Pengakuan terhadap hak masyarakat adat secara konstitusional diakui di dalam UUD 1945 pada Pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Maka sangat jelas bahwa UUD 1945 mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia.
Negara dituntut untuk bertanggungjawab dalam mengakui hak-hak yang asasi tersebut. Pengakuan itu bersifat pembenaran atau penerimaan negara terhadap hak-hak masyarakat adat yang melekat sebagai bagian dari keberadaan masyarakat adat. Sementara pada hak hukum, negara dituntut untuk melakukan pemberian agar hak tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat adat sebagai warga negara. Lebih lanjut dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menjelaskan bahwa: “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah (Ayat 1). Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman (Ayat 2)”. Ketentuan ini tentu saja mengisyaratkan perlunya sebuah perangkat hukum dalam upaya perlindungan hukum masyarakat hukum adat (berikut hak-hak nya) dan budayanya terkait penegakan dan perlindungan hak asasi manusia masyarakat adat oleh pemerintah.
Baca juga:
Kumpulan Peraturan Hak Asasi Manusia
Dalam Konstitusi UUD 1945 sebelum maupun pasca-amandemen ditegaskan perlunya pemenuhan hak asasi manusia. Kewajiban Negara dalam Konstitusi maupun dalam hukum HAM internasional telah sangat jelas diuraikan dalam tiga kewajiban utama, yaitu menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dan kebebasan dasar warga Negara. Oleh karena itu, dalam konteks masyarakat adat hal tersebut perlu diletakkan dalam prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana tercantum dalam Sila ke lima Pancasila.
Menurut UU No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan pokok Agraria, Pengertian Hak Ulayat dalam UUPA sebenarnya tidak didefinisikan dalam Pasal tersendiri karena terdapat berbagai macam penyebutan hak atas tanah masyarakat hukum adat. Dengan demikian, UUPA tidak secara limitatif menyebut “hak ulayat” tetapi “hak ulayat dan hak yang serupa dengan itu”. Katagori yang diberikan terdapat pada Pasal 3 UU No 5 Tahun 1960 yang berbunyi sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan UU dan peraturan lain yang lebih tinggi.
Jika kita melihat instrumen menguasai dan mengelola di suatu wilayah maka kemudian timbul permasalahan mengenai hak milik sebagaimana yang kita ketahui hak atas tanah yang terkuat dan terpenuh adalah hak milik yang kemudian kepemilikannya bisa dibuktikan melalui pendaftaran atas tanah yang menghasilkan bukti berupa sertifikat secara tertulis guna kepastian hukum dan tertib administrasi. Dan bagaimana halnya dengan masyarakat Hukum Adat yang memiliki aspek hukum tidak tertulis yang tidak mengenal konsep pendaftaran tanah, tentunya akan mendapatkan konsekuensi berupa tidak adanya kepastian hukum mengenai keberadaan Hak Ulayat. Berdasarkan fakta yang ada maka sangat tidak pas kiranya dari segi das sollen dan das sein apa yang sudah ditetapkan oleh hukum Indonesia mengenai perlindungan masyarakat hukum adat. Seolah-olah keberadaan Hak ulayat dari masyarakat hukum adat masih sangat mungkin dihiraukan. Padahal sudah secara jelas apa yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (2) UU HAM bahwasanya hak atas tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman.
Solusi yang bisa dilakukan dalam permasalahan ini adalah dengan cara membuat kebijakan pendaftaran tanah milik ulayat secara limitatif sebagai hak milik seperti apa yang telah diterapkan oleh BPN Sumatera Barat yang sudah memberi ruang oleh masyarakat hukum adat untuk mendaftarkan hak ulayat. Berupa terdapatnya hak ulayat pusako tinggi yang dimiliki oleh Negara yang tidak bisa didaftarkan karena daerahnya terlalu luas dan batasan yang belum jelas dan hak ulayat pusako rendah yang bisa didaftarkan karena memenuhi kriteria untuk didaftarkan. Jika tidak demikian, maka Negara akan dengan mudah menyatakan hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat adalah bukan hak ulayat tetapi tanah milik negara, hal ini dikarenakan tidak adanya bukti sertifikat dari pendaftaran hak ulayat tersebut. Dengan demikian jika hak ulayat didaftarkan dan memiliki sertifikat, maka sudah jelaslah batasan yang harus dipatuhi oleh masyarakat hukum adat untuk kemudian mengelola dan memanfaatkan hak ulayat dan tentu bisa menekankan angka kriminalisasi masyarakat hukum adat terhadap hak ulayatnya.
Penulis:
Diana Mora | Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara