
Money Laundring atau yang kerap dikenal dengan pencucian uang merupakan tindak pidana yang tergolong sebagai white collar crime (kejahatan kerah putih) yang biasanya hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki akses yang luas terhadap Pendidikan maupun kedudukan. Dalam memahami pencucian uang secara singkat dalam konteks tindak pidana adalah serangkaian metode atau cara-cara seseorang/kelompok untuk menyamarkan harta yang berasal dari tindak pidana agar keloahatan seolah-olah harta tersebut diperoleh dari asal-muasal yang halal dan jelas. Tentu dalam hal ini pencucian uang melibatkan konsep dan pemikiran yang matang dari orang-orang jahat yang licik agar hasil yang mereka dapat dari perbuatan tercelanya mendapat ‘legitimasi’ yang legit. Pencucian uang ini sendiri merupakan tindak pidana ikutan atau followed crime dari tindak pidana asalnya sebagaimana diuraikan lengkap dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, pada pasal 2 ayat (1). Tindak pidana yang dimaksudkan dalam pasal tersebut adalah sebagai Primary Crime dari proses penegakan hukum pencucian uang ini.
Demikian pula pencucian uang ini marak terjadi di Indonesia di 2-3 dekade ke belakang, dengan berbagai cara para kriminal kerah putih menerapkan modus modus operandi yang amat rigid dan konseptual sehingga sempit celah yang dapat diraih oleh para aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum tindak pidana ini. Mengapa tindak pidana pencucian uang ini harus melalui penegakan hukum yang amat fleksibel? Mengapa pula pencuci uang ini diberkahi dengan hak yang berdasar untuk membuktikan ketidakbersalahannya dalam konteks penegakan hukum ini?. Sebagaimana diketahui, pada pasal 77 undang-undang a quo, ditegaskan bahwa “Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa harta kekayaan bukan merupakan hasil tindak pidana”, bagaimana kemudian eksistensi pasal ini mendukung pelaku atau terdakwa dalam proses di pengadilan untuk “tidak mengakui” tindak pidana utama yang ditudingkan terhadap dirinya. Hal ini terjawab melalui permohonan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya untuk menyatakan konstitusionalitas sebuah kebijakan dalam Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014, dengan salah satu pertimbangan bahwa hal ini tidak membebani terdakwa untuk membuktikan keseluruhan unsur pidana, melainkan hanya asal-usul kekayaannya saja. Mekanisme pembuktian terbalik ini juga dibutuhkan oleh penuntut umum sebagai parameter ketidakwajaran alur keuangan yang terjadi sehingga membebankan kepada terdakwa untuk memberikan alasan yang rasional dalam menjelaskan asal-usul harta tersebut.
Apakah dalam skena penegakan hukum pencucian uang di Indonesia ada yang berhasil lolos dan dinyatakan tidak bersalah terhadap pencucian uang yang didakwakan terhadap dirinya? Tentu ada beberapa yurisprudensi yang menyelamatkan terdakwa dari jeratan pidana pencucian uang ini, salah satunya adalah Kadar Slamet seorang Mantan kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Timur I yang didakwa dengan tindak pidana asal Gratifikasi dan suap yang dikumulatifkan dengan Pasal 3, 4 dan 5 Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Putusan Nomor 75/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Jkt Pst. Kadar Slamet dalam hal ini tetap dinyatakan bersalah atas pidana asal yang dilakukannya, namun menariknya ia lolos dari dakwaan pencucian yang yanf dituduhkan kepadanya karena dia berhasil meyakinkan Majelis Hakim bahwa Sebagian harta yang dituduhkan sebagai hasil pencucian uang bukan berasal dari kejahatan yang ia lakukan.
Baca juga: Urgensi Penguatan Rezim Anti Pencucian Uang dalam Menjawab Tantangan Penegakan Hukum di Indonesia
Demikian pembuktian terbalik hingga saat ini masih menjadi perdebatan di lingkungan akademis dan dunia praktis terhadap dilema yang ditimbulkan olehnya. Sebagian menganggap bahwa adanya klausul ini memberikan celah bagi pelaku untuk tetap ‘kaya’ meski harus mendekan akibat tindak pidana asalnya, Sebagian yang lain pula mendasarkan konstituisionalitas yang ada terhadap hak yang diberkahi kepada para pelaku pencucian uang ini. Potensi ketidakadilan dari adanya hak ini adalah ancaman nyata bagi penegakan hukum yang tidak berintegritas. Bagaimanapun tegak tidaknya keadilan adalah di tangan yang berwenang menjalankan integritasnya sekalipun hukumnya buruk sebagaimana diungkapkan oleh Lon L. Fuller dalam The Morality of Law bahwa “Law is not just a system of rules, but a moral enterprise” yang berarti “Hukum bukan hanya soal yang dituliskan, tapi soal moralitas orang yang menjalankannya”.
