akibat yang ditimbulkan. Pandangan serupa dikemukakan oleh Rr. Atin Adiningsih dalam Mimbar Hukum Universitas Gadjah Mada (2019), yang menyatakan bahwa delik culpa dalam kasus kecelakaan lalu lintas bukan sekadar pelanggaran ringan, melainkan bentuk pelanggaran serius terhadap norma hukum dan hak hidup manusia, sehingga patut dijatuhi sanksi pidana sebagai wujud keadilan dan efek jera.
Dengan demikian, proses hukum terhadap Christiano Tarigan bukan hanya legal secara normatif, tetapi juga penting dari sisi moral dan kemanusiaan. Kematian Argo Ericko Achfandi bukan sekadar “kecelakaan lalu lintas” yang bersifat pasif, melainkan akibat langsung dari tindakan ceroboh yang dapat dicegah. Dalam konteks ini, hukum pidana tidak hanya berfungsi sebagai alat penghukuman, tetapi juga sebagai instrumen edukatif dan perlindungan sosial. Penegakan hukum dalam kasus ini harus dimaknai sebagai bentuk keadilan nyata. Ia bukan semata-mata proses administratif, tetapi ekspresi nyata dari negara dalam menghormati nyawa warganya. Ketika kelalaian membunuh, maka diamnya hukum adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, penyelesaian hukum atas perkara ini tidak hanya akan menjadi hal penting, tetapi juga penegas bahwa hukum hadir untuk melindungi, mengoreksi, dan memulihkan martabat yang telah direnggut oleh kelalaian.
Kesimpulan
Dalam hukum pidana, salah satu unsur yang sangat penting adalah bagaimana pelaku dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatan pidana yang telah ia lakukan, hal demikian menyangkut pula pada beberapa hal yang sangat penting yakni kelalaian (Culpa) dan kesengajaan. Perbuatan yang dilakukan oleh Christiano Tarigan yang dengan tidak menerapkan kehati-hatian sehingga timbul perbuatan pidana atas pengabaian yang ia lakukan tersebut membuatnya dijerat Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Hukum pidana bukan hanya berbicara tentang kejahatan dalam akibat yang fatal namun norma yang disusun juga menyangkut kelalaian dalam diri pelaku yang didalamnya menyangkut maslahat banyak orang, kelalaian bukan menjadi alasan penghapus tindak pidana, terlebih dalam akibatnya menyangkut nyawa orang lain.
Daftar Pustaka
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28G ayat (1)
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) sebagaimana telah diubah sebagian dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 359.
- RAYS, M. I. (2017). Tinjauan Hukum Delik Pembunuhan, Delik Penganiayaan Yang Menyebabkan Kematian Dan Delik Kealpaan Menyebabkan Kematian. Jurnal Yustisiabel, 1(1), 83-99.
- Ruusen, A. S. (2021). Penegakan Hukum Pidana Karena Kelalaian Pengemudi Kendaraan Yang Mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas. Lex Crimen, 10(2).
- Moeljatno, S. H. (2002). Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta.
- Mandagie, Yosua. (2021). “Pertanggungjawaban Pidana atas Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan Kematian.” Jurnal Hukum dan Pembangunan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
- Adiningsih, Rr. Atin. (2019). “Delik Kelalaian dalam Kecelakaan Lalu Lintas.” Mimbar Hukum,Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.




