“Jangan lupa dibubuhkan meterai agar sah perjanjiannya”, tidak bisa dipungkiri bahwa hingga saat ini kalimat tersebut masih sering kita dengar pada saat hendak melakukan penandatanganan suatu perjanjian. Ya, banyak orang yang beranggapan perjanjian menjadi sah apabila ditanda tangani di atas meterai, namun hal tersebut keliru karena fungsi membubuhkan meterai pada perjanjian bukan untuk menjadikan sahnya suatu perjanjian.
Lalu pertanyaannya, apakah hal-hal yang menentukan sah atau tidaknya perjanjian? dan apa fungsi meterai dalam perjanjian? berikut penulis jelaskan:
4 Syarat Yang Menentukan Sah atau Tidaknya Perjanjian
Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu:
- Adanya kesepakatan para pihak;
- Adanya kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian;
- Adanya suatu hal tertentu atau obyek tertentu yang diperjanjikan;
- Suatu sebab atau causa yang halal ;
Syarat nomor 1 dan 2 adalah mengenai subyeknya sehingga disebut sebagai “syarat subyektif”, sedangkan syarat nomor 3 dan 4 disebut adalah menyangkut obyek dari perjanjian yang dibuat karenanya disebut “syarat obyektif”. Jika “syarat subyektif” tidak terpenuhi maka suatu perjanjian terancam untuk “dapat dibatalkan” (voidable, vernietigbaar), sedangkan jika “syarat obyektif” tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut “batal demi hukum” (null and void, nietig), artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Uraian lebih lanjut mengenai keempat syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut:
1. Adanya kesepakatan Para Pihak
Kesepakatan adalah merupakan syarat mutlak dalam suatu perjanjian, oleh karena itu dalam hukum perjanjian dikenal suatu asas yang disebut “asas konsensualitas” yaitu asas yang mengandung arti bahwa pada dasarnya perjanjian itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan, perjanjian itu sudah sah (mengikat) tanpa diperlukan adanya suatu formalitas.
Namun undang-undang juga menetapkan pengecualian terhadap asas konsensualitas ini, misalnya (i) perjanjian perdamaian dinyatakan sah apabila dibuat secara tertulis, atau (ii) perjanjian penghibahan benda tetap harus dibuat dengan Akta Notaris. Dalam hal ini apabila persyaratan formil ini dilanggar maka perjanjian yang bersangkutan terancam batal.
Kemudian bagaimanakah kesepakatan para pihak terlihat dalam suatu perjanjian? Salah satu jawabannya adalah adanya pembubuhan tanda tangan dari masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian dimaksud. Tanda tangan berfungsi sebagai wujud kesepakatan dan persetujuan atas syarat dan kondisi serta isi dari perjanjian yang dibuat tersebut.
Kesepakatan merupakan persetujuan secara sukarela, bukan kekhilafan, tanpa paksaan dan tidak dilakukan dengan cara-cara penipuan di antara para pihak. KUH Perdata menegaskan bahwa suatu kesepakatan tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan (Pasal 1322 KUH Perdata), paksaan (Pasal 1323, 1324 dan 1325 KUH Perdata) dan penipuan (Pasal 1328 KUH Perdata).
2. Adanya kecakapan Para Pihak untuk membuat perjanjian
Pada prinsipnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Menurut Pasal 1330 KUH Perdata, orang yang dinyatakan tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
- Orang yang belum dewasa;
- Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; dan
- Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Menurut KUH Perdata secara umum orang sudah dianggap dewasa apabila sudah berusia 21 tahun atau sudah kawin. Penerapan umur 21 tahun sebagai pedoman untuk menetapkan kedewasaan seseorang juga dipakai di Belanda, Singapura, Inggris dan Amerika. Kemudian tentang orang yang ditaruh dibawah pengampuan adalah orang-orang yang hak hukumnya disamakan dengan orang yang belum dewasa, seperti orang gila, dungu, sakit otak, mata gelap ataupun orang yang boros (Pasal 433 KUH Per). Sedangkan tentang ketidakcakapan perempuan saat ini sudah dinyatakan tidak berlaku dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 3 Tahun 1961. Hal ini mempertegas bahwa tidak ada perbedaan antara wanita dan pria dalam melakukan perbuatan hukum atau membuat perjanjian.
Dalam hal suatu perjanjian diketahui dibuat oleh orang yang tidak cakap maka Pasal 1331 KUH Perdata menegaskan, bahwa pihak yang tidak cakap dapat meminta pembatalan atas kontrak atau perjanjian yang telah dibuatnya dengan alasan ketidakcakapan (incapacity). Sebaliknya pihak yang mempunyai kapasitas, menurut hukum tidak dapat meminta pembatalan suatu kontrak karena dia telah dengan sadar melakukan kontrak.
Perwujudan kecakapan dalam sebuah perjanjian dapat dilihat pada bagian komparisi yaitu bagian yang harus memuat secara jelas jati diri para pihak yang membuat perjanjian.
3. Adanya kecakapan Para Pihak untuk membuat perjanjian
Hal atau objek tertentu dalam hal ini adalah bahwa pokok atau obyek dari suatu perjanjian harus jelas, setidak-tidaknya ditentukan jenisnya, baik berupa barang atau jasa (Pasal 1333 dan 1334 KUH Perdata).
Batasan atau kriteria yang jelas terhadap obyek perjanjian sangat penting untuk mengukur bagaimana para pihak menjalankan prestasinya masing-masing yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut. Bila objek yang disepakati ternyata tidak jelas batasannya, maka seperti halnya para pihak melakukan transaksi membeli kucing dalam karung dan dapat mengakibatkan perjanjian menjadi “batal demi hukum”.
Dalam naskah perjanjian, suatu hal tertentu atau obyek tertentu yang diperjanjikan biasanya dituangkan dalam suatu pasal tersendiri yang khusus dibuat untuk itu. Tetapi apabila uraian terhadap obyek perjanjian tidak dapat dibuat secara ringkas maka penuangannya dapat juga dilakukan pada bagian lampiran dari suatu perjanjian.
4. Suatu sebab atau causa yang halal
Pengertian “halal” dapat ditemukan dalam Pasal 1337 KUH Perdata yaitu tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Contoh perjanjian yang mengandung causa tidak halal adalah perjanjian untuk mengadakan perjudian, ataupun perjanjian untuk mensuplai wanita tuna susila ke tempat-tempat hiburan, atau perjanjian tentang perbudakan.
Dalam naskah Perjanjian, sebab atau causa yang halal pada umumnya dituangkan secara garis besar pada pasal mengenai maksud dan tujuan, dan secara terperinci dalam pasal-pasal mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Fungsi Meterai Dalam Perjanjian
Jika bukan meterai yang menentukan sah atau tidaknya perjanjian, lalu apa fungsi meterai dalam surat perjanjian? Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2020 Tentang Bea Meterai (“UU Bea Meterai”), fungsi meterai yang utama adalah pemungutan pajak atas suatu dokumen yang menurut UU Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Dokumen yang termasuk objek Bea Meterai salah satunya adalah dokumen perjanjian, baik perjanjian yang dibuat yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris. Untuk lebih rinci dokumen apa saja dikenakan bea meterai dapat dilihat pada Pasal 3 UU Bea Meterai.
Selain meterai berfungsi sebagai pengenaan pajak atas dokumen perjanjian, meterai juga menjadi syarat atas perjanjian yang dijadikan alat bukti di muka pengadilan. Hal tersebut dijelaskan pada Pasal 3 ayat (1) huruf b UU Bea Meterai disebutkan “bea meterai dikenakan atas dokumen yang digunakan sebagai alat bukti dipengadilan.